Suatu hari ada seseorang yang berkata kepada Nabi ﷺ:
يَا سَيِّدَنَا وَابْنَ سَيِّدِنَا، وَخَيْرَنَا وَابْنَ خَيْرِنَا
“Wahai sayid kami dan putra sayid kami, orang yang terbaik di antara kami, dan putra dari orang yang terbaik diantara kami.”
Nabi ﷺ bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُولُوا بِقَوْلِكُمْ، وَلَا تَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيَاطِينُ، أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ، أَنَا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، وَمَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُونِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِيهَا اللهُ
“Hai sekalian manusia, ucapkanlah perkataan kalian, tapi jangan sampai kalian digelincirkan oleh setan! Aku adalah Muhammad putra ‘Abdullah, hamba Allah dan rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengagungkanku melebihi kedudukanku yang telah diberikan Allah kepadaku. ” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra)
Syekh Saleh Al-Fauzan berkata:
المعنى الإجمالي للحديث: كره -صلى الله عليه وسلم- مدحه بهذه الألفاظ ونحوها؛ لئلا يكون ذلك وسيلة إلى الغلو فيه والإطراء؛
“Makna hadis ini secara global: Nabi ﷺ tidak menyukai pujian terhadap beliau dengan perkataan tadi dan semacamnya agar tidak menjadi sarana yang mengantarkan pada sikap ekstrem dan berlebihan terhadap beliau.
لأنه قد أكمل الله له مقام العبودية، فصار يكره أن يبالغ في مدحه؛ صيانة لهذا المقام، وإرشادا للأمة إلى ترك ذلك؛ نصحا لهم وحماية للتوحيد
Sebab, Allah telah menyempurnakan kedudukan ubudiah bagi beliau. Makanya beliau tidak suka sikap berlebihan dalam memuji beliau, demi menjaga kedudukan tadi, dan sebagai tuntunan bagi umat untuk meninggalkan itu, karena ketulusan beliau kepada mereka dan penjagaan beliau terhadap tauhid.
وأرشدهم أن يصفوه بصفتين هما أعلى مراتب العبد، وقد وصفه الله بهما في مواضع وهما: عبد الله ورسوله، ولا يريد أن يرفعوه فوق هذه المنزلة التي أنزله الله إياها.
Beliau membimbing mereka agar menyifatkan beliau dengan 2 sifat yang merupakan kedudukan hamba yang tertinggi dan Allah juga telah menyifatkan beliau dengan 2 sifat itu dalam beberapa ayat, yaitu: hamba Allah dan Rasul-Nya. Beliau tidak ingin mereka mengagungkan beliau melebihi kedudukan beliau yang telah Allah berikan itu.” (Al-Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At-Tauhid)
Faidah yang bisa kita petik dari hadis ini:
- Di antara tipu daya setan terhadap manusia, yaitu mengarahkan mereka untuk bersikap berlebihan dan melewati batasan yang disyariatkan.
Sebagaimana sabda beliau ﷺ: “Ucapkanlah perkataan kalian, tapi jangan sampai kalian digelincirkan oleh setan!”
- 2. Larangan berlebihan dalam memuji Nabi ﷺ.
Sebagaimana sabda beliau ﷺ: “Aku tidak suka kalian mengagungkanku melebihi kedudukanku.”
Memuji Nabi ﷺ adalah perkara yang baik. Tapi kalau berlebihan dalam memuji beliau itu bukanlah perkara yang baik. Itu jutru terlarang.
Nah, kalau memuji Nabi ﷺ secara berlebihan saja terlarang, apalagi selain Nabi!
- Nabi ﷺ adalah sosok yang rendah hati.
Sebagaimana sabda beliau ﷺ: “Aku tidak suka kalian mengagungkanku melebihi kedudukanku.”
- Nabi ﷺ adalah hamba Allah dan rasul-Nya.
Sebagaimana sabda beliau ﷺ: “Aku adalah Muhammad putra ‘Abdullah, hamba Allah dan rasul-Nya.”
Beliau ﷺ adalah hamba-Nya. Karena itu, tidak boleh beliau diagungkan secara berlebihan layaknya tuhan.
Dan beliau ﷺ adalah rasul-Nya. Karena itu, tidak boleh beliau dihina layaknya pendosa.
Hamba Allah dan rasul-Nya ini adalah 2 gelar yang mulia.
Syekh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin berkata:
وهذان الوصفان أحسن وأبلغ وصف يتصف به الرسول صلى الله عليه وسلم ولذلك وصفه الله تعالى بالعبودية في أعظم المقامات
“2 sebutan ini adalah sebutan yang paling baik dan paling tinggi yang dimiliki oleh Rasul ﷺ, karena itu Allah menyifatkan beliau dengan ubudiah dalam kesempatan yang sangat agung.” (Al-Qaul Al-Mufid ‘Ala Kitab At-Tauhid)
Allah menyifatkan beliau dengan ubudiah dalam kesempatan yang sangat agung artinya Allah menyatakan bahwa beliau adalah hamba-Nya dalam beberapa momen yang sangat penting. Di antaranya:
1) Terkait masalah turunnya Al-Quran. Lihat Surat Al-Furqan ayat 1.
2) Terkait peristiwa Isra. Lihat surat Al-Isra’ ayat 1.
3) Terkait peristiwa Mikraj. lihat surat An-Najm ayat 10.
4) Terkait pembelaan terhadap beliau. Lihat surat Al-Baqarah ayat 23.
- Yang memberikan kemuliaan adalah Allah.
Sebagaimana sabda beliau ﷺ: “kedudukanku yang telah diberikan Allah kepadaku”
Kalau memang yang memberikan kemuliaan adalah Allah, maka untuk apa kita membanggakan jabatan? Untuk apa kita membanggakan kedudukan? Dan untuk apa kita menyombongkan kekayaan?
- Disyariatkan menutup pintu menuju kemusyrikan dan kekufuran.
Sebagaimana yang dilakukan Nabi ﷺ dalam hadis tadi.
Beliau ﷺ melarang para sahabat mengucapkan perkataan tadi, padahal tidak ada kata-kata yang salah padanya. Tapi, tatkala ucapan mereka dikhawatirkan menyeret mereka pada sikap berlebihan, maka beliau pun melarangnya.
Nah, kalau pujian seperti itu saja tidak disukai oleh Nabi ﷺ, padahal tidak ada kata-kata yang salah padanya, lantas bagaimana pula kalau memuji beliau sampai menyatakan bahwa beliau adalah tempat bergantung manusia di dunia dan akhirat?
Bagaimana pula kalau memuji beliau ﷺ sampai menyatakan bahwa tidak ada yang menggantikan kesulitan menjadi mudah kecuali beliau?
Bagaimana pula kalau memuji beliau ﷺ sampai menyatakan bahwa dunia dan segenap kekayaannya adalah pemberian dari beliau?
Bagaimana pula kalau memuji beliau ﷺ sampai menyatakan bahwa beliau mengetahui catatan takdir dan perkara gaib lainnya?
Nabi ﷺ bersabda:
إياكم والغلو، فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو
“Hati-hatilah kalian dari sikap berlebihan, karena sesungguhnya sikap berlebihan itulah yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Siberut, 21 Shafar 1442
Abu Yahya Adiya
Sumber:
- Al-Mulakhash fi Syarh Kitab At-Tauhid karya Syekh Saleh Al-Fauzan.
- Al-Qaul Al-Mufiid ‘Alaa Kitab At-Tauhid karya Syekh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin.






