Kapan Musafir Diizinkan dan Dilarang Berbuka?

Kapan Musafir Diizinkan dan Dilarang Berbuka?

Seorang musafir boleh berbuka dan tidak berpuasa ketika ia dalam safarnya di bulan Ramadhan.

Imam Ibnu Qudamah berkata:

وَأَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى إبَاحَةِ الْفِطْرِ لِلْمُسَافِرِ فِي الْجُمْلَةِ

“Kaum muslimin telah sepakat akan bolehnya berbuka di siang hari bagi musafir secara umum.” (Al-Mughni)

Ya, musafir boleh tidak berpuasa di bulan itu. Namun, kapankah itu?

 

1. Jika seorang memulai safar sebelum terbit fajar atau fajar terbit dalam keadaan ia sedang melakukan safar dan ia berniat untuk berbuka dan tidak berpuasa, maka ia diperbolehkan berbuka berdasarkan kesepakatan para ulama.

Imam Ibnu Jazi berkata:

وَالْمُسَافر لَا يَخْلُو أَن يُسَافر قبل الْفجْر وَيَنْوِي الْفطر فَيجوز لَهُ إِجْمَاعًا

“Seorang musafir tidak lepas dari melakukan perjalanan sebelum fajar dan berniat berbuka, maka itu diperbolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah)

 

2. Jika seseorang memulai perjalanan setelah terbit fajar, maka jumhur ulama berpendapat bahwa ia tidak boleh berbuka.

Sedangkan Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, dan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa orang seperti itu boleh berbuka.

Dan itulah pendapat yang benar, dengan alasan:

 

1) Keumuman ayat:

وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ia tinggalkan itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Allah membolehkan orang yang dalam perjalanan untuk berbuka, dan Allah tidak membatasi itu dengan waktu tertentu. Itu menunjukkan bahwa musafir boleh berbuka, walaupun ia memulai safarnya setelah terbit fajar.

2) Dalam suatu perjalanan bersama para sahabatnya ada orang yang berkata kepada Nabi ﷺ:

إِنَّ النَّاسَ قَدْ شَقَّ عَلَيْهِمِ الصِّيَامُ، وَإِنَّمَا يَنْظُرُونَ فِيمَا فَعَلْتَ

“Sesungguhnya orang-orang sudah merasa berat untuk berpuasa, dan mereka menunggu apa yang akan engkau lakukan.”

Jabir bin ‘Abdillah berkata:

فَدَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ بَعْدَ الْعَصْرِ

“Lalu Nabi ﷺ meminta didatangkan bejana berisi air setelah Asar (kemudian beliau meminumnya).” (HR. Muslim)

 

3. Jika seseorang berniat puasa dalam safarnya lalu ia merasa perlu untuk berbuka, maka itu diperbolehkan.

Imam Ibnu Qudamah berkata:

وَإِنْ نَوَى الْمُسَافِرُ الصَّوْمَ فِي سَفَرِهِ، ثُمَّ بَدَا لَهُ أَنْ يُفْطِرَ، فَلَهُ ذَلِكَ

“Jika seorang musafir berniat untuk berpuasa dalam safarnya lalu ia merasa perlu untuk berbuka, maka itu diperbolehkan.” (Al-Mughni)

Apa dalilnya itu dibolehkan?

Hadis Jabir tadi.

Setelah menyebutkan hadis tersebut Imam Ibnu Qudamah berkata:

وَهَذَا نَصٌّ صَرِيحٌ لَا يَعْرُجُ عَلَى مَنْ خَالَفَهُ. إذَا ثَبَتَ هَذَا فَإِنَّ لَهُ أَنْ يُفْطِرَ بِمَا شَاءَ مِنْ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَغَيْرِهِمَا

“Ini adalah nas jelas yang tidak bisa dibantah oleh orang yang menyalahinya. Jika telah tetap demikian, maka musafir boleh berbuka dengan apa pun yang ia suka, baik itu dengan makan, minum atau selain keduanya.” (Al-Mughni)

Dan itulah pendapat mayoritas ulama.

 

Kapan Musafir Dilarang Berbuka?

Seorang musafir tidak boleh lagi berbuka di siang hari bulan Ramadhan jika ia dalam salah satu dari 2 keadaan berikut ini:

 

Keadaan pertama: jika berniat menetap di tempat yang ia kunjungi.

Imam An-Nawawi berkata:

فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ إذَا نَوَى فِي أَثْنَاءِ طَرِيقِهِ الْإِقَامَةَ مُطْلَقًا انْقَطَعَ سَفَرُهُ فَلَا يَجُوزُ التَّرَخُّصُ بشئ بِالِاتِّفَاقِ

“Asy-Syafi’i dan para sahabat (Syafi’iyyah) berpendapat bahwa jika seorang musafir di tengah perjalanannya berniat untuk menetap secara mutlak, maka terputuslah safarnya. Karena itu, ia tidak boleh mengambil keringanan sedikit pun berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab)

 

Keadaan kedua: jika kembali ke tempat tinggalnya.

Syekh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid berkata:

فإذا عاد إلى محل إقامته ليلا, فإن كان الغد من رمضان وجب عليه والصوم بلا خلاف.

“Jika seorang musafir kembali ke tempat tinggalnya di malam hari, maka jika esoknya adalah Ramadhan, berarti ia wajib berpuasa, tanpa ada perbedaan pendapat di antara para ulama.” (Shahih Fiqh As-Sunnah wa Adillatuh wa Taudhihi Madzahib Al-Aimmah)

 

Pertanyaan: bagaimana kalau musafir yang tidak berpuasa kembali ke tempat tinggalnya di siang hari Ramadhan? Apakah harus menahan diri dari makan dan minum sampai waktu Magrib?

Ibnu Mas’ud berkata:

مَنْ أَكَلَ أَوَّلَ النَّهَارِ فَلْيَأْكُلْ آخِرَهُ

“Siapa yang makan di awal waktu siang, maka hendaknya ia makan di akhir waktu siang.” (Al-Mushannaf Fii Al-Ahaadiits wa Al-Atsaar)

Syekh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin berkata:

يعني من جاز له الفطر أول النهار جاز له الفطر في آخره.

“Maksudnya yaitu siapa yang boleh berbuka di awal siang, maka boleh pula berbuka di akhir siang.” (Majmu’ Fatawa Wa Rasail Al-‘Utsaimin)

Syekh juga berkata:

أما إذا قدم إلى بلده وهو مفطر فإنه لا يجب عليه الإمساك، فله أن يأكل ويشرب بقية يومه؛ لأن إمساكه لا يفيده شيئاً لوجوب قضاء هذا اليوم عليه،

“Adapun jika ia datang ke tempat tinggalnya dalam keadaan tidak berpuasa, maka ia tidak wajib menahan diri dari makan dan minum. Ia boleh makan dan minum di waktu siang yang tersisa. Sebab, perbuatannya menahan diri dari itu tidak berguna sedikit pun, karena wajibnya ia mengganti puasanya di hari itu.

هذا هو القول الصحيح، وهو مذهب مالك والشافعي، وإحدى الروايتين عن الإمام أحمد رحمه الله لكن لا ينبغي له أن يأكل ويشرب علناً.

Inilah pendapat yang benar. Dan itulah pendapat Malik, Asy-Syafi’i dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad-semoga Allah merahmatinya-. Namun, tidak sepantasnya ia makan dan minum terang-terangan.” (Majmu’ Fatawa Wa Rasail Al-‘Utsaimin)

 

Siberut, 13 Ramadhan 1442

Abu Yahya Adiya

 

Sumber:

  1. Al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi.
  2. Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab karya Imam An-Nawawi.
  3. Majmu’ Fatawa Wa Rasail Al-‘Utsaimin karya Syekh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin.
  4. Shahih Fiqh As-Sunnah wa Adillatuh wa Taudhihi Madzahib Al-Aimmah karya Syekh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid.