Kalau seorang istri melakukannya, maka para malaikat melaknatnya.
Kalau seorang istri melakukannya, maka para malaikat mengutuknya.
Nabi ﷺ bersabda:
«إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ»
“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke kasur lalu ia tidak memenuhinya sehingga suaminya tidur dalam keadaan marah kepadanya, maka para malaikat pun melaknatnya hingga pagi hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bukan cuma para malaikat yang murka kepadanya, Tuhannya seluruh manusia dan malaikat pun murka kepadanya.
Nabi ﷺ bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا، فَتَأْبَى عَلَيْهِ، إِلَّا كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
“Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya. Tidaklah seorang suami mengajak istri ke kasur lalu si istri menolaknya, kecuali (Allah) yang ada di atas langit murka kepadanya sampai suaminya rida kepadanya.” (HR. Muslim)
2 hadis ini menunjukkan bahwa di antara hak suami terhadap istri yaitu memenuhi panggilannya untuk bercinta.
Karena itu, seorang istri tidak boleh menolak ajakan suaminya itu kecuali kalau ia memiliki uzur atau halangan.
Kalau ia tidak memiliki uzur, maka ia harus menyambut ajakan suaminya ke kasur walaupun ia sedang sibuk di dapur.
Nabi ﷺ bersabda:
إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّورِ
“Jika seorang suami mengajak istrinya untuk kebutuhannya, maka hendaknya istri mendatanginya walaupun ia sedang di depan tungku.” (HR. Tirmidzi)
Artinya, walaupun sedang sibuk di dapur, kalau suaminya membutuhkannya, maka hendaknya ia memenuhi panggilan suaminya. Karena memang itulah haknya. Kecuali kalau ia punya alasan yang dibenarkan syariat, seperti sakit, dan yang semacamnya.
Selain di Kasur Lebih Penting
Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata:
فإذا وجب على المرأة أن تطيع زوجها في قضاء شهوته منها، فبالأولى أن يجب عليها طاعته فيما هو أهم من ذلك مما فيه تربية أولادهما، وصلاح أسرتهما، ونحو ذلك من الحقوق والواجبات
“Jika menaati suami dalam perkara menunaikan syahwatnya saja merupakan kewajiban bagi seorang istri, maka lebih wajib lagi baginya untuk menaati suaminya dalam perkara yang lebih penting daripada itu, seperti pendidikan anak-anak, memperbaiki keluarga mereka dan menunaikan hak-hak serta kewajiban-kewajiban semacamnya.” (Adabu Zafaf fi As-Sunnah Al-Muththahharah)
Karena itu, kalau suami memberikan perintah kepada istrinya, maka wajib bagi si istri untuk menjalankan perintahnya, selama perintah itu bermanfaat dan tidak melanggar syariat.
Adapun kalau perintah itu melanggar syariat, maka:
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Tidak boleh menaati makhluk dalam perkara yang merupakan kemaksiatan kepada Allah.” (HR. Ahmad)
Jika Ketaatan Kepada Suami Bertabrakan dengan Ketaatan kepada Orang tua
Kalau seorang istri bisa menaati suami bersamaan dengan menaati orangtuanya, maka itu bagus.
Kalau suaminya menyuruhnya untuk melakukan sesuatu dan pada saat bersamaan orangtuanya juga menyuruhnya untuk melakukan sesuatu, maka…
Kalau ia bisa menjalankan dua perintah itu sekaligus, itu bagus. Tapi kalau tidak mungkin?
Imam Ahmad menjelaskan masalah wanita yang memiliki suami dan ibu yang sedang sakit. Kata beliau:
طَاعَةُ زَوْجِهَا أَوْجَبَ عَلَيْهَا مِنْ أُمِّهَا، إلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَهَا
“Menaati suaminya lebih wajib baginya daripada ibunya, kecuali kalau suaminya mengizinkannya.” (Al-Mughni)
Siberut, 11 Rabi’ul Awwal 1442
Abu Yahya Adiya






