“Buat apa suruh-suruh saya salat?! Yang penting kan hati saya tetap baik!”
“Buat apa pakai jilbab, tapi hatinya kotor?! Lebih baik tidak pakai jilbab tapi hati tetap bersih!”
Apa reaksi kita ketika mendengar orang yang berkata demikian? Dan apa jawaban kita terhadap ‘pertanyaan’nya?
Jawaban pertama:
Tahu dari mana hatimu baik dan bersih?
Kalau memang baik hatimu, tentu akan tampaklah kebaikan itu pada lisan dan anggota badanmu.
Sebaliknya, kalau buruk hatimu, maka akan tampaklah keburukan itu pada lisan dan anggota badanmu.
Nabi ﷺ bersabda:
أَلاَ وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً: إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ القَلْبُ
“Sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging, Bila ia baik, akan baik seluruh jasadnya. Dan bila ia rusak, akan rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (Bukhari dan Muslim)
Kalau begitu, baik-buruknya batin seseorang amat menentukan baik dan buruk lahirnya, begitu pula sebaliknya.
Karena itu, apakah meninggalkan perintah dalam syariat dan berbuat maksiat merupakan lahir yang baik, sehingga menunjukkan baiknya hati orang yang melakukannya?
Atau justru itu pertanda atau alamat akan buruknya hati orang yang melakukannya?
Jawaban kedua:
Di dunia ini seseorang dinilai baik atau buruk berdasarkan lahirnya. Bukan batinnya.
‘Umar bin Al-Khaththab رضي الله عنه berkata:
إِنَّ أُنَاسًا كَانُوا يُؤْخَذُونَ بِالْوَحْيِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَإِنَّ الْوَحْيَ قَدْ انْقَطَعَ وَإِنَّمَا نَأْخُذُكُمْ الْآنَ بِمَا ظَهَرَ لَنَا مِنْ أَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya dulu pada masa hidup Rasulullah ﷺ orang-orang dinilai berdasarkan wahyu. Dan sekarang wahyu telah terhenti. Maka saat ini kami hanya akan menilai kalian berdasarkan perbuatan kalian yang nampak bagi kami.
فَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا خَيْرًا أَمِنَّاهُ وَقَرَّبْنَاهُ وَلَيْسَ إِلَيْنَا مِنْ سَرِيرَتِهِ شَيْءٌ اللَّهُ يُحَاسِبُهُ فِي سَرِيرَتِهِ
Siapa yang menampakkan kepada kami kebaikan, niscaya kami memercayainya dan kami dekatkan ia. Bukanlah urusan kami apa yang ada dalam batinnya, Allah lah yang akan memperhitungkan batinnya.
وَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا سُوءًا لَمْ نَأْمَنْهُ وَلَمْ نُصَدِّقْهُ وَإِنْ قَالَ إِنَّ سَرِيرَتَهُ حَسَنَةٌ
Dan siapa yang menampakkan kepada kami kejelekan, kami pun tak akan merasa aman darinya dan tidak pula memercayainya, meskipun ia mengatakan bahwa batinnya itu baik!” (HR. Bukhari)
Karena itu, dalam syariat Islam, seseorang ketika di dunia dinilai berdasarkan lahirnya. Bukan batinnya.
Sebab, batin manusia itu sesuatu yang tersembunyi. Tak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Makanya tidak mungkin kita menilai seseorang baik atau tidak berdasarkan batinnya.
Seorang dianggap baik menurut syariat, jika baik lisan dan anggota badannya.
Dan seorang dianggap buruk menurut syariat, jika buruk lisan dan anggota badannya.
Setiap orang di dunia dinilai berdasarkan perbuatannya yang nampak.
Jawaban ketiga:
Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian dan juga harta kalian, tapi Dia melihat hati dan perbuatan kalian.” (HR.Muslim)
Ya, hati dan perbuatan kalian. Bukan cuma hati kalian!
Kalau begitu, seorang mukmin bukan hanya dituntut untuk memerhatikan lahirnya saja sehingga melalaikan batinnya.
Begitu pula, ia bukan hanya dituntut untuk memerhatikan batin semata, sehingga ‘lupa’ dengan lahirnya.
Ia harus memerhatikan keduanya. Sebab, lahir dan batin adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan dan tak mungkin dipisahkan.
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara keseluruhan.” (QS. Al-Baqarah: 208)
Ya, Maha Benar Tuhan kita, keseluruhan! Yaitu lahir dan batin, “kulit” dan “isi”!
Siberut, 16 Dzulhijjah 1441
Abu Yahya Adiya






