Jika Hadis Yang Bermasalah Disampaikan

Jika Hadis Yang Bermasalah Disampaikan

Jika seseorang berkata di hadapan kita, “Nabi ﷺ bersabda….”, padahal hadis yang ia sampaikan itu sangat lemah bahkan palsu, maka apa yang kita lakukan?

Apakah kita akan menegurnya?

Atau justru mendiamkannya demi menjaga perasaan atau “persatuan”?

Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Siapa yang berdusta atas namaku, maka hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Apakah kita membiarkan ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka demi menjaga perasaannya?

Apakah kita membiarkan ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka demi menjaga “persatuan”?

Apakah itu bentuk sayang kita kepada saudara seiman?

Suatu hari seseorang bertanya kepada Imam ‘Ali bin Al-Madini tentang keadaan ayahnya dalam masalah riwayat hadis. Imam ‘Ali bin Al-Madini pun berkata:

اسألوا غَيْرِي

“Tanya kepada selain diriku!”

Orang itu berkata:

سألناك

“Kami bertanya kepadamu.”

Imam ‘Ali bin Al-Madini menundukkan kepalanya lalu mengangkatnya dan berkata:

هَذَا هُوَ الدَّين أبي ضَعِيف

“Ini adalah agama. Ayahku lemah!” (Al-Majruhiin)

Ya, lemah. Riwayatnya tidak bisa diterima!

Lihatlah, apakah Imam ‘Ali bin Al-Madini menyembunyikan keadaan ayahnya demi menjaga perasaannya?

Suatu hari Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan keadaan para perawi hadis di hadapan Abu Turab.

Imam Ahmad berkata:

فلان ضعيف، فلان ثقة.

“Si fulan lemah, sedangkan si fulan yang lain terpercaya.”

Maka Abu Turab pun berkata:

يا شيخ لا تغتب العلماء.

“Wahai Syekh! Jangan engkau menggunjing para ulama!”

Imam Ahmad menengok ke arahnya lalu berkata kepadanya:

ويحك هذه نصيحة، ليس هذا غيبة.

“Celakalah engkau! Ini nasihat bukan gibah!” (Al-Kifayah Fii ‘Ilm Ar-Riwayah)

Ya, itu nasihat bagi umat, bukanlah gibah, yakni supaya umat tidak tersesat dengan mengambil hadis-hadis dari yang orang-orang yang tidak terpercaya.

Lihatlah, apakah Imam Ahmad membiarkan umat mengambil hadis-hadis bermasalah demi menjaga “persatuan”?

Ketika Imam Yahya bin Sa’id Al-Qaththan tidak mengambil hadis-hadis dari orang-orang yang bermasalah, Abu Bakr bin Khallad bertanya kepadanya:

أَمَا تَخْشَى أَنْ يَكُونَ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ تَرَكْتَ حَدِيثَهُمْ خُصَمَاءَكَ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى؟

“Apakah engkau tidak takut kalau orang-orang yang hadis mereka engkau tinggalkan itu, akan menjadi musuhmu di sisi Allah nanti?!”

Imam Yahya menjawab:

لَأَنْ يَكُونَ هَؤُلَاءِ خُصَمَائِي أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ يَكُونَ خَصْمِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: لِمَ حَدَّثْتَ عَنِّي حَدِيثًا تَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ

“Sungguh, seandainya mereka menjadi musuhku, itu lebih kusukai daripada yang menjadi musuhku adalah Rasulullah ﷺ, di mana beliau berkata, ‘Kenapa engkau menyampaikan dariku perkataan yang engkau pandang dusta?!” (Al-Kifayah Fii ‘Ilm Ar-Riwayah)

Ya, lebih baik kita dimusuhi manusia daripada kita dimusuhi Rasulullah ﷺ gara-gara kita membiarkan orang berdusta atas namanya.

Kalau kita memang sayang kepada saudara kita seiman, maka hendaknya kita meluruskan kesalahannya, apalagi kalau kesalahan itu sangat membahayakannya.

 

Siberut, 24 Syawwal 1443

Abu Yahya Adiya