Perkara yang Tidak Merusak Puasa

Perkara yang Tidak Merusak Puasa

Beberapa perkara berikut ini boleh dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa dan tidak merusak puasanya:

 

1. Memasuki waktu Subuh dalam keadaan junub.

‘Aisyah berkata:

قَدْ كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ فِي رَمَضَانَ وَهُوَ جُنُبٌ، مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ، فَيَغْتَسِلُ وَيَصُومُ

“Rasulullah ﷺ mendapati waktu Subuh di bulan Ramadhan dalam keadaan junub bukan karena mimpi lalu beliau pun mandi dan berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim dan ini redaksi Muslim)

Imam An-Nawawi berkata:

فَقَدْ أَجْمَعَ أَهْلُ هَذِهِ الْأَمْصَارِ عَلَى صِحَّةِ صَوْمِ الْجُنُبِ سَوَاءٌ كَانَ مِنَ احْتِلَامٍ أَوْ جِمَاعٍ وَبِهِ قَالَ جَمَاهِيرُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ

“Para ulama dari berbagai negara sepakat akan sahnya puasa orang yang junub, baik itu karena mimpi basah atau bersetubuh. Dan itulah pendapat mayoritas para sahabat Nabi dan tabiin.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj)

 

2. Menghirup air ke hidung dan berkumur-kumur.

Nabi ﷺ bersabda:

وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ، إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا

“Bersungguh-sungguhlah dalam menghirup air ketika berwudu kecuali kalau engkau sedang berpuasa.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah)

Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang berpuasa diperbolehkan menghirup air ke dalam hidung ketika berwudu, selama tidak berlebihan dan tidak terlalu dalam.

Dan hadis itu juga menunjukkan bahwa orang yang berpuasa diperbolehkan berkumur-kumur selama bisa menjaga air jangan sampai masuk ke tenggorokan. Sebab, berkumur-kumur itu sama seperti menghirup air ke hidung.

 

3. Mencicipi makanan dengan syarat tidak ada yang masuk ke tenggorokan dan mengeluarkannya kembali.

Sebab, kalau menghirup air ke hidung dan berkumur-kumur ketika berpuasa saja diperbolehkan, maka begitu pula mencicipi makanan. Tidak jauh beda dengan itu.

Ibnu ‘Abbas berkata:

لاَ بَأْسَ أَنْ يَتَطَعَّمَ القِدْرَ أَوِ الشَّيْءَ

“Tidak mengapa orang yang berpuasa mencicipi makanan di panci atau apa pun.” (HR. Bukhari)

 

4. Membasahi badan entah dengan berendam, mandi atau yang lainnya.

Sebab, kalau membasahi mulut saja diperbolehkan, apalagi luar mulut!

Ada seseorang mengabarkan kepada Abu Bakar:

لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ بِالْعَرْجِ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ الْمَاءَ، وَهُوَ صَائِمٌ مِنَ الْعَطَشِ، أَوْ مِنَ الْحَرِّ

“Sungguh, aku melihat Rasulullah ﷺ di ‘Arj menuangkan air ke kepalanya ketika sedang puasa dikarenakan haus atau karena panasnya cuaca.” (HR. Abu Daud)

 

5. Menggunakan celak.

Sebab, kalau membuat basah mulut, hidung, dan anggota badan yang lain saja diperbolehkan, apalagi kalau sampai tidak membasahi!

Imam Bukhari berkata dalam Shahihnya:

وَلَمْ يَرَ أَنَسٌ، وَالحَسَنُ، وَإِبْرَاهِيمُ بِالكُحْلِ لِلصَّائِمِ بَأْسًا

“Anas bin Malik, Al-Hasan dan Ibrahim berpendapat bolehnya memakai celak bagi orang yang berpuasa.”

 

6. Menggosok gigi.

Nabi ﷺ bersabda:

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي، لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ

“Kalaulah tidak memberatkan umatku, niscaya kuperintahkan mereka untuk bergosok gigi setiap kali akan salat.” (HR. Bukhari Muslim)

Syekh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid berkata:

وقد اتفق الفقهاء على جواز السواك للصائم, إلا أن الشافعية والحنابلة استحبوا ترك السواك للصائم بعد الزوال, للإبقاء على رائحة الخلوف التي هي أطيب عند الله من ريح المسك.

“Para fukaha telah sepakat akan bolehnya menggosok gigi bagi orang yang sedang berpuasa. Hanya saja, para ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali menganjurkan orang yang sedang berpuasa tidak menggosok gigi setelah tergelincir matahari agar tetap bertahan bau mulut orang yang berpuasa yang mana itu lebih wangi di sisi Allah daripada aroma minyak kesturi.

والأظهر أنه لا بأس بالسواك في كل وقت, والله أعلم.

Yang kuat adalah tak mengapa menggosok gigi pada setiap waktu. Allahu a’lam.” (Shahih Fiqh As-Sunnah)

Pertanyaan: lantas apa hukum menggunakan odol untuk membersihkan gigi?

Syekh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin berkata:

معجون الأسنان لا يفطر إذا لم يبتلعه، ولكني أرى أن لا يستعمله الصائم في النهار بل يستعمله في الليل، لأن هذا المعجون له نفوذ قوي ربما ينزل إلى بطنه وهو لا يشعر به.

“Odol tidak membatalkan puasa jika tidak ditelan. Namun, aku berpendapat bahwa orang yang berpuasa jangan memakainya di siang hari, melainkan memakainya di malam hari. Sebab, odol itu mempunyai pengaruh kuat yang bisa jadi akan turun ke perut dalam keadaan tidak disadari.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Syekh Al-‘Utsaimin)

 

7. Menelan ludah

Imam An-Nawawi berkata:

ابْتِلَاعُ الرِّيقِ لَا يُفْطِرُ بِالْإِجْمَاعِ إذَا كَانَ عَلَى الْعَادَةِ لِأَنَّهُ يَعْسُرُ الِاحْتِرَازُ مِنْهُ

“Menelan ludah tidak membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama, jika memang masih normal. Sebab, itu perkara yang susah dihindari.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab)

 

8. Mencium dan mencumbui istri.

‘Aisyah berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لِإِرْبِهِ

“Rasulullah ﷺ mencium dan mencumbui istrinya padahal beliau sedang berpuasa. Namun, beliau lebih dapat menguasai diri daripada kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim. Dan ini adalah redaksi Muslim)

Siapa yang bisa menahan dirinya sehingga tidak sampai melakukan persetubuhan, maka boleh mencium dan mencumbui istrinya dalam keadaan berpuasa. Namun, kalau tidak bisa menahan dirinya, maka itu tidak diperbolehkan.

 

9. Suntikan yang tidak mengandung makanan.

Syekh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin berkata:

وأما الإبر التي تكون في الوريد أو تكون في اليد أو تكون في الظهر أو في أي مكان فإنه لا يفطر الصائم إلا الإبر المغذية التي يستغنى بها عن الأكل والشرب فهذه تفطر الصائم

“Adapun jarum yang ada pada urat atau di tangan atau di punggung, atau di tempat manapun, maka itu tidak membuat orang berpuasa jadi batal, kecuali infus, karena itu akan membuatnya batal.” (Syarh Riyadhus Shalihin)

 

10. Berbekam

Ibnu ‘Abbas berkata:

احْتَجَمَ النَّبِيُّ ﷺ وَهُوَ صَائِمٌ

“Nabi ﷺ dibekam dalam keadaan berpuasa.” (HR. Bukhari)

Hadits ini menasakhkan (menghapuskan) hukum dalam hadis: “Telah berbukalah orang yang membekam dan dibekam.”

Dan itulah pendapat mayoritas ulama.

 

Siberut, 29 Sya’ban 1442

Abu Yahya Adiya

 

Sumber:

  1. Al-Majmu Syarh Al-Muhadzab karya Imam An-Nawawi.
  2. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj karya Imam An-Nawawi.
  3. Syarh Riyadhush Shalihin karya Syekh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin.
  4. Subulus Salam karya Imam Ash-Shan’ani.
  5. Shahih Fiqh As-Sunnah wa Adillatuh wa Taudhihi Madzahib Al-Aimmah karya Syekh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid.