- Menikah dengan seseorang yang diharamkan karena senasab, mushaharah (hubungan kekeluargaan karena ikatan pernikahan), dan sepersusuan.
Dan itu telah disebutkan dengan jelas dalam surat An-Nisa ayat 22-24:
“Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah kalian, kecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah serta jalan paling buruk (yang ditempuh).
Diharamkan atas kalian (menikahi):
-ibu-ibu kalian,
-anak-anak perempuan kalian,
-saudara-saudara perempuan kalian,
-saudara-saudara perempuan bapak kalian (bibi dari pihak bapak),
-saudara-saudara perempuan ibu kalian (bibi dari pihak ibu),
-anak-anak perempuan dari saudara-saudara laki-laki kalian (keponakan dari saudara laki-laki),
-anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan kalian (keponakan dari saudara perempuan),
-ibu-ibu kalian yang menyusui kalian,
-saudara-saudara perempuan sepersusuan,
-ibu-ibu isteri kalian (mertua),
-anak-anak perempuan isteri kalian (anak tiri) yang dalam pemeliharaan kalian dari isteri-isteri yang telah kalian campuri. Namun, jika kalian belum campur dengan istri-istri kalian (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kalian menikahi mereka (anak tiri mereka).
-isteri-isteri anak kandung kalian (menantu),
Dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,
Dan (diharamkan juga menikahi) wanita yang bersuami…” (QS. An-Nisa: 22-24)
Dan yang diharamkan karena sepersusuan sama seperti yang diharamkan karena senasab.
Dalam ayat tadi memang hanya disebutkan dua saja, yakni ibu dan saudara sepersusuan. Namun, ada tambahan lain berdasarkan keterangan Nabi ﷺ:
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
“Diharamkan (untuk menikah) karena sebab persusuan sebagaimana diharamkan karena sebab nasab.” (HR. Bukhari)
Maka, di samping diharamkan menikahi ibu yang menyusui dan anaknya, diharamkan pula menikahi saudaranya, bibinya, keponakannya, dan seterusnya.
- Menggabungkan seorang wanita dengan saudarinya atau bibinya dalam pernikahan.
Adapun larangan menggabungkan seorang wanita dengan saudarinya dalam pernikahan, maka itu terdapat dalam surat An-Nisa ayat 23 tadi.
Sedangkan larangan menggabungkan seorang wanita dengan bibinya, maka itu terdapat dalam sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
لاَ يُجْمَعُ بَيْنَ المَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا، وَلاَ بَيْنَ المَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
“Tidak boleh digabung (dalam suatu rumah tangga) seorang wanita dengan bibinya dari pihak bapak dan tidak pula dengan bibinya dari pihak ibu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Menikah dengan wanita yang masih berstatus sebagai istri orang lain atau masih dalam masa idah.
Adapun larangan menikah dengan wanita yang masih berstatus sebagai istri orang lain, maka itu berdasarkan surat An-Nisa ayat 24 tadi.
Sedangkan larangan menikah dengan wanita yang masih dalam masa idah, maka itu berdasarkan firman-Nya:
وَلا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
“Dan janganlah kalian menetapkan akad nikah, sebelum habis idahnya.” (QS. Al-Baqarah: 235)
Imam Ibnu Katsir berkata:
وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَصِحُّ الْعَقْدُ فِي مُدَّةِ الْعِدَّةِ
“Para ulama telah sepakat bahwa tidak sah akad pernikahan di masa idah.” (Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim)
- Nikah lebih dari empat (bagi pria)
Ibnu ‘Umar رضي الله عنهما berkata:
أَسْلَمَ غَيْلَانُ بْنُ سَلَمَةَ وَتَحْتَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ:
“Ghilan bin Salamah masuk Islam sedangkan ia memiliki sepuluh istri. Maka Nabi ﷺ pun bersabda kepadanya:
خُذْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا
“Pilihlah empat dari mereka.” (HR. Ibnu Majah)
Artinya, pilihlah empat dari mereka dan ceraikanlah sisanya!
Siberut, 6 Syawwal 1443
Abu Yahya Adiya
Sumber:
- Shahih Fiqh As-Sunnah karya Syekh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid.
- Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim karya Imam Ibnu Katsir.






