7. Apa saja yang membatalkan iktikaf?
1) Bersetubuh.
Imam Ibnu Qudamah berkata:
وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ الْوَطْءَ فِي الِاعْتِكَافِ مُحَرَّمٌ بِالْإِجْمَاعِ، وَالْأَصْلُ فِيهِ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى:
“Kesimpulan dari itu yakni bersetubuh ketika iktikaf diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama. Dalil dalam hal ini yaitu firman-Nya:
{وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا}
“Dan janganlah kalian campuri mereka itu, sementara kalian beriktikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya.” (Al-Mughni)
Ibnu ‘Abbas berkata:
إِذَا جَامَعَ الْمُعْتَكِفُ أَبْطَلَ اعْتِكَافَهُ وَاسْتَأْنَفَ
“Jika orang yang melaksanakan iktikaf bersetubuh, maka ia telah membatalkan iktikafnya dan hendaknya ia mengulangi iktikafnya.” (Mushannaf Ibn Abi Syaibah)
2) Keluar dari masjid tanpa ada kebutuhan.
Iktikaf artinya berdiam diri di masjid dalam rangka beribadah kepada Allah. Kalau seseorang keluar dari masjid tanpa ada kebutuhan, maka ia tidak dikatakan berdiam diri di masjid.
Syekh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin berkata:
لأن الخروج لغير ضرورة في الاعتكاف يبطل الاعتكاف.
“Sebab, keluar dari masjid ketika iktikaf bukan karena darurat akan membatalkan iktikaf.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-‘Utsaimin)
8. Yang dibolehkan ketika iktikaf
1) Keluar dari masjid karena ada kebutuhan.
‘Aisyah berkata:
وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا
“Jika sedang melaksanakan iktikaf, beliau ﷺ tidak memasuki rumah kecuali kalau ada keperluan.” (HR. Muslim)
Keperluan di sini maksudnya keperluan yang sifatnya darurat atau benar-benar dibutuhkan.
Imam Al-Khaththabi berkata:
فيه من الفقه أن المعتكف ممنوع من الخروج من المسجد إلاّ لغائط أو بول
“Dalam hadis ini terdapat kandungan fikih yaitu bahwa orang yang sedang melaksanakan iktikaf tidak boleh keluar dari masjid kecuali untuk buang air besar atau air kecil.” (Ma’alim As-Sunan)
Imam Ibnul Mundzir berkata:
أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ لِلْمُعْتَكِفِ أَنْ يَخْرُجَ مِنْ مُعْتَكَفِهِ لِلْغَائِطِ وَالْبَوْلِ. وَلِأَنَّ هَذَا مِمَّا لَا بُدَّ مِنْهُ، وَلَا يُمْكِنُ فِعْلُهُ فِي الْمَسْجِدِ
“Para ulama sepakat bahwa orang yang melaksanakan iktikaf boleh keluar dari tempat iktikafnya untuk buang air besar maupun kecil. Sebab, itu termasuk perkara yang mesti terjadi dan tidak mungkin melakukannya di masjid.” (Al-Mughni)
2) Keluarnya sebagian anggota badan dari masjid
‘Aisyah berkata:
كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا اعْتَكَفَ، يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ
“Nabi ﷺ jika melaksanakan iktikaf, beliau mendekatkan kepalanya kepadaku, lalu aku pun menyisirnya sedangkan aku dalam keadaan haid.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi ﷺ jika melaksanakan iktikaf maksudnya di masjid, sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain.
aku pun menyisirnya maksudnya dari kamar ‘Aisyah, sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain. Dan kamar ‘Aisyah berada di samping masjid. Berbatasan dengan masjid.
Imam An-Nawawi berkata:
أَنَّ الْمُعْتَكِفَ إِذَا خَرَجَ بَعْضُهُ مِنَ الْمَسْجِدِ كَيَدِهِ وَرِجْلِهِ وَرَأْسِهِ لَمْ يَبْطُلِ اعْتِكَافُهُ وَأَنَّ مَنْ حَلَفَ أَنْ لَا يَدْخُلَ دَارًا أَوْ لَا يَخْرُجَ مِنْهَا فَأَدْخَلَ أَوْ أَخْرَجَ بَعْضَهُ لَا يَحْنَثُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
“Jika sebagian anggota badan orang yang melaksanakan iktikaf keluar dari masjid, seperti tangannya, kakinya dan kepalanya, maka itu tidak membatalkan iktikafnya. Dan bahwasanya jika seseorang bersumpah untuk tidak memasuki suatu rumah atau tidak keluar darinya lalu ia pun akhirnya memasukkan atau mengeluarkan sebagian anggota tubuhnya, maka itu tidak dianggap melanggar sumpahnya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj)
3) Membersihkan dan merapihkan rambut dan badannya.
Sebagaimana yang dilakukan Nabi ﷺ dengan ‘Aisyah tadi.
Imam Al-Khaththabi berkata:
أن ترجيل الشعر يجوز للمعتكف وفي معناه حلق الرأس وتلقيم الأظفار وتنظيف البدن من الشعث والدرن.
“Diperbolehkan bagi orang yang melaksanakan iktikaf untuk menyisir rambut. Dan yang serupa dengannya yaitu mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan badan dari kotoran dan noda.” (Ma’alim As-Sunan)
4) Berbicang dan berduaan dengan istri jika memang tidak menggerakkan syahwatnya.
Shafiyyah binti Huyay, istri Nabi ﷺ berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مُعْتَكِفًا فَأَتَيْتُهُ أَزُورُهُ لَيْلًا فَحَدَّثْتُهُ ثُمَّ قُمْتُ فَانْقَلَبْتُ فَقَامَ مَعِي لِيَقْلِبَنِي
“Rasulullah ﷺ pernah melaksanakan iktikaf lalu aku datang menemui beliau di malam hari. Aku berbincang-bincang sejenak dengan beliau. Kemudian aku berdiri hendak pulang, maka beliau juga ikut berdiri bersamaku untuk mengantar aku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
5) Sedikit melakukan percakapan. Apalagi kalau percakapan tersebut mengandung maslahat, seperti beramah-tamah dengan keluarga dan semacamnya.
Sebagaimana yang dilakukan Nabi ﷺ dengan Shafiyyah tadi.
6) Menyentuh istri tanpa syahwat.
Imam An-Nawawi menyebutkan faidah dari hadis tentang Nabi ﷺ disisir oleh ‘Aisyah tadi:
وَفِيهِ جَوَازُ تَرْجِيلِ الْمُعْتَكِفِ شَعْرَهُ وَنَظَرُهُ إِلَى امْرَأَتِهِ وَلَمْسُهَا شَيْئًا مِنْهُ بِغَيْرِ شَهْوَةٍ مِنْهُ
“Dalam hadis ini ada faidah yaitu bolehnya orang yang melaksanakan iktikaf menyisir rambutnya, melihat istrinya, dan menyentuh bagian dari badannya tanpa syahwat.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj)
9. Adab iktikaf
Syekh Husain Al-‘Awayisyah:
يستحبّ للمعتكف التشاغل بالصّلاة، وتلاوة القرآن، وذِكْر الله تعالى ونحو ذلك من الطاعات المحضة، ويجتنب ما لا يعنيه من الأقوال والأفعال، ولا يكثر الكلام؛ لأنّ من كثُر كلامه كثر سَقطه. وفي الحديث:
“Dianjurkan bagi orang yang melaksanakan iktikaf untuk menyibukkan diri dengan salat, membaca Al-Quran, berzikir kepada Allah dan ketaatan murni yang semacamnya. Hendaknya ia menjauhi perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat. Dan jangan sampai ia banyak bicara. Sebab, siapa yang banyak bicara, maka akan banyak salahnya. Disebutkan dalam hadis:
مِنْ حُسن إِسلام المرء ترْكه ما لا يعنيه
“Di antara baiknya keislaman seseorang yaitu meninggalkan apa yang tidak berguna baginya.”
ويجتنب الجدال والمراء والسّباب، والفحش، فإِنّه لا ينبغي في غير الاعتكاف، ففيه أولى.
Dan hendaknya ia menjauhi perdebatan, perbantahan, percekcokan, dan mengucapkan kata-kata keji. Sebab, semua itu tidak pantas ketika sedang tidak iktikaf, apalagi ketika sedang iktikaf!” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassarah Fii Fiqh Al-Kitab wa As-Sunnah Al-Muthahharah)
Siberut, 19 Ramadhan 1442
Abu Yahya Adiya
Sumber:
- Al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah.
2. Al-Mausu‘ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassarah Fii Fiqh Al-Kitab wa As-Sunnah Al-Muthahharah karya Husain bin ‘Audah Al-‘Awayisyah.
- Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj karya Imam An-Nawawi.
- Al-Majmu‘ Syarh Al-Muhadzdzab karya Imam An-Nawawi.
- Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari karya Al-Hafizh Ibnu Hajar.
- dan lain-lain






