3 Macam Air Yang Perlu Kita Ketahui

Bolehkah berwudu dengan air teh? Bolehkah berwudu dengan air AC?

Salat seseorang tidak akan diterima tanpa berwudu. Sedangkan berwudu, tidak akan sah bila menggunakan air yang tidak suci dan tidak pula menyucikan. Dan tidak akan sah pula bila menggunakan air yang suci namun tidak menyucikan.

Karena itu, siapa yang ingin melaksanakan salat, ia harus bersuci dengan air yang suci dan menyucikan.

Namun, apa yang dimaksud dengan air yang suci dan menyucikan?

Seperti apa air yang suci namun tidak menyucikan?

Dan seperti apa pula air yang tidak suci dan tidak pula menyucikan?

 

  1. Air Yang Suci dan Menyucikan.

Jika tetap pada sifat asal penciptaannya, air adalah suci dan menyucikan; baik air itu turun dari langit, mengalir di daratan atau yang ada di lautan.

Allah menjelaskan tentang air yang turun dari langit:

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ

“Dan Allah menurunkan kepada kalian air dari langit untuk menyucikan kalian.” (QS. Al-Anfal: 11)

Dan Rasulullah  صلى الله عليه وسلم menjelaskan tentang air laut:

هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

“Laut itu airnya suci dan menyucikan, bangkainya pun halal.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan lain-lain)

Dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah ditanya tentang Sumur Budho’ah yaitu sumur yang dilemparkan padanya pembalut haid, daging anjing, dan benda-benda busuk:

يا رسول الله! أنتوضأ من بئر بضاعة؟

“Wahai Rasulullah, apakah kami boleh berwudu dari sumur Budho’ah? ”

Beliau صلى الله عليه وسلم menjawab:

الماء طهور لا ينجسه شيء

“Air itu suci dan menyucikan, tidak ada sesuatu pun yang membuatnya najis. ” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan lain-lain)

 

  1. Air Yang Suci Namun Tidak Menyucikan

Pada dasarnya, walaupun bercampur dengan zat yang suci, air tetap pada sifat asalnya, yaitu suci dan menyucikan.

Ini berdasarkan sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم kepada para wanita yang memandikan jenazah putri beliau:

اغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَاجْعَلْنَ فِي الْآخِرَةِ كَافُورًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُورٍ

“Mandikanlah ia dengan air dan bidara sebanyak tiga kali, lima kali, atau lebih dari itu, kalau memang kalian memandang itu perlu, dan berikan untuk yang terakhir kali kapur barus atau campuran dari kapur barus.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah ﷺ menyuruh para wanita untuk memandikan jenazah putri beliau dengan air yang dicampur dengan bidara.

Seandainya air yang bercampur dengan zat yang suci adalah tidak menyucikan, tentu Rasulullah ﷺ tidak akan mengizinkan penggunaan air yang bercampur dengan bidara untuk memandikan jenazah putri beliau.

Akan tetapi, kenyataannya, beliau ﷺ bukan hanya mengizinkan itu, bahkan memerintahkannya.

Itu menunjukkan bahwa air yang bercampur dengan zat yang suci, tetap dianggap suci dan menyucikan, selama masih dinamakan air.

Akan tetapi, jika air bercampur dengan suatu zat yang suci sehingga tidak layak lagi dinamakan air, berarti air tersebut sudah keluar dari sifat asal penciptaannya. Air tersebut tetap suci namun tidak menyucikan.

Misalnya, air jika bercampur dengan teh atau kopi, tidak bisa lagi dinamakan air, melainkan dinamakan air teh atau air kopi. Air tersebut suci namun tidak menyucikan. Tidak bisa digunakan untuk berwudu dan tidak pula untuk mandi janabat.

Imam Ibnul Mundzir berkata:

أجمعوا على أن الوضوء لا يجوز: بماء الورد، وماء الشجر، وماء العصفر، ولا تجوز الطهارة: إلا بماء مطلق، يقع عليه اسم الماء

“Para ulama sepakat bahwa tidak diperbolehkan berwudu dengan air mawar, air pohon, dan air  ushfur. Tidak boleh bersuci kecuali dengan air mutlak, yang pantas dinamakan air.” (Al-Ijma’)

Imam An-Nawawi berkata:

وَأَمَّا حُكْمُ الْمَسْأَلَةِ وَهُوَ أَنَّ رَفْعَ الْحَدَثِ وَإِزَالَةَ النَّجَسِ لَا يَصِحُّ إلَّا بِالْمَاءِ الْمُطْلَقِ فَهُوَ مَذْهَبُنَا لَا خِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا وَبِهِ قَالَ جَمَاهِيرُ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ مِنْ الصَّحَابَةِ فَمَنْ بَعْدَهُمْ

“Adapun hukum masalah ini yaitu mengangkat hadas dan menghilangkan najis tidak sah kecuali dengan air mutlak (masih dinamakan air), maka itu adalah pendapat kami. Tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini menurut kami. Dan ini adalah pendapat mayoritas para ulama terdahulu dan belakangan dari kalangan para sahabat Nabi dan yang setelah mereka.” (Majmu’ Syarh Al-Muhadzab)

 

  1. Air Yang Tidak Suci dan Tidak Pula Menyucikan.

Pada dasarnya, walaupun bercampur dengan najis, air tetap pada sifat asalnya, yaitu suci dan menyucikan.

Ini berdasarkan ayat dan sabda Nabi ﷺ tentang air dalam sumur Budho’ah yang telah disebutkan di atas.

Nabi ﷺ menyatakan bahwa air dalam sumur tersebut tetap suci dan tidak najis, walaupun ada najis yang masuk ke dalamnya.

Akan tetapi, jika najis bercampur dengan air sehingga mengubah aroma, warna atau rasanya, berarti air tersebut sudah keluar dari sifat asal penciptaannya.

Air tersebut menjadi air najis. Air itu tidak lagi suci dan tidak pula menyucikan, baik air itu sedikit maupun banyak, diam maupun bergerak.

Imam Ibnul Mundzir berkata:

أَجْمَعُوا أَنَّ الْمَاءَ الْقَلِيلَ أَوْ الْكَثِيرَ إذَا وَقَعَتْ فِيهِ نَجَاسَةٌ فَغَيَّرَتْ طَعْمًا أَوْ لَوْنًا أَوْ رِيحًا فَهُوَ نَجِسٌ

“Para ulama sepakat bahwa air yang sedikit maupun banyak, jika najis jatuh padanya lalu mengubah rasa, warna atau aromanya, maka air tersebut najis. ”

Imam An-Nawawi berkata mengomentari pernyataan Ibnul Mundzir di atas:

وَنَقَلَ الْإِجْمَاعَ كَذَلِكَ جَمَاعَاتٌ مِنْ أَصْحَابِنَا وَغَيْرِهِمْ وَسَوَاءٌ كَانَ الْمَاءُ جَارِيًا أَوْ رَاكِدًا قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا تَغَيَّرَ تَغَيُّرًا فَاحِشًا أَوْ يَسِيرًا طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ أَوْ رِيحُهُ فَكُلُّهُ نَجِسٌ بِالْإِجْمَاعِ

“Beberapa sahabat kami dan selain mereka juga menukil ijmak (kesepakatan para ulama) tentang najisnya air tersebut, baik air itu mengalir maupun diam, baik sedikit maupun banyak, baik rasa, warna atau aromanya berubah banyak maupun sedikit. Semua itu najis berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Syarh Al-Muhadzab)

 

Kesimpulan:

  1. Berwudu hanya sah bila menggunakan air yang suci dan menyucikan.
  2. Air dianggap suci dan menyucikan jika tetap pada sifat asal penciptaannya; baik air itu turun dari langit, mengalir di daratan atau yang ada di lautan.
  3. Air dianggap suci namun tidak menyucikan jika bercampur dengan zat yang suci sehingga tidak bisa lagi dinamakan air. Contohnya: air kopi, air teh, dan semisalnya.
  4. Air dianggap tidak suci dan tidak pula menyucikan (air najis) jika bercampur dengan najis sehingga berubah aroma, warna atau rasanya. Baik air itu sedikit maupun banyak, diam maupun bergerak.

Wallahu a’lam.

 

Siberut, 20 Dzulqa’dah 1441

Abu Yahya Adiya

 

Sumber:

  1. Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab karya Imam An-Nawawi
  2. Al-Ijma’ karya Imam Ibnul Mundzir
  3. Subulussalam karya Imam Ash-Shon’ani