Apa Saja Hak-Hak Suami?

“Kalau saja aku boleh menyuruh seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, niscaya kusuruh istri agar bersujud kepada suaminya. Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, seorang wanita tidak dianggap telah menunaikan hak Tuhannya hingga ia menunaikan hak suaminya!” (HR. Ibnu Majah)

Hadis ini menunjukkan besarnya hak suami terhadap istri. Lantas, apa sajakah hak-hak suami yang harus ditunaikan oleh istrinya?

 

  1. Menaati suaminya selama tidak bertentangan dengan aturan-Nya.

Nabiﷺ  pernah ditanya:

أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ؟

“Siapakah wanita yang paling baik?”

Beliauﷺ  menjawab:

الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

“Yaitu yang menyenangkan suami ketika dipandang, menaatinya ketika diperintah, dan tidak menyalahinya dengan melakukan sesuatu yang tidak ia sukai, baik terkait dengan dirinya maupun hartanya.” (HR. Ahmad dan An-Nasai)

Karena itu, istri harus menjalankan perintah suaminya kalau memang perintahnya itu tidak bertentangan dengan syariat.

Adapun kalau perintahnya bertentangan dengan syariat, maka:

لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Tidak boleh menaati makhluk dalam perkara yang merupakan kemaksiatan kepada Allah.” (HR. Ahmad)

Karena itu, istri tidak boleh berdusta, menggunjing, memutus silaturahim, dan melakukan maksiat lainnya dengan alasan itu diperintahkan suaminya.

 

  1. Menjaga harta suaminya, tidak menggunakannya tanpa keridaannya dan tidak menginfakkannya tanpa sepengetahuannya.

Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

لَا تُنْفِقُ امْرَأَةٌ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلَّا بِإِذْنِ زَوْجِهَا

“Janganlah seorang istri menginfakkan apa pun dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya.”

Ada yang bertanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلَا الطَّعَامُ

“Wahai Rasulullah, begitu pula dengan makanan?”

Beliau ﷺ menjawab:

ذَاكَ أَفْضَلُ أَمْوَالِنَا

“Itu harta kita yang paling utama.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Imam Al-Mubarakfuri berkata:

فَإِذَا لَمْ تَجُزِ الصَّدَقَةُ بِمَا هُوَ أَقَلُّ قَدْرًا مِنَ الطَّعَامِ بِغَيْرِ إِذْنِ الزَّوْجِ فَكَيْفَ تَجُوزُ بِالطَّعَامِ الَّذِي هُوَ أَفْضَلُ

“Jika tidak boleh sedekah dengan sesuatu yang kadarnya lebih sedikit dari makanan tanpa izin suami, maka bagaimana boleh sedekah dengan makanan yang merupakan sesuatu yang paling utama?” (Tuhfah Al-Ahwadzi)

Karena itu, sebelum memberikan harta suaminya kepada orang lain, seorang istri harus izin terlebih dahulu kepada suaminya. Itu termasuk hak suaminya terhadap dirinya.

 

  1. Menjaga rumah suaminya dan anak-anaknya.

Nabiصلى االله عليه وسلم  bersabda:

كُلُّكُمْ راعٍ، وكُلُّكُمْ مسئولٌ عنْ رعِيَّتِهِ

“Setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan ditanya tentang apa yang ia pimpin.

والأِمَامُ رَاعٍ، ومسئولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Penguasa adalah pemimpin, dan ia akan ditanya tentang rakyat yang ia pimpin.

والرَّجُلُ رَاعٍ في أَهْلِهِ ومسئولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya, dan ia akan ditanya tentang keluarga yang ia pimpin.

والمرْأَةُ راعِيةٌ في بيْتِ زَوْجِهَا ومسئولة عنْ رعِيَّتِهَا

Seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia akan ditanya tentang apa yang ia pimpin.

والخَادِمُ رَاعٍ في مالِ سيِّدِهِ ومسئولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Pembantu juga pemimpin terkait harta majikannya, dan ia akan ditanya tentang apa yang ia pimpin.

فكُلُّكُمْ راعٍ ومسئولٌ عنْ رعِيتِهِ

Setiap dari kalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang apa yang ia pimpin.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Karena itu, seorang istri bertanggungjawab atas apa yang terjadi di rumah suaminya tatkala suaminya tidak ada. Jangan sampai ia membiarkan maksiat terjadi di antara anak-anaknya dan di rumahnya. Itu termasuk hak suaminya terhadap dirinya.

 

  1. Memenuhi panggilan suaminya untuk berhubungan intim.

Nabi ﷺ bersabda:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا، فَتَأْبَى عَلَيْهِ، إِلَّا كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا

“Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami mengajak istrinya ke kasur lalu ia menolaknya, kecuali Yang ada di atas langit murka kepadanya sampai suaminya rida kepadanya.” (HR. Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa di antara hak suami terhadap istrinya yaitu memenuhi panggilannya untuk berhubungan intim.

Ia harus menyambut ajakan suaminya ke kasur walaupun ia sedang sibuk di dapur!

Nabi ﷺ bersabda:

إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّورِ

“Jika seorang suami mengajak istrinya untuk kebutuhannya, maka hendaknya istri mendatanginya walaupun ia sedang di depan tungku.” (HR. Tirmidzi)

Walaupun sedang sibuk di dapur, kalau suaminya membutuhkannya, maka hendaknya ia memenuhi ajakan suaminya, kecuali kalau ia punya alasan untuk menolak ajakannya yang dibenarkan syariat, seperti sakit, dan semacamnya.

 

  1. Tidak melakukan puasa sunah kecuali dengan izin suaminya.

Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ

“Tidak halal bagi seorang istri berpuasa sedangkan suaminya hadir kecuali dengan izinnya.” (HR. Bukhari)

Kalau seorang istri hendak berpuasa sunnah, maka hendaknya ia meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya. Karena, siapa tahu suaminya ingin bersenang-senang dengannya. Sedangkan bersenang-senang dengan istri adalah hak suami yang harus ditunaikan oleh istrinya.

 

  1. Tidak keluar rumah atau mengizinkan seorang pun masuk ke rumahnya kecuali dengan izin dan keridaan suaminya.

Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ أَنْ تَأْذَنَ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَهُوَ كَارِهٌ، وَلَا تَخْرُجَ وَهُوَ كَارِهٌ

“Tidak halal bagi seorang wanita mengizinkan (seorang masuk) ke rumah suaminya, sedangkan suaminya tidak menyukainya. Dan tidak boleh ia keluar rumah, sedangkan suaminya tidak menyukainya.” (HR. Thabrani)

Kalau suami tidak mengizinkan seseorang untuk masuk rumahnya, maka istri tidak boleh mengizinkannya masuk. Itu adalah hak suami yang harus ditunaikan oleh istri.

Lantas, bagaimana kalau orang yang tidak diizinkan masuk oleh suami adalah orang tua istri atau kerabatnya?

Imam Al-Buhuti berkata:

(وَلَيْسَ لَهُ) أَيْ: الزَّوْجِ (مَنْعُهَا) أَيْ: الزَّوْجَةِ (مِنْ كَلَامِ أَبَوَيْهَا وَلَا مَنْعِهِمَا) أَيْ: أَبَوَيْهَا (مِنْ زِيَارَتِهَا) لِمَا فِيهِ مِنْ قَطِيعَةِ الرَّحِمِ. لَكِنْ إنْ عُرِفَ بِقَرَائِنِ الْحَالِ حُدُوثَ ضَرَرٍ بِزِيَارَتِهِمَا أَوْ زِيَارَةِ أَحَدِهِمَا فَلَهُ الْمَنْع

“Suami tidak boleh melarang istri berbicara dengan kedua orang tuanya dan tidak boleh pula suami melarang keduanya untuk mengunjungi istrinya, karena itu merupakan perbuatan memutus silaturahim. Namun, jika diketahui dengan beberapa indikasi adanya bahaya karena kunjungan keduanya atau salah satu dari keduanya, maka suami boleh melarangnya.” (Daqaiq Uli An-Nuha Lisyarh Al-Muntaha)

Dan termasuk hak suami terhadap istrinya yaitu ia tidak boleh keluar dari rumah kecuali dengan izin dan keridaan suaminya.

Walaupun ia keluar rumahnya dalam rangka ibadah, ia tetap harus izin kepada suaminya. Apalagi kalau ia keluar rumahnya hanya untuk perkara dunia. Tentu harus izin terlebih dahulu kepada suaminya.

Dan walaupun ia keluar bersama keluarganya, tetap saja ia harus izin terlebih dahulu kepada suaminya.

Syekhul Islam berkata:

فَلَيْسَ لَهَا أَنْ تَخْرُجَ مِنْ مَنْزِلِهِ إلَّا بِإِذْنِهِ سَوَاءٌ أَمَرَهَا أَبُوهَا أَوْ أُمُّهَا أَوْ غَيْرُ أَبَوَيْهَا بِاتِّفَاقِ الْأَئِمَّةِ.

“Istri tidak boleh keluar dari rumah suami kecuali dengan izin suami, baik ia diperintahkan oleh ayahnya atau ibunya atau selain keduanya, berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Al-Fatawa)

 

Siberut, 5 Rabi’ul Awwal 1444

Abu Yahya Adiya

 

Sumber:

  1. Al-Adillah Ar-Radhiyyah Limatni Ad-Durar Al-Bahiyyah karya Muhammad Shubhi Hasan hallaaq.
  2. Al-Fiqh Al-Muyassar Fii Dhai Al-Kitab wa As-Sunnah.
  3. Dan lain-lain