‘Uyainah bin Hishn ingin menemui ‘Umar bin Al-Khaththab. Maka ia pun berkata kepada Al-Hurr bin Qais:
يا ابن أخي هل لك وجه عند هذا الأمير فاستأذن لي عليه؟
“Wahai keponakanku, engkau punya kedudukan di sisi ‘Umar, karena itu mintalah izin kepadanya untukku.”
Al-Hurr bin Qais ini penghafal Al-Quran, sedangkan para penghafal Al-Quran adalah orang-orang yang dekat dengan ‘Umar bin Al-Khaththab ketika itu.
Al-Hurr pun berkata ‘Uyainah:
سأستأذن لك عليه
“Aku akan meminta izin kepadanya untukmu.”
Lalu Al-Hurr memintakan izin kepada ‘Umar untuk ‘Uyainah. ‘Umar pun mengizinkannya.
Tatkala sudah di depan ‘Umar, ‘Uyainah langsung berkata:
هي يا ابن الخطاب فوالله ما تعطينا الجزل -أي الكثير- ولا تحكم بيننا بالعدل،
“Heh, wahai anak Al-Khaththab! Demi Allah, engkau tidak memberi kami pemberian yang banyak dan tidak pula memberikan keputusan yang adil di antara kami!”
Lihatlah bagaimana ‘sopan’nya ia kepada Khalifah ‘Umar bin Al-Khaththab!
- Ia mengucapkan “heh” kepada ‘Umar.
Padahal, kata ini digunakan untuk menghardik dan membentak!
- Ia juga memanggil ‘Umar dengan “anaknya Al-Khaththab”.
Padahal, orang yang ada di hadapannya adalah seorang khalifah, pemimpin umat dan negara!
Ia memanggil ‘Umar dengan sebutan “anaknya Al-Khaththab”.
Padahal, orang-orang di zamannya termasuk para sahabat Nabi saja memanggilnya dengan sebutan “Amirulmukminin”!
- Ia juga mencap ‘Umar sebagai orang yang pelit dan tidak berbuat adil.
Padahal, fakta membuktikan bahwa ‘Umar adalah pemimpin yang keadilannya tidak tertandingi oleh keadilan pemimpin manapun setelahnya.
Lantas, apa reaksi ‘Umar menyaksikan celaan terhadap dirinya ini?
Ibnu ‘Abbas berkata:
فغضب عمر حتى همَّ أن يوقع به، فقال له الحر:
“Umar pun marah hingga ingin memukulnya.”
Ya, Umar benar-benar ingin memukulnya.
Dalam keadaan genting seperti itu, berkatalah Al-Hur kepada dirinya:
يا أمير المؤمنين؛ إن الله تعالى قال لنبيه صلى الله عليه وسلم:
“Wahai Amirulmukminin, sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya:
{خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ}
“Jadilah pemaaf, perintahkanlah yang makruf, dan jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.”
وإن هذا من الجاهلين
Dan sesungguhnya orang ini (‘Uyainah) termasuk orang bodoh!”
Apa reaksi ‘Umar mendapat nasehat ini?
Ibnu ‘Abbas berkata:
وَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلَاهَا عَلَيْهِ وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللَّهِ
“Demi Allah, ‘Umar tidak melangkahi ayat itu tatkala diperdengarkan kepadanya, dan ia adalah seorang yang selalu berhenti pada Kitabullah.” (HR. Bukhari)
‘Umar pun mengurungkan niatnya untuk memukul orang yang mencelanya!
‘Umar membatalkan niatnya untuk memberi pelajaran kepada orang yang memakinya!
Ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik dari kisah di atas:
- Salah satu ciri orang bodoh adalah suka mencela dan menghina.
Celaan dan hinaan selalu menghiasi lisannya. Kata-kata kotor selalu keluar dari mulutnya. Tanpa memikirkan akibatnya.
Mengapa demikian?
Sebab, otaknya ada di lisannya, bukan di kepalanya!
- Anjuran untuk memaafkan orang bodoh dan tidak meladeni kebodohannya.
Sebagaimana perintah Allah pada ayat tadi. Sebagaimana, sikap ‘Umar yang memaafkan orang bodoh yang memaki dan menghinanya tadi.
Karena itu, kalau orang bodoh memakimu dan mencelamu, maafkanlah ia. Berpalinglah darinya dan tidak usah meladeninya.
Imam Asy-Syafi’i berkata:
يخاطبني السفيه بكل قبح…فأكره أن أكون له مجيباً
“Orang bodoh berbicara kepadaku dengan perkataan yang sangat buruk…maka aku tidak suka untuk menanggapi perkataannya.
يزيد سفاهة فأزيد حلماً … كعود زاده الإحراق طيباً
Makin bertambah kebodohannya, maka makin kutambah pula kebijaksanaanku….seperti gaharu, makin terbakar, makin bertambah pula wanginya.”
Kalau orang bodoh memakimu, maka jangan engkau juga membalasnya dengan memakinya.
Kalau ia mencelamu, maka jangan engkau membalasnya dengan mencelanya.
Jangan balas kebodohan dengan kebodohan!
Abu Tamam berkata:
إذا جاريت في خلق دنيئا فأنت ومن تجاريه سواء
“Kalau engkau meladeni orang yang hina dalam suatu perilaku, maka engkau dengan orang yang engkau ladeni sama saja.”
Ya, sama saja. Yaitu sama-sama hina dan bodoh!
- Hendaknya seorang muslim menerima kebenaran, sepahit apa pun dan dari siapa pun.
Sebagaimana yang ditunjukkan ‘Umar tatkala Al-Hurr mengingatkannya dengan ayat Allah, maka ia pun tunduk pada ayat tersebut. Ia tunduk pada kebenaran yang ada padanya dan mengenyampingkan emosi yang telah meluap di dadanya.
Demikianlah seharusnya sikap seorang muslim dalam menghadapi kebenaran.
Jangan sampai ia berpaling darinya karena menuruti egonya!
Abdullah bin Mas’ud berkata:
ومن جاءك بالحق فاقبل منه وإن كان بعيدا بغيضا
“Siapa yang datang kepadamu membawa kebenaran maka terimalah, walaupun itu datang dari orang yang jauh dan dibenci.
ومن جاءك بالباطل فاردده عليه وإن كان حبيبا قريبا.
Sedangkan siapa yang datang kepadamu membawa kesalahan, maka tolaklah, walaupun itu datang dari orang yang dekat lagi dicintai.” (Sifat Ash-Shofwah)
Siberut, 12 Syawwal 1442
Abu Yahya Adiya






