Cara Menyelesaikan Konflik Suami Istri

Jika suami tidak menunaikan hak istrinya, maka ia telah melakukan nusyuz. Dan jika istri tidak menunaikan hak suaminya, maka ia juga telah melakukan nusyuz.

Kalau istri melakukan nusyuz, maka hendaknya suami menjalankan tuntunan yang telah Allah berikan (lihat: QS. An-Nisa’: 34).

Dan kalau suami melakukan nusyuz, maka hendaknya istri menjalankan juga tuntunan yang telah Allah berikan (lihat: QS. An-Nisa’: 128).

Namun, bagaimana kalau nusyuz muncul dari keduanya?

Bagaimana kalau nusyuz muncul dari keduanya sehingga terjadi keributan dan pertengkaran antara keduanya?

Allah berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا

“Dan jika kalian khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga wanita. Jika keduanya bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (QS. An-Nisa’: 35)

Imam Ibnu Katsir berkata:

قَالَ الْفُقَهَاءُ: إِذَا وَقَعَ الشِّقَاقُ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ، أَسْكَنَهُمَا الْحَاكِمُ إِلَى جَنْبِ ثِقَةٍ، يَنْظُرُ فِي أَمْرِهِمَا، وَيَمْنَعُ الظَّالِمَ مِنْهُمَا مِنَ الظُّلْمِ،

“Para ahli fikih menjelaskan bahwa bila terjadi persengketaan antara suami istri, maka hakim melerai keduanya dengan menjadi penengah yang mempertimbangkan perkara keduanya dan mencegah orang yang zalim di antara keduanya melakukan perbuatan zalim.

فَإِنْ تَفَاقَمَ أَمَرُهُمَا وَطَالَتْ خُصُومَتُهُمَا، بَعَثَ الْحَاكِمُ ثِقَةً مَنْ أَهْلِ الْمَرْأَةِ، وَثِقَةً مِنْ قَوْمِ الرَّجُلِ، لِيَجْتَمِعَا وَيَنْظُرَا فِي أَمْرِهِمَا، وَيَفْعَلَا مَا فِيهِ الْمَصْلَحَةُ مِمَّا يَرَيَانِهِ مِنَ التَّفْرِيقِ أَوِ التَّوْفِيقِ وتَشَوف الشَّارِعُ إِلَى التَّوْفِيقِ؛ وَلِهَذَا قَالَ:

Jika perkara keduanya makin parah dan persengketaan keduanya makin panjang, maka hakim memanggil seorang yang dipercaya dari keluarga si wanita dan seorang yang dipercaya dari pihak pria untuk berkumpul, mempertimbangkan perkara keduanya, dan melakukan hal yang mereka pandang ada maslahat bagi keduanya berupa memisahkan keduanya atau mendamaikan keduanya. Dan syariat menganjurkan untuk mendamaikan keduanya. Karena itulah Dia berfirman:

{إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا}

“Jika keduanya bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu.” (Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim)

Namun, kalau kedua juru damai memandang tidak bisa menyatukan pasangan suami istri itu, maka apakah boleh keduanya memisahkan pasangan suami istri itu tanpa izin dan keridaan suami istri itu?

Imam Malik berkata:

يَجُوزُ قَوْلُهُمَا فِي الْفُرْقَةِ وَالِاجْتِمَاعِ بِغَيْرِ تَوْكِيلِ الزَّوْجَيْنِ وَلَا إِذْنٍ مِنْهُمَا فِي ذَلِك

“Perkataan kedua juru damai itu dibolehkan dalam hal berpisah atau bersatu tanpa suami istri mewakilkan itu terlebih dahulu dan tanpa izin dari keduanya dalam hal tersebut.” (Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid)

Dan itu juga pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.

Apa dalil pendapat ini?

 

  1. Allah berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا

“Dan jika kalian khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan….” (QS. An-Nisa’: 35)

Allah menyuruh untuk mengirim dua juru damai, bukan mengirim dua wakil.

Kalau seseorang menjadi wakil bagi orang lain dalam suatu perkara, maka ia tidak bisa memutuskan perkara orang tersebut kecuali dengan izin orang yang mewakilkan tersebut.

Contohnya: A mewakilkan kepada B untuk menjual motornya. Maka, tidak boleh bagi B menukar motor tersebut dengan motor lain, kecuali dengan izin A.

Dan dalam ayat disebutkan: “maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan.”

Kalau memang keduanya adalah juru damai, maka keduanya bisa memutuskan perkara suami-istri itu, apakah keduanya berpisah atau bersatu lagi, dan itu tanpa keridaan dari suami-istri.

 

  1. Suatu hari ‘Ali bin Abi Thalib didatangi pasangan suami-istri. Bersama keduanya ada keluarga dari pihak suami dan ada keluarga dari pihak istri. Lalu pihak keluarga suami menunjuk seseorang sebagai juru damai dan pihak keluarga istri menunjuk seseorang sebagai juru damai.

Maka ‘Ali pun berkata kepada dua orang juru damai tadi:

أَتَدْرِيَانِ مَا عَلَيْكُمَا؟ إِنْ رَأَيْتُمَا أَنْ تُفَرِّقَا فَرَّقْتُمَا، وَإِنْ رَأَيْتُمَا أَنْ تَجْمَعَا جَمَعْتُمَا

“Tahukah kalian berdua, apa kewajiban kalian berdua? Jika kalian berpendapat untuk memisahkan keduanya, maka pisahkanlah keduanya. Dan jika kalian berpendapat untuk menyatukan kembali keduanya, maka satukanlah keduanya.” (Mushannaf ‘Abdir Razzaaq Ash-Shan’ani)

‘Ali tidak menyatakan kepada suami-istri itu, “Apakah kalian rida kalau dipisahkan? Atau apakah kalian rida kalau disatukan lagi?”

Ucapan ‘Ali ini di hadapan para sahabat Nabi ﷺ yang lain dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengingkarinya.

Maka, itu semacam kesepakatan para sahabat Nabi ﷺ bahwa juru damai bisa memisahkan suami istri atau menyatukan kembali tanpa keridaan suami-istri.

 

Kesimpulan:

1) Kalau terjadi keributan antara suami-istri, maka jalan keluarnya yakni diutus penengah dari pihak suami dan penengah dari pihak istri.

2) Hendaknya kedua penengah itu menyelesaikan masalah keduanya, yakni apakah keduanya masih bisa disatukan atau harus dipisahkan?

3) Kalau keduanya masih bisa disatukan, maka itulah yang dianjurkan.

4) Kalau keduanya ternyata harus berpisah, maka kedua penengah itu boleh memisahkan keduanya, walaupun salah satu dari keduanya atau kedua-duanya tidak rida dengan keputusan tersebut.

Dan kalau memang keduanya harus berpisah setelah menjalankan tuntunan yang telah Allah berikan tadi, maka itulah keputusan yang terbaik, karena….

Allah berfirman:

وَإِنْ يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّهُ كُلًّا مِنْ سَعَتِهِ وَكَانَ اللَّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا

“Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’: 130)

 

Siberut, 17 Rabi’ul Tsani 1444

Abu Yahya Adiya

 

Sumber: Shahih Fiqh As-Sunnah karya Syekh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid.