Doa ketika Melihat Orang yang Tertimpa Musibah

Doa ketika Melihat Orang yang Tertimpa Musibah

Apa yang seharusnya kita lakukan jika melihat orang yang terkena bencana atau musibah?

Apa yang sepantasnya kita lakukan jika melihat orang yang cacat atau terjatuh dalam maksiat?

Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ رَأَى مُبْتَلًى فَقَالَ

“Siapa yang melihat orang yang tertimpa musibah, kemudian ia mengucapkan:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي عَافَانِي مِمَّا ابْتَلَاكَ بِهِ وَفَضَّلَنِي عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيلًا

“Segala puji bagi Allah yang telah melindungiku dari musibah yang menimpamu, dan benar-benar melebihkanku di atas banyak orang.”

لَمْ يُصِبْهُ ذَلِكَ الْبَلَاءُ

Niscaya ia tidak tertimpa musibah itu.” (HR. Tirmidzi)

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa siapa yang mengucapkan demikian, maka:

فَقَدْ أَدَّى شُكْرَ تِلْكَ النِّعْمَةِ

“Sungguh, ia telah bersyukur atas nikmat tersebut.” (Syu’ab Al-Iman)

Ya, ia telah bersyukur kepada Allah atas nikmat berupa terhindar dari musibah.

Namun, apa maksud musibah di sini?

Dan siapa yang dimaksud dengan orang yang tertimpa musibah di sini?

Mullah ‘Ali Al-Qari menjelaskan bahwa maksudnya adalah orang yang terkena musibah:

أَيْ: فِي أَمْرٍ بَدَنِيٍّ كَبَرَصٍ وَقِصَرٍ فَاحِشٍ أَوْ طُولٍ مُفْرِطٍ أَوْ عَمًى أَوْ عَرَجٍ أَوِ اعْوِجَاجِ يَدٍ وَنَحْوِهَا، أَوْ دِينِيٍّ بِنَحْوِ فِسْقٍ وَظُلْمٍ وَبِدْعَةٍ وَكُفْرٍ وَغَيْرِهَا

“Dalam perkara badannya seperti terkena penyakit belang, sangat pendek, sangat tinggi, buta, pincang, tangan yang bengkok, dan semacamnya. Atau dalam perkara agamanya seperti terjatuh dalam kefasikan, kezaliman, bidah, kekafiran dan selainnya.” (Mirqaat Al-Mafaatiih Syarh Misykaat Al-Mashaabiih)

Musibah bisa menimpa agama seseorang sebagaimana bisa menimpa badannya. Bahkan, itu merupakan musibah paling parah yang menimpa seorang hamba.

Karena itu, Nabi ﷺ pernah berdoa:

وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا

“Dan jangan Engkau timpakan musibah pada agama kami.” (HR. Tirmidzi)

Seorang ulama tabiin, Mujahid pernah berkata:

مَا أَدْرِي أَيُّ النِّعْمَتَيْنِ أَعْظَمُ: أَنْ هَدَانِي لِلإِسْلاَمِ، أَوْ عَافَانِي مِنْ هَذِهِ الأَهْوَاءِ؟

“Aku tidak tahu mana kenikmatan yang lebih besar di antara dua kenikmatan ini: Allah memberiku hidayah sehingga aku berada dalam Islam atau Dia menyelamatkanku dari hawa nafsu.” (Siyar A’lam An-Nubala)

Apa maksud hawa nafsu di sini?

Imam Adz-Dzahabi menjelaskan:
مِثْلُ الرَّفْضِ، وَالقَدَرِ، وَالتَّجَهُّمِ.
“Yakni seperti keyakinan Syiah Rafidhah, Qadariyyah, dan Jahmiyyah.” (Siyar A’lam An-Nubala)

Ada beberapa faidah yang bisa kita petik dari hadis tadi:

 

1. Dianjurkan mengucapkan doa tadi jika melihat orang yang cacat, baik cacat dalam masalah dunia maupun agama.

Mullah ‘Ali Al-Qari berkata:

وَكَذَا يُسْتَحَبُّ الدُّعَاءُ عِنْدَ رُؤْيَةِ الظَّالِمِينَ وَالْفَاسِقِينَ، بَلِ الْمُبْتَلِينَ بِالدُّنْيَا، كَمَا كَانَ الشِّبْلِيُّ – قَدَّسَ اللَّهُ سِرَّهُ – إِذَا رَأَى أَحَدًا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا يَقُولُ:

“Demikian pula dianjurkan doa tatkala melihat orang-orang zalim dan fasik, bahkan termasuk juga orang-orang yang tersesat karena dunia. Sebagaimana Asy-Syibli-semoga Allah menyucikan rohnya-jika melihat orang yang tertipu oleh dunia, ia mengucapkan:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ، الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي عَافَانِي مِمَّا ابْتَلَاكَ بِهِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan. Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari musibah yang menimpa dirimu.” (Mirqaat Al-Mafaatiih Syarh Misykaat Al-Mashaabiih)

Karena itu, jika kita melihat orang yang buta, bisu, dan cacat lainnya, sedangkan kita tidak mengalami demikian, maka hendaknya kita mengucapkan doa tadi sebagai bentuk syukur kita kepada Allah.

Dan jika kita melihat orang yang terjatuh dalam kekafiran, kemusyrikan, bidah atau kemaksiatan, sedangkan kita tidak mengalami demikian, maka hendaknya kita mengucapkan doa tadi sebagai bentuk syukur kita kepada Allah.

Bukan cuma doa. Bahkan, sebagian ulama menganjurkan untuk sujud syukur karena demikian.

Mullah ‘Ali Al-Qari berkata:

قَالَ الْمُظْهِرُ: السُّنَّةُ إِذَا رَأَى مُبْتَلًى أَنْ يَسْجُدَ شُكْرًا لِلَّهِ عَلَى أَنْ عَافَاهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنْ ذَلِكَ الْبَلَاءِ. وَلْيَكْتُمِ السُّجُودَ، وَإِذَا رَأَى فَاسِقًا فَلْيُظْهِرِ السُّجُودَ لِيَنْتَبِهَ وَيَتُوبَ

“Al-Muzhhir berkata bahwa yang sunah jika seseorang melihat orang yang terkena musibah yaitu sujud syukur kepada Allah karena telah menyelamatkannya dari musibah tersebut dan hendaknya ia menyembunyikan sujudnya. Dan jika melihat orang fasik, hendaknya ia menampakkan sujudnya agar orang itu sadar dan bertobat.” (Mirqaat Al-Mafaatiih Syarh Misykaat Al-Mashaabiih)

 

2. Tidak boleh mengejek dan mencela orang yang cacat atau terjatuh dalam maksiat. Sebab, dalam hadis tadi, Nabi ﷺ membimbing kita untuk berdoa kepada Allah, bukan mengeluarkan ejekan dan hinaan.

 

3. Hendaknya kita selalu mengingat nikmat Allah yang telah Dia berikan kepada kita.

Imam Ash-Shan’ani berkata:

وفيه أنه ينبغي للعبد أن لا يزال ذاكرًا نعم الله عليه معتبرًا في رؤية العباد ومقرًّا أن ما به من نعمة فمن الله

“Dalam hadis ini terdapat keterangan yakni sepantasnya bagi seorang hamba untuk terus mengingat nikmat Allah atas dirinya dengan mengambil pelajaran ketika melihat hamba yang lain dan mengakui bahwa nikmat yang ada padanya adalah dari Allah.” (At-Tanwiir Syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir)

 

Siberut, 23 Muharram 1445

Abu Yahya Adiya