Fikih Puasa 12

Fikih Puasa 12

Seorang wanita mendatangi Nabi ﷺ lalu berkata:

إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ

“Sesungguhnya ibuku wafat sedangkan ia punya tanggungan puasa selama sebulan.”

Nabi ﷺ pun bertanya:

أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتِ تَقْضِينَهُ؟

“Apa pendapatmu kalau ibumu memiliki hutang, apakah engkau membayarnya?”

Wanita itu menjawab:

نَعَمْ

“Ya.”

Maka Nabi ﷺ pun bersabda

فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ

“Hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar!”

Ada beberapa faidah yang bisa kita petik dari hadis ini:

1. Bolehnya mendengar ucapan wanita ajnabi (yang bukan mahram) dalam belajar dan perkara lain yang dibutuhkan dengan syarat aman dari fitnah.

2. Anjuran membayar hutang mayit.
Jika seseorang meninggal dalam keadaan memiliki tanggungan hutang, maka hendaknya keluarganya melunasinya.

Pertanyaan: apakah yang mesti melunasi hutang mayit adalah keluarganya? Bagaimana kalau yang melunasinya orang lain yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengannya?

Jawaban: orang lain pun boleh melunasinya dan itu teranggap sah.

Suatu hari ada jenazah dibawa ke hadapan Nabi ﷺ untuk disalatkan. Nabi ﷺ bertanya:

أَعَلَيْهِ دَيْنٌ؟

“Apakah ia punya hutang?”

Para sahabat menjawab:

دِينَارَانِ

“Dua dinar.”

Maka Nabi ﷺ pun enggan menyalatinya. Lalu Abu Qatadah berkata:

الدِّينَارَانِ عَلَيَّ

“Saya tanggung dua dinar itu.”

Maka beliau ﷺ pun mau menyalati jenazah tersebut.

Dua hari berikutnya Abu Qatadah mendatangi Nabi ﷺ dan berkata:

لَقَدْ قَضَيْتُهُمَا

“Sudah kubayar dua dinar itu.”

Maka Nabi ﷺ pun bersabda:

الْآنَ بَرَدَتْ عَلَيْهِ جِلْدُهُ

“Sekarang, baru dinginlah kulitnya.” (HR. Ahmad)

Imam An-Nawawi berkata:

وَقَدْ أَجْمَعَتِ الْأُمَّةُ عَلَيْهِ وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَقْضِيَهُ عَنْهُ وَارِثٌ أَوْ غَيْرُهُ فَيَبْرَأُ بِهِ بِلَا خِلَافٍ

“Umat telah sepakat akan hal ini dan tidak ada perbedaan antara yang melunasinya adalah ahli waris mayit atau selainnya, dengan itu mayit terbebas dari beban hutang, dan ini tanpa perbedaan pendapat di antara ulama.” (Syarh Shahih Muslim)

3. Bolehnya seorang anak berpuasa untuk menutupi hutang puasa orang tuanya yang sudah meninggal.

Pertanyaan: Apakah yang diperbolehkan menutupi hutang puasa mayit adalah anaknya saja? Bagaimana kalau yang berpuasa adalah kerabatnya?

Jawaban: Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَوْمٌ، صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Siapa yang meninggal dunia dalam keadaan mempunyai tanggungan hutang puasa, maka hendaknya walinya berpuasa untuk menutupi hutangnya itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam An-Nawawi berkata:

وَالمُخْتَارُ جَوَازُ الصَّوْمِ عَمَّنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَوْمٌ لِهَذَا الْحَدِيثِ، والمُرَادُ بالْوَليِّ: الْقَرِيبُ وَارِثاً كَانَ أوْ غَيْرِ وَارِثٍ.

“Pendapat yang terpilih yaitu bolehnya berpuasa untuk melunasi hutang puasa orang yang sudah meninggal dunia berdasarkan hadis ini. Dan yang dimaksud dengan wali dalam hadis yaitu kerabatnya, baik itu ahli warisnya maupun yang bukan ahli warisnya.” (Riyadhus Shalihin)

Pertanyaan: bagaimana kalau yang menutupi hutang puasa mayit adalah orang lain yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan si mayit?

Jawaban: boleh. Sebab, Nabi ﷺ menyamakan hutang puasa dengan hutang kepada manusia. Sebagaimana hutang kepada manusia boleh dibayar oleh selain yang berhutang, maka begitu pula hutang puasa. Inilah pendapat Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari dan Imam Bukhari pun condong kepada pendapat ini.

4. Sahnya kias (analogi). Sebab, dalam hadis di atas Nabi ﷺ menganalogikan hutang puasa dengan hutang kepada manusia. Sama-sama harus ditunaikan.
Dari sini jelaslah kebatilan madzhab Azh-Zhahiri yang menolak adanya qiyas.

5. Jika seseorang meninggal dalam keadaan mempunyai tanggungan hutang kepada Allah dan kepada manusia, sedangkan hartanya sedikit tidak cukup untuk membayar semua hutang, maka lebih didahulukan pembayaran hutang kepada Allah.

Siberut, 6 Ramadhan 1441
Abu Yahya Adiya

Sumber:
1. Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari karya Al-Hafizh Ibnu Hajar
2. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj karya Imam An-Nawawi
3. Riyadhush Shalihin karya Imam An-Nawawi
4. Fatwa Islamweb