Nabi ﷺ bersabda:
وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ، إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
“Bersungguh-sungguhlah dalam menghirup air ketika berwudu kecuali kalau engkau berpuasa.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah)
Ada beberapa faidah yang bisa kita petik dari hadis ini:
1. Anjuran bagi orang yang sedang tidak berpuasa untuk menghirup air semaksimal mungkin ke dalam hidung ketika berwudhu.
2. Dimakruhkan bagi orang yang berpuasa menghirup air semaksimal mungkin ke dalam hidung ketika berwudhu. Mengapa demikian?
Al-‘Azhim Abadi berkata:
وَإِنَّمَا كُرِهَ الْمُبَالَغَةُ لِلصَّائِمِ خَشْيَةَ أَنْ يَنْزِلَ إِلَى حَلْقِهِ مَا يُفْطِرُهُ
“Sesungguhnya dibencinya berlebihan dalam menghirup air ke hidung bagi orang yang berpuasa, karena dikhawatirkan akan masuk ke dalam tenggorokannya apa yang akan membuatnya batal.” (‘Aun Al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud)
Artinya, kalau seseorang berlebihan dalam menghirup air ke hidung, bisa jadi air tersebut masuk ke dalam tenggorokannya. Dan itu akan membatalkan puasanya.
3. Orang yang berpuasa diperbolehkan menghirup air ke dalam hidung ketika berwudhu selama tidak berlebihan dan tidak terlalu dalam.
4. Orang yang berpuasa diperbolehkan berkumur-kumur selama bisa menjaga air jangan sampai masuk ke tenggorokan.
Sebab, berkumur-kumur itu sama seperti menghirup air ke hidung.
5. Orang yang sedang berpuasa diperbolehkan menggosok gigi entah dengan menggunakan siwak atau sikat gigi, selama bisa menjaga, jangan sampai ada yang masuk ke tenggorokannya.
Sebab, kalau menghirup air ke hidung dan berkumur-kumur ketika berpuasa saja boleh, maka begitu pula menggosok gigi. Tidak jauh beda dengan itu. Bahkan, menggosok gigi itu termasuk perkara yang disunnahkan baik ketika berpuasa maupun tidak berpuasa.
Nabi ﷺ bersabda:
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي، لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ
“Kalaulah tidak memberatkan umatku, niscaya kuperintahkan mereka untuk bergosok gigi setiap kali akan salat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
6. Orang yang sedang berpuasa diperbolehkan mencicipi makanan dengan syarat tidak ada yang masuk ke tenggorokannya dan ia mengeluarkannya kembali.
Sebab, kalau menghirup air ke hidung dan berkumur-kumur ketika berpuasa saja diperbolehkan, maka begitu pula mencicipi makanan. Tidak jauh beda dengan itu.
Ibnu ‘Abbas berkata:
لاَ بَأْسَ أَنْ يَتَطَعَّمَ القِدْرَ أَوِ الشَّيْءَ
“Tidak mengapa orang yang berpuasa mencicipi makanan di panci atau apa pun.” (HR. Bukhari)
Pertanyaan: kalau mencicipi makanan diperbolehkan, selama tidak ditelan, lantas apa hukum menelan ludah bagi orang yang berpuasa?
Jawaban: Imam An-Nawawi berkata:
ابْتِلَاعُ الرِّيقِ لَا يُفْطِرُ بِالْإِجْمَاعِ إذَا كَانَ عَلَى الْعَادَةِ لِأَنَّهُ يَعْسُرُ الِاحْتِرَازُ مِنْهُ
“Menelan ludah tidak membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama, jika memang masih normal. Sebab, itu perkara yang susah dihindari.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab)
7. Orang yang sedang berpuasa dibolehkan membasahi badan entah dengan berendam, mandi atau yang lainnya.
Sebab, kalau membasahi mulut saja diperbolehkan, apalagi luar mulut!
Ada seseorang mengabarkan kepada Abu Bakar:
لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ بِالْعَرْجِ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ الْمَاءَ، وَهُوَ صَائِمٌ مِنَ الْعَطَشِ، أَوْ مِنَ الْحَرِّ
“Sungguh, aku melihat Rasulullah ﷺ di ‘Arj menuangkan air ke kepalanya ketika sedang puasa dikarenakan haus atau karena panasnya cuaca.” (HR. Abu Daud)
8. Orang yang berpuasa diperbolehkan menggunakan celak.
Sebab, kalau membuat basah mulut, hidung, dan anggota badan yang lain saja diperbolehkan, apalagi kalau sampai tidak membasahi!
Imam Bukhari berkata:
وَلَمْ يَرَ أَنَسٌ، وَالحَسَنُ، وَإِبْرَاهِيمُ بِالكُحْلِ لِلصَّائِمِ بَأْسًا
“Anas bin Malik, Hasan, dan Ibrahim berpendapat bolehnya memakai celak bagi orang yang berpuasa.” (Shahih Bukhari)
9. Masuknya air lewat hidung sama seperti masuknya air lewat mulut, yaitu bisa membatalkan puasa.
Syekh ‘Utsaimin berkata:
فدل ذلك على أن وصول الأكل أو الشرب عن طريق الأنف كوصوله عن طريق الفم يفطر الصائم
“Itu menunjukkan bahwa masuknya makanan atau minuman lewat hidung sama seperti masuknya makanan atau minuman lewat mulut, yaitu akan membatalkan puasa.
وأما الإبر التي تكون في الوريد أو تكون في اليد أو تكون في الظهر أو في أي مكان فإنه لا يفطر الصائم إلا الإبر المغذية التي يستغنى بها عن الأكل والشرب فهذه تفطر الصائم ولا يحل له إذا كان صومه فرضا أن يستعملها إلا عند الحاجة عند الضرورة فإذا اضطر إلى ذلك أفطر واستعمل الإبر وقضى يوما مكانه.
Adapun jarum yang ada pada urat atau di tangan atau di punggung, atau di tempat mana pun, maka itu tidak membuat orang berpuasa jadi batal, kecuali infus, itu akan membuatnya batal. Dan itu tidak boleh baginya jika puasa yang ia lakukan adalah puasa wajib kecuali dalam keadaan dibutuhkan, yaitu ketika darurat. Jika seseorang terpaksa harus diinfus, maka hendaknya ia berbuka dan menggunakan itu serta mengganti puasa yang ia tinggalkan itu pada hari yang lain.” (Syarh Riyadhus Shalihin)
10. Hadits ini menunjukkan kaidah syariat Darulmafaasid Muqoddam ‘Ala Jalbil Masholih (menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan).
Ada kemaslahatan yang bisa kita raih dengan menghirup air semaksimal mungkin ke dalam hidung ketika berwudu. Namun, tatkala kemaslahatan yang coba kita raih ini justru akan ‘terkubur’ oleh kemudaratan besar yang akan muncul, yaitu batalnya puasa, maka Nabi ﷺ pun melarang itu.
Kaidah Darulmafaasid Muqoddam ‘Ala Jalbil Masholih (menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan) ini bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Contohnya mengingkari kesalahan penguasa secara terang-terangan. Tidak syak lagi itu tentu mempunyai kemaslahatan, yaitu menampakkan pengingkaran terhadap kemungkaran dan juga memperlihatkan kepada masyarakat bahwa yang perkara yang diingkari adalah kemungkaran dan tidak boleh dikerjakan.
Namun, tatkala kemaslahatan yang coba diraih ini justru akan ‘terkubur’ oleh kemudaratan besar yang akan muncul, yaitu seperti munculnya tindakan represif dari pihak penguasa, terjadinya kekacauan, dan pertumpahan darah, maka perbuatan itu dilarang.
Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فِي أَمْرٍ فَلا يُبْدِهِ عَلانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوا بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Siapa yang hendak menasehati penguasa dalam urusan apa pun, maka jangan tampakkan itu dengan terang-terangan. Namun, peganglah tangannya dan berduaanlah dengannya. Jika ia menerima, maka itu yang diharapkan. Namun, jika ia tidak menerima, maka sungguh, ia telah menunaikan apa yang diwajibkan atas dirinya.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah)
Siberut, 11 Ramadhan 1441
Abu Yahya Adiya
Sumber:
1. ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud karya Al-‘Azhim Abadi
2. Bulughul Maram karya Al-Hafizh Ibnu Hajar
3. Syarh Riyadhush Shalihin karya Syekh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin
4. Syarh Bulughul Maram karya ‘Athiyah bin Muhammad bin Salim
5. Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab karya Imam An-Nawawi






