Apa perasaan kita jika seseorang melontarkan cacian kepada kita?
Apa yang akan kita lakukan jika kita mengalami demikian?
Apakah kita mendiamkannya? Atau membalasnya?
Kalau memang membalasnya, apakah kita berdosa?
Nabiﷺ bersabda:
الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالَا فَعَلَى الْبَادِئِ، مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ
“Dua orang yang saling mencaci, maka dosanya ditanggung oleh orang yang memulainya selama orang yang dicaci itu tidak melampaui batas.” (HR. Muslim, Abu Daud dan Ahmad)
Apa maksud hadis ini?
Imam An-Nawawi berkata:
مَعْنَاهُ أَنَّ إِثْمَ السِّبَابِ الْوَاقِعِ مِنَ اثْنَيْنِ مُخْتَصٌّ بِالْبَادِئِ مِنْهُمَا كُلُّهُ إِلَّا أَنْ يَتَجَاوَزَ الثَّانِي قَدْرَ الِانْتِصَارِ فَيَقُولُ لِلْبَادِئِ أَكْثَرَ مِمَّا قَالَ لَه
“Makna hadis ini yakni dosa saling mencaci yang terjadi antara dua orang hanya ditanggung oleh orang yang memulai cacian di antara keduanya, kecuali kalau orang kedua (yang dicaci) melampaui batas dalam membela diri sehingga mencaci orang yang memulai cacian dengan cacian yang lebih banyak daripada cacian yang ia lontarkan.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj)
Ada beberapa faidah yang bisa kita petik dari hadis tadi:
1. Diharamkan mencela seorang muslim tanpa alasan yang dibenarkan.
Imam An-Nawawi berkata:
وَاعْلَمْ أَنَّ سِبَابَ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ حَرَامٌ كَمَا قَالَ ﷺ
“Ketahuilah bahwa mencela seorang muslim tanpa alasan yang dibenarkan adalah diharamkan. sebagaimana Nabi ﷺ bersabda:
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ
“Mencela seorang muslim adalah kefasikan.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj)
2. Bolehnya seseorang membalas cacian yang ditujukan kepadanya selama tidak berlebihan dan melampaui batas.
Imam An-Nawawi berkata:
وَفِي هَذَا جَوَازُ الِانْتِصَارِ وَلَا خِلَافَ فِي جَوَازِهِ وَقَدْ تظاهرت عليه دلائل الكتاب والسنة قال الله تَعَالَى
“Dalam hadis ini terdapat keterangan bolehnya membela diri dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal bolehnya demikian. Sungguh, banyak dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah yang menunjukkan demikian. Allah berfirman:
وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِ فَأُولَئِكَ مَا عَلَيْهِمْ مِنْ سَبِيلٍ
“Dan sungguh, orang-orang yang membela diri setelah dizalimi, tidak ada alasan untuk menyalahkan mereka.” (QS. Asy-Syuraa: 41)
وَقَالَ تَعَالَى
Dan Allah berfirman:
وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنْتَصِرُونَ
“Dan orang-orang yang bila mereka diperlakukan dengan zalim, mereka membela diri.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj)
Kalau memang membalas cacian diperbolehkan selama tidak berlebihan, berarti itu tidak diharamkan.
Maksud tidak berlebihan di sini artinya cacian tersebut tidak melebihi cacian yang diterima.
Imam An-Nawawi berkata:
وَلَا يَجُوزُ لِلْمَسْبُوبِ أَنْ يَنْتَصِرَ إِلَّا بِمِثْلِ ما سبه مالم يَكُنْ كَذِبًا أَوْ قَذْفًا أَوْ سَبًّا لِأَسْلَافِهِ
“Tidak boleh bagi orang yang dicela membela dirinya kecuali dengan yang semisal dengan celaan yang ia terima, selama itu bukan dusta, tuduhan zina, atau celaan terhadap leluhurnya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj)
Apa contoh membalas celaan dengan celaan yang semisal dengannya?
Syekh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz berkata:
فإذا قال له: أخزاك الله أو قاتلك الله وقال له مثل فالإثم على الأول
“Jika seseorang berkata kepadanya, ‘Semoga Allah menghinakanmu!’ atau ‘Semoga Allah memerangimu!’ lalu ia membalasnya dengan yang semisal dengannya, maka dosa cacian ditanggung oleh orang yang memulai cacian.” (Syarh Riyadhush Shalihin)
Kalau A mencela B dengan berkata, “Semoga Allah menghinakanmu!”, lalu B membalasnya dengan berkata, “Semoga Allah menghinakanmu juga!”, maka itu diperbolehkan. Dan dosa saling mencaci di sini ditanggung oleh A. Namun, kalau B membalas A dengan cacian yang lebih banyak atau lebih parah, maka….
Syekh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz berkata:
فإن زاد الثاني فعليه إثم الزيادة، الأول قال: له أخزاك الله، فقال الثاني: بل أنت أخزاك الله ولعنك، الإثم بالزيادة هذه،
“Jika orang kedua (yang dicaci) menambah caciannya, maka ia mendapatkan dosa karena tambahan cacian tersebut. Kalau orang pertama (yang memulai cacian) berkata kepadanya, ‘Semoga Allah menghinakanmu!’, lalu orang kedua (yang mendapat cacian) berkata, ‘Bahkan, semoga Allah menghinakanmu dan melaknatmu!’, maka ia mendapatkan dosa karena tambahan cacian itu.” (Syarh Riyadhush Shalihin)
Ya, ia mendapatkan dosa, karena balasan yang ia lakukan tidak seimbang dengan celaan yang ia terima. Ia mendapatkan dosa karena telah menambah balasannya dengan tambahan laknat Allah.
3. Walaupun membalas cacian diperbolehkan, tetapi bersabar dan memaafkan lebih baik daripada melakukan pembalasan.
Imam An-Nawawi berkata:
وَمَعَ هَذَا فَالصَّبْرُ وَالْعَفْوُ أَفْضَلُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى
“Walaupun demikian, bersabar dan memaafkan lebih utama. Allah berfirman:
وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Namun, siapa yang bersabar dan memaafkan, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia.” (QS. Asy-Syuraa: 43)
وللحديث المذكور بعد هذا
Dan berdasarkan hadis yang disebutkan setelah ini:
مازاد اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا
“Allah tidaklah menambahkan bagi orang yang memaafkan kecuali kemuliaan.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj)
4. Hendaknya seorang mukmin menjaga lisannya dari celaan dan segala perkataan yang buruk.
Syekh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz berkata:
المؤمن طيب اللسان طيب الأعمال حافظ للسانه حافظ لجوارحه
“Seorang mukmin adalah orang yang baik lisannya dan baik amalannya. Ia menjaga lisannya dan menjaga anggota badannya.” (Syarh Riyadhush Shalihin)
Siberut, 2 Jumada Al-Ulaa 1445
Abu Yahya Adiya






