Dalam keadaan berpakaian panjang hingga menutupi mata kakinya, seorang pria melewati Imam Shilah bin Asyyam.
Sahabat-sahabat Imam Shilah yang kebetulan ada di situ menjadi ‘panas’ dan hendak bersikap keras pada pria itu.
Maka Imam Shilah pun berkata:
دعوني أنا أكفيكم
“Biarkan aku saja yang menghadapi orang itu, bukan kalian.”
Lalu Imam Shilah menghampiri orang itu dan berkata:
يا ابن أخي إن لي إليك حاجة
“Wahai anak saudaraku, sesungguhnya aku ada keperluan dengan dirimu.”
Orang itu bertanya:
وما حاجتك يا عم
“Apa keperluanmu, wahai paman?”
Imam Shilah berkata:
أحب أن ترفع من إزارك
“Aku suka kalau engkau mengangkat pakaianmu.”
Maka orang itu berkata:
نعم وكرامة
“Ya, siap. Dengan senang hati.”
Lalu ia pun mengangkat pakaiannya.
Setelah orang itu pergi, Imam Shilah berkata kepada para sahabatnya:
لو أخذتموه بشدة لقال لا ولا كرامة وشتمكم
“Kalau kalian bersikap keras kepadanya, tentu ia akan berkata, ‘Tidak. Aku tidak sudi!’, dan ia akan mencela kalian.” (Ihya ‘Ulum Ad-Din)
Meluruskan kesalahan orang lain adalah maksud yang mulia. Namun, apakah bisa maksud tersebut ditempuh dengan sikap yang kasar?
Allah berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنْ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
“Maka berkat rahmat Allah engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu.” (QS. Ali-‘Imran: 159)
Ayat ini ditujukan kepada sosok yang amat mulia dan sangat bertakwa, yakni nabi kita ﷺ.
Nah, kalau beliau ﷺ bersikap keras dan berhati kasar saja tidak akan mendapat simpati dari orang lain, maka bagaimana pula dengan kita?!
Siberut, 1 Shafar 1444
Abu Yahya Adiya






