Permasalahan Seputar Iilaa (Bag. 2)

Permasalahan Seputar Iilaa (Bag. 2)

 

  1. Siapa yang bisa terkena iilaa?

Allah berfirman:

لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Bagi orang-orang yang meng-ilaa’ isteri mereka diberi tangguh empat bulan (lamanya). (QS. Al-Baqarah: 226)

Meng-ilaa’ isteri mereka ini menunjukkan bahwa yang bisa terkena iilaa adalah istri, yaitu wanita yang dinikahi dengan pernikahan yang sah.

Karena itu, tidak sah iilaa yang dilakukan seorang pria kepada wanita yang bukan istrinya.

Dan tidak sah juga iilaa yang dilakukan seorang pria kepada wanita yang ia nikahi melalui nikah mut’ah, nikah tahlil, dan pernikahan lainnya yang tidak sah.

Lantas, bagaimana kalau suami memiliki istri yang memiliki kelainan sehingga tidak bisa digauli, apakah bisa ia melakukan iilaa kepada istrinya itu?

Syekh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid berkata:

ويشترط في الزوجة-عند الحنابلة والشافعية- أن تكون صالحة للوطء, فلا يصح الإيلاء من الرتقاء والقرناء, لأن الوطء متعذر دائما فلم تنعقد اليمين على تركه, ولم يتحقق قصد الإيذاء والإضرار

“Terkait dengan istri, disyaratkan-menurut ulama Hanabilah dan Syafi’iyyah-bisa disetubuhi. Karena itu, tidak sah melakukan iilaa kepada wanita yang mengalami rataq (tertutup lubang kemaluannya) dan qaran (adanya daging, kelenjar, atau tulang dalam kemaluan). Sebab, melakukan persetubuhan dalam kasus demikian tidak bisa dilakukan selama-lamanya. Karenanya, sumpah untuk tidak melakukan persetubuhan dalam hal ini tidak dianggap dan tidak terwujud juga niat untuk mengganggu dan membahayakan istri.” (Shahih Fiqh As-Sunnah)

 

  1. Dengan apa iilaa terwujud?

1) Imam Ibnu Qudamah berkata:

أَنَّ شُرُوطَ الْإِيلَاءِ أَرْبَعَةٌ أَحَدُهَا، أَنْ يَحْلِفَ بِاَللَّهِ تَعَالَى أَوْ بِصِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ. وَلَا خِلَافَ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي أَنَّ الْحَلِفَ بِذَلِكَ إيلَاءٌ.

“Sesungguhnya syarat iilaa ada 4, yang pertama yaitu bersumpah dengan nama Allah atau salah satu sifat-Nya. Dan tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa bersumpah dengan demikian adalah iilaa.” (Al-Mughni)

Artinya, kalau seseorang berkata kepada istrinya, “Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu!”, maka itu dianggap iilaa menurut kesepakatan para ulama.

Begitu juga kalau seseorang berkata kepada istrinya, “Demi kemuliaan Allah, aku tidak akan menyentuhmu!”, maka itu pun dianggap iilaa menurut kesepakatan para ulama.

Karena itu, kalau seseorang berkata kepada istrinya, “Demi Nabi…demi malaikat…demi Kabah, aku tidak akan menggaulimu!”, maka itu tidak dianggap iilaa.

Nabiﷺ  bersabda:

مَنْ كَانَ حَالِفًا، فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ

“Siapa yang ingin bersumpah, maka bersumpahlah dengan nama Allah atau diamlah.” (HR. Bukhari)

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

وَفِيهِ أَنَّ مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ مُطْلَقًا لَمْ تَنْعَقِدْ يَمِينُهُ

“Dalam hadis ini terdapat keterangan bahwa siapa yang bersumpah dengan selain nama Allah secara mutlak, maka tidak dianggap sumpahnya.” (Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari)

 

2) Imam Ibnu Qudamah berkata:

الشَّرْطُ الثَّالِثُ أَنْ يَحْلِفَ عَلَى تَرْكِ الْوَطْءِ فِي الْفَرْجِ

“Syarat ketiga yaitu bersumpah untuk tidak menyetubuhi di kemaluan.” (Al-Mughni)

Karena itu, kalau seorang suami bersumpah dengan mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan menyetubuhimu di duburmu!”, maka itu tidak dianggap iilaa.

Imam Ibnu Qudamah berkata:

وَلَوْ قَالَ: وَاَللَّهِ لَا وَطِئْتُك فِي الدُّبُرِ. لَمْ يَكُنْ مُولِيًا؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَتْرُكْ الْوَطْءَ الْوَاجِبَ عَلَيْهِ، وَلَا تَتَضَرَّرُ الْمَرْأَةُ بِتَرْكِهِ، وَإِنَّمَا هُوَ وَطْءٌ مُحَرَّمٌ

“Kalau seorang suami berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan menyetubuhimu di dubur’, maka ia tidak melakukan iilaa. Sebab, ia tidak meninggalkan persetubuhan yang wajib atasnya, dan si istri pun tidak mendapatkan bahaya dengan tidak melakukan itu. Sesungguhnya menyetubuhi di dubur adalah persetubuhan yang diharamkan.” (Al-Mughni)

 

  1. Apakah sah iilaa kurang dari empat bulan?

Kalau seorang suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya selama satu bulan atau dua bulan, apakah sah iilaa yang ia lakukan?

Allah berfirman:

لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Bagi orang-orang yang meng-ilaa’ isteri mereka diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istri mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka bertekad melakukan talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 226-227)

Dalam ayat ini Allah menyebutkan batas maksimal seorang suami tidak menggauli istrinya. Kalau setelah empat bulan ia tidak juga menggauli istrinya, maka ia diberi pilihan antara kembali menggauli istrinya atau menceraikannya.

Allah menyebutkan batas maksimalnya, namun tidak menyebutkan batas minimalnya. Itu menunjukkan bahwa iillaa sah kurang dari empat bulan.

Imam Ibnu Hazm berkata:

وَمَنْ حَلَفَ بِاَللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، أَوْ بِاسْمٍ مِنْ أَسْمَائِهِ تَعَالَى: أَنْ لَا يَطَأَ امْرَأَتَهُ….فَسَوَاءٌ وَقَّتَ وَقْتًا – سَاعَةً فَأَكْثَرَ إلَى جَمِيعِ عُمْرِهِ – أَوْ لَمْ يُوَقِّتْ: الْحُكْمُ فِي ذَلِكَ وَاحِدٌ.

“Siapa yang bersumpah demi Allah atau dengan salah satu nama-Nya untuk tidak menggauli istrinya….maka sama saja ia menentukan waktunya-sesaat atau lebih dari itu hingga seluruh umurnya-atau ia tidak menentukan waktunya, maka hukumnya sama dalam hal demikian.” (Al-Muhalla)

Dan pendapat ini dikuatkan oleh kabar dari Anas bin Malik:

آلَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مِنْ نِسَائِهِ، وَكَانَتْ انْفَكَّتْ رِجْلُهُ، فَأَقَامَ فِي مَشْرُبَةٍ تِسْعًا وَعِشْرِينَ لَيْلَةً، ثُمَّ نَزَلَ فَقَالُوا:

“Rasulullah ﷺ pernah bersumpah untuk tidak menemui isteri-isterinya dalam keadaan kaki beliau sakit. Beliau tinggal di suatu kamar selama dua puluh sembilan hari, kemudian beliau singgah (di rumah isterinya). Para sahabat pun berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ آلَيْتَ شَهْرًا

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Anda bersumpah untuk tidak menemui istri selama satu bulan.”

فَقَالَ

Maka beliau bersabda:

إِنَّ الشَّهْرَ يَكُونُ تِسْعًا وَعِشْرِينَ

“Bulan ini dua puluh sembilan hari.” (HR. Bukhari)

Hadis ini menunjukkan bahwa iilaa bisa terjadi kurang dari empat bulan.

 

Siberut, 6 Rajab 1444

Abu Yahya Adiya

 

Sumber:

  1. Al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah.
  2. 2. Al-Muhalla karya Imam Ibnu Hazm.
  3. Shahih Fiqh As-Sunnah karya Syekh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid.