Permasalahan Seputar Takzir

Permasalahan Seputar Takzir

 

  1. Apa itu takzir?

Imam Ash-Shan’ani berkata:

وَهُوَ فِي الشَّرْعِ تَأْدِيبٌ عَلَى ذَنْبٍ لَا حَدَّ فِيهِ

“Takzir dalam syariat yaitu memberikan pelajaran atas suatu dosa yang tidak ada batasannya.” (Subulussalam)

Artinya takzir adalah hukuman yang bentuk dan kadarnya tidak ditentukan oleh Allah melainkan dikembalikan kepada kebijakan penguasa.

 

  1. Apa contoh perbuatan yang bisa mendapatkan takzir?

Imam Ibnu Qudamah menyebutkan contohnya:

أَوْ وَطْءِ امْرَأَتِهِ فِي دُبُرِهَا أَوْ حَيْضِهَا، أَوْ وَطْءِ أَجْنَبِيَّةٍ دُونَ الْفَرْجِ، أَوْ سَرِقَةِ مَا دُونَ النِّصَابِ، أَوْ مِنْ غَيْرِ حِرْزٍ، أَوْ النَّهْبِ، أَوْ الْغَصْبِ، أَوْ الِاخْتِلَاسِ، أَوْ الْجِنَايَةِ عَلَى إنْسَانٍ بِمَا لَا يُوجِبُ حَدًّا وَلَا قِصَاصًا وَلَا دِيَةً، أَوْ شَتْمِهِ بِمَا لَيْسَ بِقَذْفٍ. وَنَحْوُ ذَلِكَ

“Menyetubuhi istri di duburnya atau ketika ia haid atau menyetubuhi wanita yang bukan istri tapi di selain kemaluan atau mencuri barang yang di bawah nisab atau dari selain tempat penyimpanan atau melakukan perampasan atau gasab atau pencopetan atau melakukan kejahatan kepada seseorang dengan perbuatan yang tidak berkonsekuensi jatuhnya hudud, tidak kisas, dan tidak pula diat atau mencela seseorang selain tuduhan zina dan perbuatan semacamnya.” (Al-Mughni)

Tidak ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah keterangan berupa bentuk dan kadar hukuman terhadap semua perbuatan tadi.

Karena itu, kalau penguasa menjatuhkan hukuman tertentu atas perbuatan tadi, maka hukuman itu disebut dengan takzir.

 

  1. Siapa yang berhak menjatuhkan takzir?

Yang berhak menjatuhkan takzir adalah penguasa. Namun, dalam keadaan tertentu, selain penguasa berhak juga menjatuhkan takzir.

Imam Ash-Shan’ani berkata:

وَلَيْسَ التَّعْزِيرُ لِغَيْرِ الْإِمَامِ إلَّا لِثَلَاثَةٍ:

“Melakukan takzir tidak diperbolehkan bagi selain penguasa kecuali tiga orang.” (Subulussalam)

Siapa sajakah tiga orang itu?

Orang yang pertama, kata Imam Ash-Shan’ani:

الْأَبُ فَإِنَّ لَهُ تَعْزِيرَ وَلَدِهِ الصَّغِيرِ لِلتَّعْلِيمِ وَالزَّجْرِ عَنْ سَيِّئِ الْأَخْلَاقِ وَالظَّاهِرُ أَنَّ الْأُمَّ فِي مَسْأَلَةِ زَمَنِ الصِّبَا فِي كَفَالَتِهِ لَهَا ذَلِكَ وَلِلْأَمْرِ بِالصَّلَاةِ وَالضَّرْبِ عَلَيْهَا، وَلَيْسَ لِلْأَبِ تَعْزِيرُ الْبَالِغِ وَإِنْ كَانَ سَفِيهًا.

“Ayah. Karena sesungguhnya ia boleh melaksanakan takzir terhadap anaknya yang kecil untuk mengajarinya dan melarangnya dari perilaku yang buruk. Dan yang tampak, ibu juga boleh melakukan itu ketika anak masih kecil dan dalam pemeliharaannya dan karena adanya perintah kepada orang tua untuk menyuruh anaknya salat dan memukulnya jika enggan melaksanakannya. Dan seorang ayah tidak boleh menjatuhkan takzir kepada anaknya yang sudah balig, walaupun akalnya belum sempurna.” (Subulussalam)

Orang yang kedua, kata Imam Ash-Shan’ani:

السَّيِّدُ يُعَزِّرُ رَقِيقَهُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ وَفِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى الْأَصَحِّ.

“Majikan menjatuhkan takzir kepada budaknya terkait dengan hak dirinya dan juga hak Allah menurut pendapat yang paling kuat.” (Subulussalam)

Orang yang ketiga, kata Imam Ash-Shan’ani:

الزَّوْجُ لَهُ تَعْزِيرُ زَوْجَتِهِ فِي أَمْرِ النُّشُوزِ كَمَا صَرَّحَ بِهِ الْقُرْآنُ، وَهَلْ لَهُ ضَرْبُهَا عَلَى تَرْكِ الصَّلَاةِ وَنَحْوِهَا؟ الظَّاهِرُ أَنَّ لَهُ ذَلِكَ إنْ لَمْ يَكْفِ فِيهَا الزَّجْرُ لِأَنَّهُ مِنْ بَابِ إنْكَارِ الْمُنْكَرِ وَالزَّوْجُ مِنْ جُمْلَةِ مَنْ يُكَلَّفُ بِالْإِنْكَارِ بِالْيَدِ أَوْ اللِّسَانِ أَوْ الْجَنَانِ وَالْمُرَادُ هُنَا الْأَوَّلَانِ.

“Suami boleh menjatuhkan takzir kepada istrinya dalam perkara nusyuz, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran. Dan apakah ia boleh memukul istrinya karena meninggalkan salat dan semacamnya? Yang tampak ia boleh melakukan itu, jika memang teguran saja tidak cukup. Sebab, itu dalam rangka mengingkari kemungkaran, sementara suami termasuk orang yang dibebani tugas untuk mengingkari kemungkaran dengan tangan, lisan, atau hati. Yang dimaksudkan di sini yaitu tangan dan lisan.” (Subulussalam)

 

  1. Jika orang yang terkena takzir meninggal dunia, apakah mesti ada ganti rugi?

Imam Ibnu Qudamah berkata:

وَإِذَا مَاتَ مِنْ التَّعْزِيرِ لَمْ يَجِبْ ضَمَانُهُ. وَبِهَذَا قَالَ مَالِكٌ، وَأَبُو حَنِيفَةَ

“Jika seseorang mati karena takzir, maka tidak wajib menanggung kematiannya. Inilah pendapat Malik dan Abu Hanifah.” (Al-Mughni)

Mengapa demikian?

Imam Ibnu Qudamah berkata:

أَنَّهَا عُقُوبَةٌ مَشْرُوعَةٌ لِلرَّدْعِ، وَالزَّجْرِ، فَلَمْ يُضْمَنْ مَنْ تَلِفَ بِهَا، كَالْحَدِّ

“Takzir merupakan hukuman yang disyariatkan sebagai bentuk pencegahan dan teguran, karena itu tidak diharuskan menanggung kerusakan yang terjadi karenanya, serupa dengan penegakkan hudud.” (Al-Mughni)

 

  1. Bagaimana bentuk takzir?

 

(bersambung)

 

Siberut, 17 Jumada Al-Ulaa 1446

Abu Yahya Adiya