Serba-Serbi Salat Musafir (Bag. 2)

Serba-Serbi Salat Musafir (Bag. 2)

 

  1. Apakah ada azan dan ikamah bagi musafir yang ingin melaksanakan salat?

Abu Sa’id Al-Khudri berkata kepada ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Abu Sha’sha’ah Al-Anshari Al-Mazini:

إِنِّي أَرَاكَ تُحِبُّ الغَنَمَ وَالبَادِيَةَ، فَإِذَا كُنْتَ فِي غَنَمِكَ، أَوْ بَادِيَتِكَ، فَأَذَّنْتَ بِالصَّلاَةِ فَارْفَعْ صَوْتَكَ بِالنِّدَاءِ، فَإِنَّهُ: «لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ المُؤَذِّنِ، جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ، إِلَّا شَهِدَ لَهُ يَوْمَ القِيَامَةِ»، قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ

“Aku melihatmu menyukai kambing dan lembah (penggembalaan). Jika engkau sedang menggembalakan kambingmu atau berada di lembah, lalu engkau mengumandangkan azan salat, maka keraskanlah suaramu. Karena, tidak ada yang mendengar suara muazin, baik manusia, jin atau apa pun ia, kecuali ia akan menjadi saksi baginya pada hari kiamat. Aku mendengar itu dari Rasulullah ﷺ.” (HR. Bukhari)

Malik bin Al-Huwairits berkata:

أتَى رَجُلاَنِ النَّبِيَّ ﷺ يُرِيدانِ السَّفَرَ فَقَالَ النبيُّ ﷺ

“Dua orang mendatangi Nabi ﷺ dalam keadaan hendak safar. Lalu Nabi ﷺ bersabda:

إذَا أنْتُمَا خَرَجْتُمَا فَأَذِّنَا ثُمَّ أقِيمَا ثُمَّ لِيَؤُمُّكُمَا أكْبَرُكُمَا

“Jika kalian berdua keluar, maka kumandangkanlah azan lalu kumandangkanlah ikamah. Kemudian, hendaknya yang paling besar di antara kalian menjadi imam.” (HR. Bukhari)

2 Hadis ini menunjukkan bahwa azan dan ikamah disyariatkan dan disunnahkan pula bagi musafir. Dan itulah pendapat jumhur ulama.

 

  1. Apakah musafir boleh melaksanakan salat di atas kendaraannya?

Ibnu ‘Umar berkata:

كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ، حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ يُومِئُ إِيمَاءً صَلاَةَ اللَّيْلِ، إِلَّا الفَرَائِضَ

“Nabi ﷺ melaksanakan salat malam ketika safar di atas tunggangannya ke mana saja hewan itu menghadap. Beliau mengerjakannya dengan isyarat kecuali salat wajib.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam At-Tirmidzi berkata:

وَالعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ عَامَّةِ أَهْلِ العِلْمِ لَا نَعْلَمُ بَيْنَهُمْ اخْتِلَافًا: لَا يَرَوْنَ بَأْسًا أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ عَلَى رَاحِلَتِهِ تَطَوُّعًا حَيْثُ مَا كَانَ وَجْهُهُ إِلَى القِبْلَةِ أَوْ غَيْرِهَا

“Hadis ini bisa diamalkan menurut semua ulama, dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara mereka. Mereka berpendapat tidak mengapa seseorang melaksanakan salat sunnah di atas kendaraannya ke mana saja wajahnya menghadap, baik kiblat atau selainnya.” (Sunan At-Tirmidzi)

Hadis dan penjelasan Imam At-Tirmidzi tadi menunjukkan bahwa seorang musafir dibolehkan melaksanakan salat sunnah di atas kendaraannya. Adapun salat wajib, maka itu tidak diperbolehkan, kecuali kalau dalam keadaan darurat dan semacamnya.

Imam An-Nawawi berkata:

أَنَّ الْمَكْتُوبَةَ لَا تَجُوزُ إِلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ وَلَا عَلَى الدَّابَّةِ وَهَذَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ إِلَّا فِي شِدَّةِ الْخَوْفِ

“Salat wajib tidak boleh menghadap selain kiblat dan tidak boleh pula di atas kendaraan. Ini perkara yang disepakati kecuali dalam keadaan sangat takut.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj)

Imam An-Nawawi juga berkata:

قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَوْ حَضَرَتْ الصَّلَاةُ الْمَكْتُوبَةُ وَهُمْ سَائِرُونَ وَخَافَ لَوْ نَزَلَ لِيُصَلِّيَهَا عَلَى الْأَرْضِ إلَى الْقِبْلَةِ انْقِطَاعًا عَنْ رُفْقَتِهِ أَوْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ لَمْ يَجُزْ تَرْكُ الصَّلَاةِ وَإِخْرَاجُهَا عَنْ وَقْتِهَا بَلْ يُصَلِّيهَا عَلَى الدَّابَّةِ

“Para sahabat kami (mazhab Syafi’i) berpendapat bahwa kalau telah masuk waktu salat wajib sedangkan mereka dalam keadaan berjalan dan ia khawatir kalau turun untuk melaksanakannya di atas tanah menghadap kiblat akan terpisah dari teman-temannya atau mengkhawatirkan dirinya atau hartanya, maka ia tidak boleh meninggalkan salat dan mengerjakannya di luar waktunya. Bahkan, hendaknya ia tetap melaksanakan salat di atas kendaraan.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab)

 

  1. Apakah musafir boleh menjamak salat?

Ibnu ‘Umar berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَجْمَعُ بَيْنَ صَلاَةِ الظُّهْرِ وَالعَصْرِ، إِذَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ سَيْرٍ وَيَجْمَعُ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ

“Rasulullah ﷺ menjamak salat Zuhur dan Asar jika dalam perjalanan dan menjamak juga salat Magrib dan Isya.” (HR. Bukhari)

Hadis ini menunjukkan bahwa musafir diperbolehkan menjamak salat. Dan itulah pendapat ulama mazhab Syafi’i, Hanbali dan ulama lainnya.

Namun, kalau seseorang sudah sampai tujuan perjalanannya, maka mana yang lebih utama baginya, apakah menjamak salatnya atau melaksanakan masing-masing salat pada waktunya?

Syekh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin berkata:

الأفضل أن يصلي كل صلاة في وقتها, فإن شق عليه, فله أن يجمع؛ لأن القول الراجح أن الجمع في السفر جائز وإن لم يكن سائراً.

“Yang lebih utama yaitu ia melaksanakan semua salat pada waktunya. Jika itu terasa berat, maka boleh baginya menjamak salat. Sebab, pendapat yang kuat bahwa menjamak salat ketika safar adalah boleh, jika memang tidak dalam perjalanan.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-‘Utsaimin)

 

  1. Apakah musafir melaksanakan salat sunnah dalam safar?

Hadis Ibnu ‘Umar tadi (no. 6) menunjukkan bahwa Nabi ﷺ melaksanakan salat sunnah ketika safar. Namun Ibnu Umar juga mengabarkan:

صَحِبْتُ النَّبِيَّ ﷺ فَلَمْ أَرَهُ يُسَبِّحُ فِي السَّفَرِ

“Aku pernah menemani Nabi ﷺ, maka aku tidak pernah melihat beliau melaksanakan salat sunnah ketika safar.” (HR. Bukhari)

Imam Ibnul Qayyim menjelaskan hadis ini:

وَمُرَادُهُ بِالتَّسْبِيحِ: السُّنَّةُ الرَّاتِبَةُ، وَإِلَّا فَقَدَ صَحَّ عَنْهُ ﷺ أَنَّهُ كَانَ يُسَبِّحُ عَلَى ظَهْرِ رَاحِلَتِهِ حَيْثُ كَانَ وَجْهُهُ.

“Yang dimaksud dengan salat sunnah di sini adalah salat rawatib. Kalau tidak, maka telah sahih dari beliau ﷺ bahwa beliau melaksanakan salat sunnah di atas tunggangannya ke mana saja ia menghadap.” (Zaad Al-Ma’ad Fii Hadyi Khair Al-‘Ibad)

Maka, salat yang dilakukan oleh Nabi ﷺ ketika safar adalah salat sunnah  mutlak. Sedangkan salat yang ditinggalkan oleh Nabi ﷺ ketika safar adalah salat sunnah rawatib.

Syekh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin berkata:

وأما السنن الرواتب فإنه يسقط منها عن المسافر…وما عدا ذلك من النوافل فإنه باق على حكمه

“Adapun salat-salat sunah rawatib, maka itu gugur dari musafir….adapun salat sunah selain itu, maka itu tetap pada hukumnya.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-‘Utsaimin)

Artinya, tidak disyariatkan salat sunah rawatib ketika safar. Adapun salat sunah mutlak lainnya, maka itu tetap disyariatkan ketika safar. Allahu a’lam.

 

Siberut, 7 Dzulhijjah 1442

Abu Yahya Adiya

 

Sumber:

  1. Al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah
  2. Al-Muhadzdzab Fii Fiqh Al-Imam Asy-Syafi’i karya Imam Asy-Syairazi.
  3. Shahih Fiqh As-Sunnah karya Syekh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid.
  4. dan lain-lain.