- Apa hukum mengqasar salat bagi musafir?
Ibnu ‘Umar berkata:
إِنِّي صَحِبْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ فِي السَّفَرِ، فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللهُ، وَصَحِبْتُ أَبَا بَكْرٍ، فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللهُ، وَصَحِبْتُ عُمَرَ، فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللهُ، ثُمَّ صَحِبْتُ عُثْمَانَ، فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللهُ» وَقَدْ قَالَ اللهُ:
“Sesungguhnya aku telah menemani Rasulullah ﷺ dalam perjalanan, beliau tidak pernah melaksanakan salat lebih dari dua rakaat sampai beliau wafat. Aku pernah menemani Abu Bakar, ia pun tidak pernah melaksanakan salat lebih dari dua rakaat sampai ia wafat. Dan aku pernah menemani ‘Umar dalam perjalanan, ia pun tidak pernah melaksanakan salat lebih dari dua rakaat sampai ia wafat. Aku juga pernah menemani ‘Utsman dalam perjalanan, ia pun tidak pernah melaksanakan salat lebih dari dua rakaat sampai ia wafat. Sungguh, Allah telah berfirman:
{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ} [الأحزاب: 21]
“Sungguh, telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian pada diri Rasulullah.” (HR. Muslim)
Lahiriah perkataan Ibnu ‘Umar ini seakan-akan menunjukkan bahwa mengqasar salat ketika perjalanan jauh adalah wajib. Tapi….
Lahiriah itu dipalingkan oleh firman-Nya:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
“Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian mengqasar salat, jika kalian takut diserang orang-orang kafir.” (QS. An-Nisa’: 101)
Imam As-Suyuthi berkata:
وَيُؤْخَذ مِنْ قَوْله {فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاح} أَنَّهُ رُخْصَة لَا وَاجِب
“Dari firman-Nya: “tidaklah mengapa kalian” bisa diambil faidah bahwa mengqasar adalah keringanan dan bukan kewajiban.” (Tafsir Jalalain)
Dan ketika ‘Umar bertanya kepada Nabi ﷺ tentang ayat itu, beliau bersabda:
صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ، فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ
“Itu adalah sedekah yang Allah berikan kepada kalian. Karena itu, terimalah sedekah-Nya!” (HR. Muslim)
Kata sedekah jika dimutlakkan, maka maksudnya adalah pemberian yang tidak wajib. Itu menunjukkan bahwa mengqasar salat itu sunnah, dan bukan wajib. Itulah pendapat jumhur ulama dan itulah pendapat yang kuat.
Syekhul Islam berkata:
وَأَظْهَرُ الْأَقْوَالِ قَوْلُ مَنْ يَقُولُ إنَّهُ سُنَّةٌ وَأَنَّ الْإِتْمَامَ مَكْرُوهٌ
“Pendapat yang paling kuat yaitu pendapat orang yang menyatakan bahwa mengqasar salat ketika safar adalah sunnah, dan bahwasanya menyempurnakan salat ketika itu makruh.” (Majmu’ Al-Fatawa)
- Berapa batas jarak perjalanan yang membolehkan qasar salat?
Allah berfirman:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
“Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian mengqasar salat, jika kalian takut diserang orang-orang kafir.” (QS. An-Nisa’: 101)
Imam Ibnu Qudamah berkata:
لِأَنَّ ظَاهِرَهُ إبَاحَةُ الْقَصْرِ لِمَنْ ضَرَبَ فِي الْأَرْضِ….وَقَدْ سَقَطَ شَرْطُ الْخَوْفِ بِالْخَبَرِ الْمَذْكُورِ عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ. فَبَقِيَ ظَاهِرُ الْآيَةِ مُتَنَاوِلًا كُلَّ ضَرْبٍ فِي الْأَرْضِ…. وَالْحُجَّةُ مَعَ مَنْ أَبَاحَ الْقَصْرَ لِكُلِّ مُسَافِرٍ
“Lahiriah Al-Quran membolehkan qasar bagi orang yang bepergian di muka bumi….telah gugur syarat takut berdasarkan hadis Ya’la bin Umayyah tadi. Karena itu, tinggallah lahiriah ayat mencakup semua orang yang bepergian di muka bumi….dan hujah bersama orang yang membolehkan qasar bagi setiap orang yang melakukan safar.” (Al-Mughni)
Karena itu, seseorang boleh mengqasar salat selama statusnya masih musafir, dan itu tidak dibatasi jarak tertentu secara bahasa dan syariat, melainkan dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat.
Kalau kebiasaan suatu masyarakat menganggap bepergian ke daerah tertentu sudah dikatakan safar, maka siapa yang pergi ke situ, ia bisa dikatakan sebagai musafir dan ia boleh mengqasar salat. Tapi kalau kebiasaan masyarakat menganggap bepergian ke daerah tertentu belum dikatakan safar, maka siapa yang pergi ke situ, ia tidak bisa dikatakan sebagai musafir dan tidak boleh ia mengqasar salat.
Syekh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid berkata:
وضابطه: أن يقول القائل: إني مسافر إلى البلد الفلاني, لا إني ذاهب, وأن يكون فيه ما يعد به في العرف سفرا, مثل التزود له ونحو ذلك.
“Yang menjadi patokan yaitu tatkala seseorang berkata, ‘Sesungguhnya aku melakukan safar ke tempat anu’, bukan ‘aku pergi ke tempat anu’ dan ada faktor yang menyebabkan kepergian itu dianggap safar menurut kebiasaan seperti berbekal dan semacamnya.” (Shahih Fiqh As-Sunnah)
- Sampai berapa lama musafir boleh mengqasar salat di tempat yang ia tuju?
1) Ibnu ‘Abbas mengabarkan bahwa Nabi ﷺ pernah tinggal di Mekah selama 4 hari dan beliau mengqasar salat. (HR. Bukhari)
2) Anas bin Malik mengabarkan bahwa Nabi ﷺ pernah tinggal di Mekah selama 10 hari dan beliau mengqasar salat. (HR. Bukhari)
3) Ibnu ‘Abbas mengabarkan bahwa Nabi ﷺ pernah tinggal di Mekah selama 19 hari dan beliau mengqasar salat. (HR. Bukhari)
4) Jabir bin ‘Abdillah mengabarkan bahwa Nabi ﷺ pernah tinggal di Tabuk selama 20 hari dan beliau mengqasar salat. (HR. Ahmad)
Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ tidak membatasi qasar dengan waktu tertentu.
Syekhul Islam berkata:
وَإِذَا كَانَ التَّحْدِيدُ لَا أَصْلَ لَهُ فَمَا دَامَ الْمُسَافِرُ مُسَافِرًا يَقْصُرُ الصَّلَاةَ وَلَوْ أَقَامَ فِي مَكَانٍ شُهُورًا
“Jika pembatasan dalam hal ini tidak ada dalilnya, maka selama seorang musafir itu masih melakukan safar, berarti ia boleh mengqasar salat, walaupun ia tinggal di suatu tempat sampai berbulan-bulan lamanya.” (Majmu Al-Fatawa)
Dan itulah pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Ishaq bin Rahawaih, dan Qatadah.
- Apakah orang yang melakukan safar untuk maksiat boleh mengqasar salat?
Imam Asy-Syairazi berkata:
ولا يجوز القصر إلا في سفر ليس بمعصية
“Tidak boleh mengqasar salat kecuali dalam safar yang bukan maksiat.
فأما إذا سافر لمعصية كالسفر لقطع الطريق وقتال المسلمين فلا يجوز القصر ولا الترخيص بشيء من رخص المسافر
Adapun jika melakukan safar untuk maksiat, seperti safar untuk menyamun di jalan, atau memerangi kaum muslimin, maka tidak boleh qasar dan tidak boleh pula mengambil sedikit pun keringanan yang biasanya boleh diambil oleh musafir.
لأن الرخص لا يجوز أن تتعلق بالمعاصي ولأن في جواز الرخص في سفر المعصية إعانة على المعصية وهذا لا يجوز.
Sebab, keringanan itu tidak boleh terkait dengan maksiat dan karena dengan membolehkan keringanan dalam safar maksiat itu merupakan bentuk pertolongan untuk melakukan maksiat dan itu tidak boleh.” (Al-Muhadzdzab Fii Fiqh Al-Imam Asy-Syafii)
Dan itulah pendapat jumhur ulama.
Siberut, 30 Dzulqa’dah 1442
Abu Yahya Adiya






