“Aku berharap ia bahagia, sebagaimana aku sendiri berharap kalau diriku bahagia.”
“Aku tidak ingin ia bersedih, sebagaimana aku sendiri tidak ingin diriku bersedih.”
Itulah tanda orang yang memiliki keimanan yang sempurna.
Nabi ﷺ bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia menginginkan kebaikan untuk saudaranya sebagaimana ia menginginkan kebaikan untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tauhid itu mengantarkan pada kebahagiaan di dunia dan akhirat, sedangkan syirik mengantarkan pada kesengsaraan di dunia dan akhirat.
Jika seorang muslim sudah mengetahui keutamaan tauhid dan bahaya syirik, maka tidak pantas pengetahuannya itu hanya untuk dirinya sendiri. Hendaknya ia memberitahukan itu kepada orang lain.
Sebab, itulah bukti keimanannya dan itulah bukti bahwa ia telah mengikuti nabi dan rasulnya.
Allah berfirman:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan basirah. Maha Suci Allah. Dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Jalanku yaitu dakwahku.
Mengajak kepada Allah yaitu mengajak untuk mengesakan Allah. Bukan mengajak untuk mencari dunia. Bukan mengajak untuk merebut kekuasaan, atau membesarkan golongan.
Dengan basirah yaitu dengan ilmu, dengan bukti yang nyata, sehingga jelaslah mana yang benar dan mana yang salah.
Maha Suci Allah yaitu aku menyucikan Allah dari sekutu-sekutu. Karena, Dia itu Maha Esa baik dalam hal zat-Nya, sifat-Nya maupun perbuatan-Nya.
Faidah yang bisa kita petik dari ayat di atas:
- Dakwah kepada tauhid adalah jalannya para rasul dan pengikut mereka.
Nah, kalau itu adalah jalannya para rasul dan pengikut mereka, maka hendaknya kita pun meniru dan meneladani mereka. Kita seharusnya memerhatikan tauhid, mempraktekkannya dan mendakwahkannya. Bukan justru meremehkannya!
Bukan justru meremehkannya dengan berkata, “Kalau belajar tauhid terus, lalu kapan beramalnya?!”
Atau dengan berkata, “Sekarang ini umat tidak butuh diajari tentang tauhid. Umat sudah cerdas. Mereka sudah tahu mana itu tauhid dan mana itu syirik!”
Padahal…
Berapa banyak orang yang masih percaya dengan klenik dan perdukunan di zaman ini…
Berapa banyak orang yang masih mencari kekebalan dan kesaktian dari jimat dan benda-benda tertentu di zaman ini…
Berapa banyak orang yang masih mencari kesembuhan dan rezeki dari kubur-kubur tertentu di zaman ini…
Dan masih banyak lagi fenomena kemusyrikan yang sekarang ini tersebar di tengah umat ini.
Allah berfirman:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Kebanyakan mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan menyekutukan Allah.” (QS. Yusuf: 106)
- Orang yang berdakwah wajib mengerti, paham, dan mempunyai ilmu tentang apa yang ingin ia dakwahkan dan ia sampaikan.
Karena itu, seorang yang berdakwah tidak cukup dengan modal ikhlas dan semangat saja. Perlu ilmu. Perlu belajar.
Sebab, kalau tidak, ia akan berbicara tentang agama tanpa ilmu. Dan itu sama saja berdusta atas nama Allah.
Allah menyebutkan di antara dosa-dosa besar, yaitu:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang nampak dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, menyekutukan Allah dengan sesuatu, sedangkan Dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan kalian berkata tentang Allah apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-A’raaf: 33)
Seorang yang berdakwah harus berhati-hati dengan apa yang ingin ia sampaikan. Sebab, kalau yang ia sampaikan salah, ia berdosa dan harus menanggung dosa orang yang telah ia sesatkan.
Nabi ﷺ bersabda:
ومَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثام من تبعه لا ينقص ذلك من آثامهم شيئا
“Siapa yang mengajak kepada kesesatan, maka ia memperoleh dosa sebagaimana dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa dikurangi sedikit pun dosa orang-orang yang mengikutinya.” (HR. Muslim)
- Dalam berdakwah seorang muslim wajib ikhlas.
Jangan sampai ia berdakwah untuk mencari harta, jabatan, pujian, dan tujuan dunia lainnya.
Dan jangan sampai juga ia berdakwah untuk mengajak kepada kelompok dan golongan.
Hendaknya ia berdakwah semata-mata karena Allah. Mengharapkan balasan Allah.
Sebab, Nabi ﷺ menyebutkan orang yang pertama kali disiksa dan dibakar di dalam neraka di antaranya:
وَرَجُل تَعلَّم الْعِلّمَ وعَلَّمَهُ، وقَرَأ الْقُرْآنَ، فَأتِىَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمهُ فَعَرَفَهَا
“Seorang lelaki yang belajar ilmu agama dan mengajarkannya serta membaca al-Quran. Ia didatangkan. Lalu Allah memperlihatkan kepadanya berbagai nikmat-Nya, maka ia pun mengakuinya.
قالَ:
Dia berfirman:
فمَا عمِلْتَ فِيهَا؟
“Apa yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?”
قالَ:
Ia menjawab:
تَعلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ، وَقَرَأتُ فِيكَ الْقُرآنَ
“Aku belajar agama dan mengajarkannya. Aku juga membaca al-Quran karena-Mu.”
قَالَ:
Dia berfirman:
كَذَبْتَ، ولكِنَّك تَعَلَّمْت الْعِلْمَ ليقال عالم، وقَرَأتُ الْقرآن لِيقالَ: هو قَارِىءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أمِرَ
“Engkau berdusta. Engkau sebenarnya belajar agama supaya dikatakan sebagai orang yang berilmu, dan engkau juga membaca al-Quran itu supaya dikatakan sebagai qari dan engkau sudah mendapatkan itu.”
فَسُحِبَ عَلى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ في النَّارِ
Selanjutnya orang itu diseret di atas mukanya hingga akhirnya ia dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)
Siberut, 21 Sya’ban 1441
Abu Yahya Adiya
Sumber:
- Al-Mulakhash Fi Syarh Kitab At-Tauhid karya Syekh Saleh Al-Fauzan.
- Riyadhush Shalihin karya Imam An-Nawawi.






