“Penduduk surga itu ada tiga golongan.”
Demikianlah Nabi ﷺ bersabda. Siapa sajakah tiga golongan itu?
Nabi ﷺ menyebutkan:
ذُو سُلْطانٍ مُقْسِطٌ مُوَفَّقٌ، ورَجُلٌ رَحِيمٌ رَقيقٌ القَلْبِ لِكُلِّ ذِى قُرْبَى وَمُسْلِمٍ، وعَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُو عِيالٍ
“Penguasa yang adil dan mendapatkan taufik, orang yang penyayang, lembut hatinya kepada semua kerabatnya dan kepada semua muslim, dan orang yang menjaga kehormatannya serta berusaha untuk menjaga kehormatannya, sedangkan ia mempunyai keluarga.” (HR. Muslim)
Itulah tiga golongan yang akan menempati surga.
- Penguasa yang adil dan mendapatkan taufik.
Al-Muẓhirī menjelaskan maksudnya:
أي: الذي رُزِقَ طاعةَ الله، والعَدْلَ في الحُكْم.
“Yaitu orang yang dikaruniai ketaatan kepada Allah dan keadilan dalam memberikan keputusan.” (Al-Mafātīh fī Syarh Al-Masābīh)
Penguasa yang adil dan taat kepada Allah layak masuk surga. Bagaimana tidak layak? Allah mencintainya!
Allah berfirman:
وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Berlaku adillah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat: 9)
- Orang yang penyayang, lembut hatinya kepada semua kerabatnya dan kepada semua muslim
Al-Muẓhirī menjelaskan maksudnya:
مَن في قلبه رِقَّة؛ أي: شفقةٌ ورحمةٌ على الأقارب والأجانب.
“Yaitu orang yang dalam hatinya ada kelembutan, yakni kasih sayang kepada orang dekat maupun jauh.” (Al-Mafātīh fī Syarh Al-Masābīh)
Syekh Muḥammad bin Ṣāliḥ Al-’Uṡaimīn menjelaskan maksudnya:
رجل رحيم يرحم عباد الله، يرحم الفقراء، يرحم العجزة، يرحم الصغار، يرحم كل من يستحق الرحمة
“Yaitu orang yang penyayang, menyayangi hamba-hamba Allah, menyayangi orang-orang miskin, menyayangi orang-orang lemah, anak-anak, dan menyayangi semua orang yang berhak disayangi.” (Syarḥ Riyād Aṣ-Ṣālihīn)
Orang yang penyayang dan berhati lembut layak masuk surga. Bagaimana tidak layak? Allah menyayanginya!
Nabi ﷺ bersabda:
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
“Para penyayang itu disayangi oleh Yang Maha Penyayang. Sayangilah yang ada di bumi, niscaya kalian disayangi oleh Yang ada di atas langit.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
- Orang yang menjaga kehormatannya serta berusaha untuk menjaga kehormatannya, sedangkan ia mempunyai keluarga
Al-Muẓhirī menjelaskan maksudnya:
يعني: يتركُ المال، ويتباعد عنه، وإن كان له عيال، ولا يحمِلُه حبُّ العيال على تحصيلِ المال الحرام، بل يختار حبَّ الله على حبِّ العيال.
“Yakni ia meninggalkan harta dan menjauhinya, walaupun ia memiliki keluarga. Kecintaannya kepada keluarga tidak mendorongnya untuk mendapatkan harta yang haram. Bahkan, ia memilih cinta kepada Allah daripada cinta kepada keluarga.” (Al-Mafātīh fī Syarh Al-Masābīh)
Syekh Muḥammad bin Ṣāliḥ Al-’Uṡaimīn menjelaskan orang yang demikian:
يعني أنه فقير ولكنه متعفف، لا يسأل الناس شيئاً، يحسبه الجاهل غنياً من التعفف
“Yakni ia miskin tapi menjaga kehormatannya. Ia tidak meminta kepada manusia sedikit pun. Orang yang tidak tahu menyangka bahwa ia berkecukupan karena ia memelihara diri dari meminta-minta.” (Syarḥ Riyād Aṣ-Ṣālihīn)
Lalu beliau menjelaskan maksud sabda Nabi ﷺ bahwa ia mempunyai keluarga:
يعني أنه مع فقره عنده عائلة، فتجده صابراً محتسباً يكد على نفسه، ربما يأخذ الحبل يحتطب ويأكل منه، أو يأخذ المخلب يحتش فيأكل منه
“Yakni selain miskin, ia juga punya keluarga. Namun, engkau dapati ia bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah, serta bekerja keras untuk dirinya. Kadang ia mengambil tali untuk mencari kayu bakar dan makan dari hasilnya atau mengambil sabit lalu memotong rumput lalu makan dari hasilnya.” (Syarḥ Riyād Aṣ-Ṣālihīn)
Orang yang menjaga kehormatannya dari meminta-minta layak masuk surga. Bagaimana tidak layak? Ia hanya mau merendahkan dirinya kepada Tuhannya!
Syekh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin berkata:
والإنسان الذي أكرمه الله بالغنى والتعفف لا يعرف قدر السؤال إلا إذا ذل أمام المخلوق، كيف تمد يدك إلى مخلوق وتقول له أعطني وأنت مثله؟ وإذا سألت فاسأل الله، وإذا استعنت فاستعن بالله
“Seseorang yang telah Allah muliakan dengan kecukupan dan menjaga kehormatan tidak mengetahui kadar meminta kecuali jika ia menghinakan diri di hadapan makhluk. Bagaimana bisa engkau menjulurkan tanganmu kepada makhluk dan berkata kepadanya, ‘Berilah aku!’, padahal engkau seperti dirinya?! Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah!” (Syarh Riyadhush Shalihin)
Siberut, 18 Rabī’ul Awwal 1447
Abu Yahya Adiya






