Apa Hukum Khulu’?

Apa Hukum Khulu’?

“Aku tidak sanggup melihatnya. Seandainya saja tidak takut Allah, tentu akan kuludahi mukanya!” (HR. Ahmad)

Itulah perkataan istri Tsabit bin Qais kepada Nabi ﷺ tentang suaminya.

Tsabit bin Qais adalah seorang yang berakhlak baik, tetapi ia memiliki wajah yang buruk.

Istrinya tidak nyaman untuk hidup di sisinya. Karena itu, ia ingin berpisah dengan suaminya.

Selain mengucapkan perkataan tadi, ia juga berkata kepada Nabi ﷺ:

يَا رَسُولَ اللَّهِ! إِنِّي لاَ أَعْتُبُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلاَ خُلُقٍ، وَلَكِنِّي لاَ أُطِيقُهُ

“Wahai Rasulullah! Sesungguhnya, aku tidak mencela Tsabit karena agamanya dan perilakunya. Namun, aku tidak sanggup bersamanya.”

Nabi ﷺ bersabda:

فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ

“Apakah engkau hendak mengembalikan kebun yang telah ia berikan?”

Ia menjawab:

نَعَمْ

“Ya.”

Ibnu ‘Abbas berkata:

فَرَدَّتْ عَلَيْهِ، وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا

“Lalu ia pun mengembalikan kebun itu kepada Tsabit. Dan Nabi ﷺ memberikan perintah kepada Tsabit, lalu ia pun berpisah dengan istrinya.” (HR. Bukhari)

Hadis ini membahas tentang khulu’. Dan khulu’ yaitu:

فُرْقَةٌ بِعِوَضٍ بِلَفْظِ طَلَاقٍ أَوْ خُلْعٍ

“Perpisahan antara suami istri dengan membayar gantinya dan dengan menggunakan kata talak atau khulu’.” (Minhaj Ath-Thalibin wa ‘Umdah Al-Muftiin)

Artinya, khulu’ adalah perpisahan dalam rumah tangga atas permintaan istri dengan membayar harta tertentu atau mengembalikan mahar yang telah ia terima kepada suami, baik si suami mengucapkan kata talak atau khulu’.

Lantas, apa hukum khulu’?

 

Mubah

Kapan hukum khulu’ bisa menjadi mubah?

Syekh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid berkata:

وهو أن تكره المرأة البقاء مع زوجها لبغضها إياه, وتخاف ألا تؤدي حقه, ولا تقيم حدود الله في طاعته

“Yakni tatkala seorang istri tidak ingin bertahan dengan suaminya karena tidak menyukainya dan khawatir tidak bisa menunaikan haknya serta tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah dalam hal menaatinya.” (Shahih Fiqh As-Sunnah)

Itu berdasarkan firman-Nya:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ

“Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS. Al-Baqarah: 229)

Dan juga berdasarkan hadis tentang istri Tsabit bin Qais tadi.

Karena itu, kalau seorang istri merasa tidak mampu menunaikan hak suaminya dan tidak sanggup hidup bersamanya karena tidak menyukainya, maka ia diperbolehkan meminta pisah kepada suaminya.

 

Sunnah

Kapan hukum khulu’ bisa menjadi sunnah?

Syekh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid berkata:

ويكون طلب الزوجة للخلع من زوجها مستحبا إذا كان مفرطا في حقوق الله تعالى-عند الحنابلة-

“Permintaan khulu’ istri kepada suami disunahkan jika suaminya melalaikan hak-hak Allah, menurut para ulama Hanabilah.” (Shahih Fiqh As-Sunnah)

Karena itu, kalau seorang istri melihat suaminya melalaikan hak Allah dan merasa bahwa ia tidak mungkin berubah menjadi baik, maka dianjurkan ia meminta pisah kepada suaminya.

 

Haram

Kapan hukum khulu’ bisa menjadi haram?

Syekh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid berkata:

وله حالتان إحداهما من جانب الزوجة والأخرى من جانب الزوج

Khulu’ diharamkan pada dua keadaan: pertama dari pihak istri dan yang lainnya dari pihak suami.” (Shahih Fiqh As-Sunnah)

Keadaan pertama yaitu jika istri meminta pisah tanpa sebab yang jelas dan dibenarkan, padahal suami dalam keadaan baik agamanya dan akhlaknya.

Nabi ﷺ bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلَاقًا فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ، فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ

“Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka ia terhalang dari aroma surga.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Keadaan kedua yaitu jika suami menyusahkan dan menzalimi istrinya supaya ia meminta pisah sehingga dengan itu si suami mendapatkan kembali mahar yang telah ia berikan atau harta lainnya sebagai gantinya.

Allah berfirman:

وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

“Dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” (QS. An-Nisa: 19)

Karena itu, kalau seorang istri meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang jelas dan dibenarkan pada syariat, maka ia telah melakukan perbuatan yang diharamkan. Begitu pula jika suami menzalimi dan menyakiti istrinya agar ia meminta cerai sehingga dengan itu ia mendapatkan kembali mahar yang telah ia berikan atau harta lain sebagai gantinya, maka ia juga telah melakukan perbuatan yang diharamkan.

 

Siberut, 14 Jumada Ats-Tsaniyah 1444

Abu Yahya Adiya

 

Sumber: Shahih Fiqh As-Sunnah karya Syekh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid.