Apakah menikah itu diwajibkan atau disunahkan?
Baik itu diwajibkan maupun disunahkan, siapa yang melakukannya, ia akan mendapat pahala.
Tapi, kalau itu diwajibkan, maka rugilah orang yang meninggalkannya. Karena, ia akan mendapat dosa.
Tapi, kalau itu disunahkan, maka rugi juga orang yang meninggalkannya. Karena, walaupun ia tidak mendapat dosa, ia juga tidak mendapat pahala.
Lantas, apa hukum menikah?
Syekh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin berkata:
وقال بعض أهل العلم: إنه واجب مطلقاً، وأن الأصل فيه الوجوب؛
“Sebagian ulama mengatakan bahwa menikah itu wajib secara mutlak, dan bahwasanya hukum asal menikah adalah wajib.
لأن قول النبي ﷺ: «يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج» ، اللام للأمر، والأصل في الأمر الوجوب، إلا أن يوجد ما يصرفه عن الوجوب،
Karena sabda Nabi ﷺ, “Hai para pemuda, siapa di antara kalian yang mampu menikah, maka hendaknya ia menikah.” Huruf lam di sini adalah untuk perintah. Dan hukum asal dari perintah adalah wajib, kecuali jika ada sesuatu yang memalingkannya dari hukum wajib itu.
ولأن تركه مع القدرة عليه فيه تشبه بالنصارى الذين يعزفون عن النكاح رهبانيةً والتشبه بغير المسلمين محرم
Dan karena dengan tidak menikah padahal mampu melakukannya merupakan perbuatan meniru orang-orang Nashrani yang tidak mau menikah sebagai bentuk rahbaniyyah (pertapaan). Sedangkan meniru non-muslim itu diharamkan.
ولما يترتب عليه من المصالح العظيمة واندفاع المفاسد الكثيرة، فإنه أغض للبصر، وأحصن للفرج
Dan karena adanya manfaat besar yang muncul karena pernikahan dan tertolaknya kerusakan yang banyak karenanya. Sebab, dengan pernikahan itu lebih tertunduk pandangan dan lebih terjaga kemaluan.” (Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘Alaa Zaad Al-Mustaqni’)
Itulah pendapat Daud Azh-Zhahiri, Ibnu Hazm, Abu Awanah Al-Isfirayini, dan beberapa ulama salaf. Dan itu juga pendapat Syekh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin.
Syekh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin berkata:
والقول بالوجوب عندي أقرب، وأن الإنسان الذي له شهوة، ويستطيع أن يتزوج فإنه يجب عليه النكاح
“Dan pendapat yang menyatakan bahwa menikah itu wajib-menurutku-lebih dekat dengan kebenaran, dan bahwa seseorang yang memiliki syahwat serta mampu untuk menikah, maka ia wajib menikah.” (Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘Alaa Zaad Al-Mustaqni’)
Namun, apakah wajib di sini adalah mutlak, tanpa syarat?
Syekh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin berkata:
ولكن لا بد من شرط على هذا القول وهو الاستطاعة؛ لأن النبي ﷺ قيد ذلك بالاستطاعة فقال: «من استطاع منكم الباءة» ، ولأن القاعدة العامة في كل واجب أن من شرطه الاستطاعة.
“Tapi harus ada syarat terkait pendapat ini (wajibnya pernikahan), yaitu kemampuan. Karena, Nabi ﷺ membatasi itu dengan kemampuan. Makanya beliau bersabda: “Siapa di antara kalian yang mampu menikah.” Dan karena kaidah secara umum dalam setiap kewajiban yaitu di antara syaratnya yakni kemampuan.” (Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘Alaa Zaad Al-Mustaqni’)
Hukum tadi berlaku kalau seseorang mampu menikah tapi ia tidak khawatir akan terjatuh dalam zina, dan perbuatan haram yang semacamnya. Itu wajib menurut beberapa ulama tadi.
Adapun kalau seseorang mampu menikah dan ia khawatir terjatuh dalam zina dan perbuatan haram yang semacamnya, maka hukum menikah baginya adalah wajib menurut kesepakatan para ulama.
Imam Ibnu Qudamah berkata:
مِنْهُمْ مَنْ يَخَافُ عَلَى نَفْسِهِ الْوُقُوعَ فِي مَحْظُورٍ إنْ تَرَكَ النِّكَاحَ، فَهَذَا يَجِبُ عَلَيْهِ النِّكَاحُ فِي قَوْلِ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ؛ لِأَنَّهُ يَلْزَمُهُ إعْفَافُ نَفْسِهِ، وَصَوْنُهَا عَنْ الْحَرَامِ، وَطَرِيقُهُ النِّكَاحُ
“Di antara mereka ada orang yang mengkhawatirkan dirinya terjatuh pada perkara yang terlarang jika tidak menikah. Maka orang seperti ini wajib menikah menurut pendapat semua fukaha. Sebab, ia wajib menjaga kehormatan dirinya dan menjaganya dari perkara yang haram dan caranya yaitu dengan menikah.” (Al-Mughni)
Siberut, 9 Syaban 1443
Abu Yahya Adiya
Sumber:
- Al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah.
- Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘Alaa Zaad Al-Mustaqni’ karya Syekh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin.
- Shahih Fiqh As-Sunnah karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid.






