Apakah Aku Tidak Boleh Menjadi Hamba yang Bersyukur?

Apakah Aku Tidak Boleh Menjadi Hamba yang Bersyukur?

Suasana terasa hening. Malam semakin larut. Namun, di tengah kesunyian yang syahdu, ia masih terlihat khusyuk dalam sujudnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ketika mulai ringkih tubuhnya dan memutih rambutnya, ia tetap menghabiskan malam-malamnya dengan rukuk, sujud, tahmid, dan tasbih.

Begitu khidmat ia bermunajat kepada Tuhannya, hingga tak terasa membengkaklah kakinya. Pemandangan itu menyentuh hati istrinya. Perasaan iba muncul melihat keadaannya. Ia pun berkata:

لمَ تصنع هذا يا رسول الله وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر؟!

“Mengapa engkau sampai seperti ini, wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu maupun yang akan datang?”

Ia pun menjawab:

أفلا أحب أن أكون عبدًا شكورًا

“Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikianlah, kata-kata mutiara meluncur dari lisannya. Lisan manusia pilihan terbaik sepanjang zaman. Lisan pemilik hati yang bersih dan suci. Hati yang selalu diliputi cinta, takut, dan harapan kepada Tuhannya. Hati yang penuh dengan pengagungan dan ketundukan kepada-Nya.

Meskipun anugerah pengampunan dosa dari Tuhannya telah ada dalam genggamannya, dua permata dunia, Persia dan Romawi telah dibukakan baginya, serta permata surga dengan segala kenikmatannya telah dijanjikan kepadanya, ia tetap menundukkan kepalanya. Lisannya tak pernah lelah memuji keagungan-Nya. Hatinya tak henti merasa hampa tanpa kasih sayang-Nya. Karenanya, ia berucap lembut,   “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur?”

Lantas, apakah ia sama dengan kita? Apakah ia sama dengan orang yang sedikit mengerjakan amalan-amalan nafilah lalu merasa sebagai orang paling bertakwa kepada Allah? Apakah ia sama dengan orang yang mencukupkan diri dengan amalan fardu, meskipun tanpa atau dengan sedikit keikhlasan, lalu merasa telah bersyukur kepada Allah, kemudian senang dan bangga dengan pujian orang lain terhadap amalannya?

Atau, apakah ia sama dengan orang yang terbuai dan terlena oleh berbagai kenikmatan yang mengelilingi dirinya, sehingga lalai terhadap agamanya, lupa akan kewajibannya, dan berani melanggar larangan-Nya, bergelimang dalam dosa dan kemaksiatan, serta memperturutkan hawa nafsunya?

Apakah kita telah benar-benar bersyukur dan membalas nikmat-Nya?

 

Siberut, 24 Ṣafar 1447

Abu Yahya Adiya