Bagaimana Memahami Konflik Mu’awiyah dan ‘Ali?

Bagaimana Memahami Konflik Mu’awiyah dan ‘Ali?

Massa menyambut kedatangan Presiden dan Wapres dengan sangat antusias. Tiba-tiba sekelompok orang bersenjata muncul dari tengah massa lalu menghujani rombongan Presiden dengan puluhan peluru tajam.

Paspampres terkejut menyaksikan serangan yang begitu mendadak. Mereka membalas serangan orang-orang itu dengan begitu gigih sehingga bisa mengusir mereka dan melumpuhkan sebagian mereka. Namun sayangnya, usaha itu tidak bisa mencegah jatuhnya korban.

Banyak orang yang tewas karena serangan tersebut. Bahkan, Presiden dan Wapres turut menjadi korban serangan tersebut. Keduanya tewas terkena peluru tajam kelompok bersenjata tadi!

Gegerlah Indonesia. Usut punya usut ternyata para pelaku penyerangan itu adalah orang-orang yang selama ini tidak suka dengan kebijaksanaan Presiden!

Mereka menganggap beliau menyuburkan praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme selama pemerintahan beliau. Mereka merasa geram dan kesal menyaksikan kelambanan pemerintah memberantas penyakit itu, makanya mereka pun mengambil jalan pintas, yakni menyingkirkan presiden secepat mungkin agar negara cepat ‘sembuh’!

Rakyat Indonesia sangat terkejut mengetahui tragedi itu.

Untuk menghindari kekosongan pemerintahan, MPR segera mengadakan sidang istimewa guna menentukan orang yang akan memimpin Indonesia setelah kekacauan ini.

Akhirnya ditetapkanlah Basuki sebagai presiden. Namun, ada pihak yang tidak setuju dengan keputusan MPR itu. Mereka memprotes naiknya Basuki menjadi presiden. Mereka ingin ditegakkan dulu hukum atas para pembunuh Presiden dan Wapres, barulah menetapkan Basuki sebagai presiden.

Namun, di pihak lain, ada yang mendukung naiknya Basuki menjadi presiden dengan alasan supaya tidak ada kekosongan pemerintahan dan tidak terjadi kekacauan lebih lanjut.

Akhirnya, rakyat Indonesia terbagi menjadi dua kelompok: Kelompok yang kontra dengan naiknya Basuki jadi presiden dan kelompok yang pro dengan naiknya Basuki jadi presiden.

Kelompok yang kontra dipimpin oleh Wibowo, sedangkan kelompok yang pro dipimpin oleh Basuki sendiri.

Wibowo dan kelompok yang kontra-Basuki tidak mau mengakui Basuki sebagai presiden. Mereka menuntut ditegakkan dahulu hukuman atas para pembunuh presiden, barulah mereka membaiat dan mengakui bahwa Basuki adalah presiden mereka.

Adapun Basuki dan kelompok yang pro dengannya menuntut Wibowo dan kelompoknya untuk segera mengakui dirinya sebagai presiden. Mereka menolak disegerakannya hukuman atas para pembunuh presiden dengan 2 alasan:

  1. Tidak ada yang namanya penegakkan hukum kecuali kalau ada pemerintah. Karena itu rakyat Indonesia harus mempunyai pemimpin yang akan menegakkan supremasi hukum. Dan pemimpin itu sudah ada, yaitu Basuki.
  2. Negara masih kacau selepas terbunuhnya presiden. Kalau hukuman tetap ditegakkan atas para pembunuh itu, niscaya terjadi kekacauan yang lebih besar lagi. Apalagi, para pembunuh itu ternyata dibela oleh jutaan rakyat Indonesia. Kalau ketika itu tetap dipaksakan eksekusi terhadap para pembunuh itu, maka sulit dibayangkan, apa yang akan terjadi pada negara ini?

Akhirnya terjadilah pertikaian dan pertempuran antara 2 kubu itu.

Apa yang saya tulis tadi tentu saja tidak pernah terjadi di negeri kita ini. Dan kita pun berharap semoga Allah menjaga pemimpin dan negeri kita ini dari kekacauan dan teror orang yang tidak bertanggungjawab.

Namun, ada yang ingin saya tanyakan, apa pendapat Anda tentang kisah tadi?

Seandainya itu terjadi, siapa yang menurut Anda benar dalam hal tersebut? Apakah Basuki atau Wibowo?

Bingung, bukan?

Karena, ada sisi kebenaran pada masing-masing pihak.

Wibowo dan kelompoknya menginginkan ditegakkan hukum atas para pembunuh presiden sebelum diangkat presiden yang baru. Ini tidaklah salah. Sebab, keadilan harus ditegakkan dan hak orang yang dizalimi harus ditunaikan.

Sedangkan Basuki dan kelompoknya menginginkan diakuinya dahulu pemerintahan yang baru, sebelum ditegakkan hukum atas para pembunuh itu. Ini pun tidaklah salah. Sebab, tidak ada yang namanya penegakkan hukum kecuali kalau ada pemerintah. Selain itu, tidak adanya pemimpin di suatu negara akan menimbulkan berbagai kerusakan yang mengerikan.

Apa pendapat Anda?

Apakah Anda akan menyalahkan secara mutlak Basuki dan kelompoknya? Atau menyalahkan secara mutlak Wibowo dan kelompoknya?

Tentu saja, tidak bukan? Sebab, masing-masing memiliki sisi kebenaran.

Meskipun, yang lebih mendekati kebenaran dalam hal ini tentunya pihak Basuki. Mengapa begitu? Karena 2 alasan yang sudah disebutkan tadi.

Nah, kalau Anda sudah memahami perkara tadi dengan baik, maka ketahuilah, perkara tadi terjadi pula antara 2 sahabat Nabi: Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ‘Ali bin Abi Thalib.

Tatkala khalifah ‘Utsman bin ‘Affan dibunuh secara zalim dan keji oleh para pemberontak, seluruh sahabat Nabi ﷺ yang masih hidup mengecam dan mengutuk pembunuhan itu.

Lalu untuk menghindari kekosongan pemerintahan, para sahabat Nabi ﷺ yang ada di Madinah mengangkat ‘Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin. Kemudian disusullah utusan dari berbagai daerah: Kufah, Mesir, Yaman dan daerah lainnya membaiat ‘Ali dan menunjukkan dukungan mereka terhadap kepemimpinan beliau.

Semuanya membaiat ‘Ali kecuali penduduk Syam, di antaranya Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Mu’awiyah dan para sahabat Nabi ﷺ yang ada di Syam beserta penduduk di sana tidak mau mengakui kepemimpinan ‘Ali sampai para pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan dihukum terlebih dahulu.

Sedangkan ‘Ali bin Thalib beserta kaum muslimin yang lain menuntut Mu’awiyah dan penduduk Syam untuk mengakui kepemimpinan ‘Ali barulah nanti ditegakkan hukum atas para pembunuh ‘Utsman.

Selain itu, ‘Ali juga menunda ekseskusi atas para pembunuh ‘Utsman karena kondisi negara ketika itu masih kacau selepas terbunuhnya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan.

Bayangkan saja, di antara pembunuh ‘Utsman ada yang dibela oleh 5000 orang di Irak!

Kalau tetap ditegakkan hukuman atas para pembunuh itu ketika itu juga, tentu akan terjadi kekacauan yang lebih besar lagi.

Akhirnya…terjadilah pertikaian dan pertempuran antara 2 kubu itu.

Itulah tragedi menyedihkan yang terjadi pada umat ini.

Lantas bagaimana sikap kita?

Apa sikap kita dalam menghadapi perselisihan para sahabat itu?

Apakah kita memaki salah satu pihak? Atau melaknatnya? Atau bahkan mengafirkannya?

Syekh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin berkata:

موقفهم في ذلك أن ما جرى بينهم فإنه باجتهاد من الطرفين وليس عن سوء قصد والمجتهد إن أصاب فله أجران وإن أخطأ فله أجر واحد

“Sikap mereka (Ahlussunnah) dalam menyikapi hal itu yakni sesungguhnya apa yang terjadi di antara mereka merupakan hasil dari ijtihad masing-masing pihak. Bukan berasal dari niat yang buruk. Sedangkan seorang mujtahid, bila ia benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan bila ia keliru, maka ia mendapatkan satu pahala.

وليس ما جرى بينهم صادرًا عن إرادة علو ولا فساد في الأرض لأن حال الصحابة رضي الله عنهم تأبى ذلك فإنهم أوفر الناس عقولًا وأقواهم إيمانًا وأشدهم طلبًا للحق كما قال النبي ﷺ:

Dan apa yang terjadi di tengah mereka bukanlah berasal dari keinginan untuk meraih posisi yang tinggi atau bermaksud membuat kerusakan di muka bumi. Sebab, kondisi para sahabat-semoga Allah meridai mereka-tidak memungkinkan untuk itu. Mereka adalah orang paling tajam akalnya, paling kuat keimanannya, dan paling gigih dalam mencari kebenaran. Sebagaimana Nabi ﷺ bersabda:

خير الناس قرني

“Sebaik-baik manusia adalah orang-orang di zamanku .” (HR. Bukhari dan

Muslim)

وعلى هذا فطريق السلامة أن نسكت عن الخوض فيما جرى بينهم ونرد أمرهم إلى الله لأن ذلك أسلم من وقوع عداوة أو حقد على أحدهم.

Karena itu, jalan yang selamat yakni kita diam dan tidak masuk dalam polemik yang terjadi di antara mereka dan kita kembalikan perkara mereka kepada Allah. Karena, itu lebih selamat daripada memunculkan rasa permusuhan atau kedengkian kepada salah seorang di antara mereka.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail)

 

Siberut, 17 Dzulqa’dah 1443

Abu Yahya Adiya