Membunuh Karena Mimpi

Membunuh Karena Mimpi

Mimpi bisa menyeret seseorang pada pembunuhan.

Imam Asy-Syathibi berkata:

يُحْكَى أَنَّ شَرِيكَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ الْقَاضِي دَخَلَ عَلَى الْمَهْدِيِّ، فَلَمَّا رَآهُ؛ قَالَ:

“Dihikayatkan bahwa Syarik bin ‘Abdillah Al-Qadhi menemui Al-Mahdi. Tatkala Al-Mahdi melihatnya, ia berkata:

عَلَيَّ بِالسَّيْفِ وَالنَّطْعِ

“Aku harus membunuhmu!”

قَالَ:

Syarik berkata:

وَلِمَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ؟

“Kenapa wahai Amirulmukminin?”

قَالَ:

Al-Mahdi berkata:

رَأَيْتُ فِي مَنَامِي كَأَنَّكَ تَطَأُ بِسَاطِي وَأَنْتَ مُعْرِضٌ عَنِّي، فَقَصَصْتُ رُؤْيَايَ عَلَى مَنْ عَبَرَهَا، فَقَالَ لِي: يُظْهِرُ لَكَ طَاعَةً وَيُضْمِرُ مَعْصِيَةً.

“Aku melihat dalam mimpi seakan-akan engkau menginjak permadaniku sedangkan engkau berpaling dariku. Lalu kuceritakan mimpiku kepada orang yang bisa menakwilkannya, maka orang itu berkata kepadaku bahwa engkau menampakkan ketaatan, tetapi menyembunyikan kedurhakaan!”

فَقَالَ لَهُ شَرِيكٌ:

Syarik pun berkata kepada Al-Mahdi:

وَاللَّهِ مَا رُؤْيَاكَ بِرُؤْيَا إِبْرَاهِيمَ الْخَلِيلِ عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَلَا أَنَّ مُعَبِّرَكَ بِيُوسُفَ الصِّدِّيقِ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَبِالْأَحْلَامِ الْكَاذِبَةِ تَضْرِبُ أَعْنَاقَ الْمُؤْمِنِينَ؟

“Demi Allah, mimpimu bukanlah mimpi Nabi Ibrahim, khalil Allah dan orang yang menakwilkan mimpimu juga bukanlah Nabi Yusuf. Maka, apakah dengan mimpi dusta engkau hendak memenggal leher kaum mukminin?”

فَاسْتَحْيَا الْمَهْدِيُّ، وَقَالَ:

Al-Mahdi pun merasa malu dan berkata:

اخْرُجْ عَنِّي

“Keluarlah engkau dariku!”

ثُمَّ صَرَفَهُ وَأَبْعَدَهُ.

Kemudian Al-Mahdi memalingkannya dan menjauhkannya.” (Al-I’tisham)

Mimpi dari selain Nabi ﷺ tidak bisa dijadikan dalil untuk melakukan suatu ibadah, apalagi dalil untuk menumpahkan darah!

Imam Asy-Syathibi berkata:

الرُّؤْيَا مِنْ غَيْرِ الْأَنْبِيَاءِ لَا يُحْكَمُ بِهَا شَرْعًا عَلَى حَالٍ

“Mimpi dari selain nabi tidak bisa digunakan sama sekali untuk memutuskan hukum secara syariat.

إِلَّا أَنْ تُعْرَضَ عَلَى مَا فِي أَيْدِينَا مِنَ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ

Kecuali kalau mimpi itu dipaparkan kepada hukum-hukum syariat yang kita miliki.

فَإِنْ سَوَّغَتْهَا عُمِلَ بِمُقْتَضَاهَا، وَإِلَّا؛ وَجَبَ تَرْكُهَا وَالْإِعْرَاضُ عَنْهَا

Kalau hukum-hukum syariat itu membenarkan mimpi itu, maka boleh beramal dengan apa yang ditunjukkan oleh mimpi itu. Kalau tidak, maka wajib berpaling dan meninggalkan mimpi itu.

وَإِنَّمَا فَائِدَتُهَا الْبِشَارَةُ أَوِ النِّذَارَةُ خَاصَّةً، وَأَمَّا اسْتِفَادَةُ الْأَحْكَامِ؛ فَلَا.

Mimpi itu hanyalah kabar gembira dan peringatan saja. Adapun mengambil hukum dari itu, maka tidak boleh.” (Al-I’tisham)

 

Siberut, 25 Shafar 1444

Abu Yahya Adiya