Berdalil dengan Mimpi

Berdalil dengan Mimpi

“Saya tidak tahu apakah ini halal atau haram, tapi setelah saya bermimpi tadi malam, saya yakin ini haram.”

“Saya melakukan zikir seperti ini berdasarkan mimpi saya tadi malam.”

“Saya tolak lamarannya, karena dalam mimpi ternyata ia orang yang tidak baik.”

Apakah mimpi bisa menjadi petunjuk bagi seseorang untuk menilai suatu perkara halal atau haram?

Apakah  mimpi bisa menjadi petunjuk bagi seorang untuk menilai suatu ibadah benar atau tidak?

Apakah mimpi bisa menjadi petunjuk bagi seorang untuk menolak lamaran seseorang atau tidak?

 

Mimpi Seorang Nabi

‘Aisyah berkata:

أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ الْوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِي النَّوْمِ فَكَانَ لَا يَرَى رُؤْيَا إِلَّا جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ

“Permulaan wahyu yang datang kepada Rasulullah ﷺ adalah melalui mimpi yang benar dalam tidur. Tidaklah beliau bermimpi kecuali mimpi tersebut datang seperti cahaya subuh.”  (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa mimpi yang datang kepada Nabi ﷺ adalah wahyu dari Allah. Dan itu bukan cuma berlaku bagi nabi kita, nabi-nabi sebelumnya pun begitu.

Seperti yang terjadi pada Nabi Ibrahim ﷺ. Beliau menjalankan perintah Allah untuk menyembelih anaknya ‘Ismail berdasarkan wahyu yang berupa mimpi.

Makanya, Ibnu Abbas berkata:

رُؤْيَا الْأَنْبِيَاءِ وَحْيٌ

“Mimpi para nabi adalah wahyu.” (Al-Jami’ Liahkaam Al-Quran)

Karena itu, kalau Nabi ﷺ bermimpi dan dalam mimpinya Allah memberikan tuntunan, perintah atau larangan, maka itu benar-benar tuntunan, perintah atau larangan dari-Nya. Sebab, itu merupakan salah satu bentuk wahyu dari-Nya.

Berarti, kita pun harus menjalankan petunjuk yang ada pada mimpi tersebut. Namun, kalau mimpi dari selain Nabi?

 

Mimpi Seseorang di Zaman Nabi

Tatkala Nabi ﷺ hendak menggunakan lonceng untuk memanggil kaum muslimin agar melaksanakan salat, ‘Abdullah bin Zaid bermimpi. Dalam mimpinya ia diajari seseorang mengumandangkan azan.

Keesokan harinya ‘Abdullah mendatangi Nabi ﷺ dan menceritakan mimpinya, maka Nabi ﷺ pun bersabda:

إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٌّ إِنْ شَاءَ اللهُ، فَقُمْ مَعَ بِلَالٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ

“Itu mimpi yang benar Insya Allah. Bangkitlah engkau bersama Bilal. Sampaikanlah kepadanya apa yang kau lihat dalam mimpi, lalu hendaknya ia mengumandangkannya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)

Setelah itu, kaum muslimin pun dipanggil menuju salat dengan dikumandangkan azan.

Lihatlah, mimpi itu dianggap baik oleh Nabi ﷺ, maka disyariatkanlah suatu ibadah, yaitu azan.

Syekh Saleh Al-Fauzan berkata:

الاعتناء بالرؤيا وأنها سبب لتشريع بعض الأحكام وقت حياة الرسول -صلى الله عليه وسلم-

“Memerhatikan mimpi dan itu adalah sebab disyariatkan sebagian hukum di masa hidup Rasul ﷺ.” (Al-Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At-Tauhid)

Kalau memang mimpi seseorang di zaman Nabi ﷺ bisa menjadi dalil, petunjuk dan tuntunan untuk melakukan suatu ibadah berdasarkan pengesahan dari Nabi ﷺ, lantas bagaimana dengan mimpi seseorang sepeninggal Nabi?

 

Mimpi Seseorang Sepeninggal Nabi

Sepeninggal Nabi ﷺ, adakah orang yang bisa memastikan bahwa suatu mimpi benar atau tidak? Baik atau tidak?

Tidak ada. Karena itu, mimpi dari seseorang sepeninggal Nabi ﷺ, tidak bisa dijadikan dalil, landasan, dan dasar dalam beribadah dan beragama.

Kalau pun suatu mimpi itu baik dan benar dari Allah, Nabi ﷺ katakan:

فَرُؤْيَا الصَّالِحَةِ بُشْرَى مِنَ اللهِ

“Mimpi yang baik itu adalah berita gembira dari Allah.” (HR. Muslim)

Ya, sekadar berita gembira. Bukan untuk menyatakan bahwa ini halal dan itu haram. Bukan untuk menyatakan bahwa ibadah ini benar dan ibadah itu salah.

Imam Asy-Syathibi berkata:

وَأَضْعَفُ هَؤُلَاءِ احْتِجَاجًا قَوْمٌ اسْتَنَدُوا فِي أَخْذِ الْأَعْمَالِ إِلَى الْمَنَامَاتِ، وَأَقْبَلُوا وَأَعْرَضُوا بِسَبَبِهَا

“Yang paling lemah argumennya di antara mereka yaitu orang-orang yang bersandar pada mimpi untuk melakukan suatu amalan. Karena sebab mimpi itulah mereka melakukan suatu amalan atau tidak.

فَيَقُولُونَ: رَأَيْنَا فُلَانًا الرَّجُلَ الصَّالِحَ، فَقَالَ لَنَا: اتْرُكُوا كَذَا، وَاعْمَلُوا كَذَا.

Mereka berkata, ‘Kami melihat fulan sosok yang saleh dalam mimpi, ia berkata kepada kami, ‘Tinggalkan ini dan itu dan lakukanlah ini dan itu.’

وَيَتَّفِقُ هَذَا كَثِيرًا [لِـ] الْمُتَرَسِّمِينَ بِرَسْمِ التَّصَوُّفِ

Yang seperti ini banyak terjadi pada orang-orang Sufi.

وَرُبَّمَا قَالَ بَعْضُهُمْ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ فِي النَّوْمِ، فَقَالَ لِي كَذَا، وَأَمَرَنِي بِكَذَا، فَيَعْمَلُ بِهَا وَيَتْرُكُ بِهَا؛ مُعْرِضًا عَنِ الْحُدُودِ الْمَوْضُوعَةِ فِي الشَّرِيعَةِ

Bisa jadi sebagian mereka berkata, ‘Aku melihat Nabi ﷺ dalam mimpi lalu beliau bersabda kepadaku begini dan begitu dan menyuruhku untuk melakukan ini dan itu.’ Lalu akhirnya ia melakukan suatu amalan atau tidak karena sebab mimpi tersebut, dalam keadaan berpaling dari batasan-batasan yang telah ditetapkan dalam syariat.

وَهُوَ خَطَأٌ، لِأَنَّ الرُّؤْيَا مِنْ غَيْرِ الْأَنْبِيَاءِ لَا يُحْكَمُ بِهَا شَرْعًا عَلَى حَالٍ إِلَّا أَنْ تُعْرَضَ عَلَى مَا فِي أَيْدِينَا مِنَ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ

Itu adalah kesalahan. Sebab, mimpi dari selain nabi tidak bisa digunakan sama sekali untuk memutuskan hukum secara syariat, kecuali kalau mimpi itu dipaparkan kepada hukum-hukum syariat yang kita miliki.

فَإِنْ سَوَّغَتْهَا عُمِلَ بِمُقْتَضَاهَا، وَإِلَّا؛ وَجَبَ تَرْكُهَا وَالْإِعْرَاضُ عَنْهَا

Kalau hukum-hukum syariat itu membenarkan mimpi itu, maka boleh beramal dengan apa yang ditunjukkan oleh mimpi itu. Namun kalau tidak, maka wajib berpaling dan meninggalkan mimpi itu.

وَإِنَّمَا فَائِدَتُهَا الْبِشَارَةُ أَوِ النِّذَارَةُ خَاصَّةً، وَأَمَّا اسْتِفَادَةُ الْأَحْكَامِ؛ فَلَا.

Mimpi itu hanyalah kabar gembira dan peringatan saja. Adapun mengambil hukum dari itu, maka tidak boleh.” (Al-I’tisham)

Berarti, mimpi tidak bisa dijadikan dalil untuk membuat ibadah model ini dan itu!

Mimpi juga tidak bisa dijadikan dalil untuk menentukan cara zikir tertentu dengan bilangan tertentu!

Lantas, bagaimana dengan menerima atau menolak suatu pinangan, apakah bisa bersandar pada mimpi?

 

Menolak Lamaran Karena Mimpi

Ada seorang wanita yang dilamar seorang pria. Lalu wanita itu bermimpi. Dalam mimpinya ia melihat pria itu mencukur jenggotnya. Padahal, kenyataannya pria itu tidak mencukur jenggot, dan lahirnya pun baik dan menjaga ibadah.

Syekh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin ditanya tentang kasus wanita tersebut. Apakah ia menerima lamaran pria itu?

Maka Syekh pun menjawab:

المرأة التي رأت الرجل الذي خطبها في المنام حالق اللحية وهو في الواقع ليس بحالق لها لا يضرها ما رأت في المنام ، ولا ينبغي أن يمنعها من التزوج به ما دام مستقيماً في دينه وخلقه ” انتهى .

“Wanita yang melihat dalam mimpinya pria yang melamarnya dalam keadaan mencukur jenggot, padahal kenyataannya ia tidak mencukur jenggotnya, maka apa yang ia lihat dalam mimpi tidak akan membahayakannya. Dan tidak sepantasnya mimpi tersebut menghalanginya untuk menikah dengan pria tersebut selama ia lurus agamanya dan akhlaknya.” (Liqa Al-Bab Al-Maftuh)

 

Siberut, 16 Jumada Al-Ulaa 1442

Abu Yahya Adiya

 

Sumber: http://islamqa.info/ar/ref/93399