Beribadah dengan Mengharamkan yang Halal

Beribadah dengan Mengharamkan yang Halal

Mereka lebih mengutamakan pakaian yang kasar, kaku, dan kadang kotor, daripada pakaian yang lembut, halus, dan bersih.

Mereka tidak mau memakan daging dan tidak pula mau meminum air dingin.

Mereka juga tidak mau menikah, karena menganggap itu akan menyibukan diri mereka dari Allah.

Itulah keadaan sebagian kaum Sufi.

Mereka beribadah kepada Allah dengan meninggalkan apa yang Dia halalkan.

Mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan menjauhi apa yang Dia halalkan.

Imam Ibnul Jauzi berkata:

قد بالغ إبليس فِي تلبيسه عَلَى قدماء الصوفية فأمرهم بتقليل المطعم وخشونته ومنعهم شرب الماء البارد

“Iblis telah maksimal dalam membuat bingung kaum Sufi terdahulu. Ia menyuruh mereka untuk sedikit makan, sederhana, dan menghalangi mereka dari meminum air dingin.” (Talbis Iblis)

Beliau juga berkata:

وَقَدْ كان فيهم قوم لا يأكلون اللحم حتى قَالَ بعضهم

“Dan di antara kaum Sufi ada orang-orang yang tidak mau memakan daging. Sampai-sampai ada sebagian mereka yang berkata:

أكل درهم من اللحم يقسي القلب أربعين صباحا

“Memakan daging seharga satu dirham akan mengeraskan hati selama empat puluh hari!” (Talbis Iblis)

Itulah keadaan mereka. Lantas, siapakah teladan mereka?

Suatu hari Nabi ﷺ menyaksikan seorang sahabatnya mengenakan pakaian yang jelek, maka beliau ﷺ pun berkata kepadanya:

فَإِذَا آتَاكَ اللَّهُ مَالًا فَلْيُرَ أَثَرُ نِعْمَةِ اللَّهِ عَلَيْكَ، وَكَرَامَتِهِ

“Bila Allah memberimu harta, maka tampakkanlah bekas nikmat dan kemurahan-Nya itu pada dirimu!” (HR. Abu Daud)

Lihatlah, apakah Nabi ﷺ melarang seorang muslim memakai pakaian yang bagus dan indah?

Suatu hari Nabi ﷺ bersama Abu Bakar dan ‘Umar dijamu oleh seorang sahabat Anshar. Lalu mereka pun memakan daging yang dihidangkan sampai mereka kenyang!

Abu Hurairah berkata:

فلمَّا أَنْ شَبعُوا وَرَوُوا قَالَ رسولُ اللَّه ﷺ لأَبي بكرٍ وعُمَرَ رضي اللَّه عنهما:

“Tatkala mereka semua sudah merasa kenyang dan puas, Rasulullah ﷺ berkata kepada Abu Bakar dan ‘Umar:

وَالَّذِي نَفْسي بِيَدِهِ، لَتُسْأَلُنَّ عَنْ هذَا النَّعيمِ يَوْمَ القِيامَةِ، أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُيُوتِكُمُ الجُوعُ، ثُمَّ لَمْ تَرْجِعُوا حَتَّى أَصَابَكُمْ هذا النَّعِيمُ

“Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya! Sungguh, kalian akan ditanya tentang nikmat ini di hari kiamat. Rasa lapar telah menyebabkan kalian keluar dari rumah kalian lalu kalian tidak kembali sampai kalian merasakan nikmat ini!” (HR. Muslim)

Lihatlah, apakah Nabi ﷺ melarang seorang muslim memakan daging?

Dan Nabi ﷺ telah bersabda:

النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي، فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Nikah itu termasuk sunnahku. Siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku!” (HR. Ibnu Majah)

Dan beliau ﷺ sendiri wafat dalam keadaan meninggalkan sembilan istri!

Lihatlah, apakah Nabi ﷺ melarang seorang muslim untuk menikah?

Maka, siapa yang menjadi teladan kaum Sufi?

Allah berfirman:

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ

“Katakan (wahai Rasul), ‘Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan dari Allah dan rezeki baik yang Allah keluarkan untuk hamba-hamba-Nya?” (QS. Al-A’raaf: 32)

Imam Asy-Syaukani menjelaskan ayat ini:

فَلَا حَرَجَ عَلَى مَنْ لَبِسَ الثِّيَابَ الْجَيِّدَةَ الْغَالِيَةَ الْقِيمَةِ إِذَا لَمْ يَكُنْ مِمَّا حَرَّمَهُ اللَّهُ

“Tidak mengapa seseorang memakai pakaian yang bagus dan berharga mahal, jika itu bukan termasuk yang Allah haramkan.

وَلَا حَرَجَ عَلَى مَنْ تَزَيَّنَ بِشَيْءٍ مِنَ الْأَشْيَاءِ الَّتِي لَهَا مَدْخَلٌ فِي الزِّينَةِ وَلَمْ يَمْنَعْ مِنْهَا مَانِعٌ شَرْعِيٌّ

Dan tidak mengapa seseorang berdandan dengan sesuatu yang ada unsur perhiasan padanya sedangkan syariat tidak melarangnya.

وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ ذَلِكَ يُخَالِفُ الزُّهْدَ فَقَدْ غَلِطَ غَلَطًا بِيِّنًا. وَقَدْ قَدَّمْنَا فِي هَذَا مَا يَكْفِي

Siapa yang menyangka bahwa semua itu bertentangan dengan zuhud, maka sungguh, ia telah terjatuh pada kesalahan yang nyata. Dan kami telah mengemukakan penjelasan yang cukup tentang ini.

وَهَكَذَا الطَّيِّبَاتُ مِنَ الْمَطَاعِمِ وَالْمُشَارِبِ وَنَحْوِهِمَا مِمَّا يَأْكُلُهُ النَّاسُ فَإِنَّهُ لَا زُهْدَ فِي تَرْكِ الطَّيِّبِ مِنْهَا، وَلِهَذَا جَاءَتِ الْآيَةُ هَذِهِ مُعَنْوَنَةً بِالِاسْتِفْهَامِ الْمُتَضَمِّنِ لِلْإِنْكَارِ عَلَى مَنْ حَرَّمَ ذَلِكَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ حَرَّمَهُ عَلَى غَيْرِهِ

Demikian pula segala sesuatu yang baik, berupa makanan, minuman dan semacamnya yang menjadi konsumsi manusia, sesungguhnya bukan termasuk zuhud meninggalkan yang baik darinya. Karena itulah ayat tadi datang dalam bentuk pertanyaaan yang mengandung makna pengingkaran terhadap orang yang mengharamkan itu atas dirinya atau atas orang lain.” (Fath Al-Qadir)

 

Siberut, 25 Jumada Al-Ulaa 1446

Abu Yahya Adiya