Fikih Puasa 21

Fikih Puasa 21

‘Abdullah bin Abi Syaibah meriwayatkan hadis dari Abu Usamah dari Hisyam bin ‘Urwah dari Fathimah dari Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Asma’ berkata;

أَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ ﷺ يَوْمَ غَيْمٍ، ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ

“Kami pernah berbuka puasa pada zaman Nabi ﷺ ketika hari mendung, ternyata kemudian matahari tampak kembali.”

Abu Usamah bertanya kepada Hisyam:

فَأُمِرُوا بِالقَضَاءِ؟

“Apakah orang-orang diperintahkan untuk mengganti puasa di hari itu?”

Hisyam menjawab:

لاَ بُدَّ مِنْ قَضَاءٍ

“Harus mengganti puasa di hari itu.” (HR. Bukhari, Abu Daud, dan Ibnu Majah)

Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang berbuka puasa karena menyangka sudah tiba waktu berbuka, tapi ternyata belum tiba waktunya.

Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang mengalami kasus seperti itu puasanya tidak sah dan harus mengganti puasanya.

Ibnu Qudamah berkata:

هذا قول أكثر أهل العلم من الفقهاء وغيرهم

“Ini adalah pendapat kebanyakan ulama dari kalangan fukaha dan selain mereka.” (Al-Mughni)

Apa alasan jumhur?

Perkataan Hisyam tadi:

لاَ بُدَّ مِنْ قَضَاءٍ

“Harus mengganti puasa di hari itu.”

Adapun Imam Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, Ishaq bin Rahawaih, Al-Muzani, Ibnu Khuzaimah, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syekh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin berpendapat bahwa orang yang mengalami kasus seperti itu puasanya sah dan tidak harus mengganti puasanya di hari itu.

Apa dalil mereka?

1. Sabda Nabi ﷺ:

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku kekeliruan, lupa, dan apa yang dipaksakan atas mereka.” (HR. Ibnu Majah)

Allah akan memaafkan kesalahan apa pun yang dilakukan seorang hamba, jika memang itu terjadi tanpa disengaja, entah keliru, lupa, atau terpaksa.

2. Istishhab yaitu:

الأصل براءة الذمة

“Asalnya seseorang bebas dari tanggungan apa pun.”

Artinya, asalnya seseorang bebas dari kewajiban mengganti puasanya, sampai ada dalil yang menunjukkan wajibnya itu. Dan ternyata tidak ada dalil jelas dan tegas yang menunjukkan wajibnya mengganti puasa karena itu. Berarti, orang yang berbuka puasa karena menyangka sudah tiba waktu berbuka, tapi ternyata belum tiba waktunya, puasanya sah dan ia tidak wajib menggantinya.

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

وهذا يدل على أنه لا يجب القضاء، فإن النبي صلى الله عليه وسلم لو أمرهم بالقضاء لشاع ذلك كما نقل فطرهم، فلما لم ينقل ذلك دل على أنه لم يأمرهم به.

“Ini menunjukkan bahwasanya tidak wajib mengganti puasa. Sebab, kalau Nabi ﷺ menyuruh  mereka untuk mengganti puasa, tentu akan tersebarlah perintah itu, sebagaimana telah ternukil berbukanya mereka. Maka tatkala yang demikian tidak ternukil, itu menunjukkan bahwa Nabi ﷺ tidak menyuruh mereka untuk mengganti puasa.” (Majmu’ Al-Fatawa)

Dan inilah pendapat yang-allahu a’lam-lebih dekat pada kebenaran.

Lantas bagaimana menjawab dalil Jumhur, yaitu perkataan Hisyam dalam hadis tadi: “Harus mengganti puasa di hari itu”?

Jawaban:
1) Ucapan itu semata-mata pendapat Hisyam bukan pendapat atau perintah Nabi ﷺ. Makanya Hisyam tidak berkata: “Nabi memerintahkan untuk mengganti puasa.”

Dan yang menguatkan bahwa itu semata-mata pendapat Hisyam adalah ucapan Hisyam sendiri sebagaimana dinukil oleh Ma’mar:

لاَ أَدْرِي أَقَضَوْا أَمْ لاَ

“Aku tidak tahu apakah mereka kemudian mengganti puasa itu atau tidak.” (HR. Bukhari)

2) Hisyam telah menukil pendapat ayahnya yaitu ‘Urwah bin Az-Zubair bahwa para sahabat yang mengalami kasus tadi tidak diperintahkan untuk mengganti puasa mereka. Ini perkataan ‘Urwah. Dan ‘Urwah lebih berilmu dan lebih tahu daripada putranya yaitu Hisyam.

Jadi pendapat kedualah yang-allahu a’lam-lebih dekat pada kebenaran.

Namun, kalau ada orang yang mengalami kasus seperti dalam hadis tadi lalu ia mengganti puasanya pada hari yang lain, sebagai bentuk kehati-hatian, maka itu tidak mengapa dan tidak bisa disalahkan.

Allahu a’lam

Siberut, 15 Ramadhan 1441
Abu Yahya Adiya

Sumber:

1. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassarah Fii Fiqh Al-Kitab wa As-Sunnah Al-Muthahharah karya Husain bin ‘Audah Al-‘Awayisyah.

2. Al-Muhalla bil Atsaar karya Ibnu Hazm.

3. Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari karya Al-Hafizh Ibnu Hajar.

4. Majmu’ Al-Fatawa karya Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.

5. Mauqi’ Al-Islam Sual wa Jawab