Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa yang melaksanakan salat di malam Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan pahala, niscaya diampunilah dosa-dosanya yang terdahulu. ” (HR. Bukhari Muslim(
Apa yang dimaksud dengan salat di malam Ramadhan ini?
Al-Hafizh Ibnu Hajar menerangkan bahwa maksudnya adalah salat apa pun di malam Ramadhan di antaranya salat tarawih.
Kalau begitu, siapa yang melaksanakan salat tarawih, maka akan diampuni dosa-dosanya, tapi…
Ada syaratnya. Apa syaratnya?
Ada dua, yaitu: iman dan mengharapkan pahala.
Syarat pertama: iman artinya meyakini bahwa salat itu disyariatkan dan dianjurkan.
Makanya, siapa yang melaksanakan salat tarawih, tapi tidak meyakini bahwa salat tarawih disyariatkan dan dianjurkan, berarti ia tidak mendapatkan ampunan seperti yang disebutkan dalam hadis tadi.
Syarat kedua: mengharapkan pahala artinya ketika salat mengharapkan pahala dari Allah.
Makanya, siapa yang melaksanakan salat tarawih, tapi bukan karena mengharapkan pahala dari Allah, melainkan karena mengharapkan pujian orang lain atau karena takut dan malu terhadap ejekan dan cemoohan orang lain, atau karena ikut-ikutan, berarti ia tidak mendapatkan ampunan seperti yang disebutkan dalam hadis tadi.
Karena itu, kalau kita ingin salat tarawih yang kita lakukan membuahkan ampunan dari Allah, maka yakinilah bahwa salat tersebut disyariatkan dan dianjurkan, serta berharaplah kepada Allah agar mengampuni kesalahan-kesalahanmu.
Dari hadis di atas kita bisa mengambil faidah:
1. Keutamaan melaksanakan salat di malam Ramadhan, di antaranya salat tarawih. Sebab, kata Nabi ﷺ, pelakunya akan mendapatkan ampunan dosa.
Siapa sih yang tidak butuh ampunan? Kita semua berlumur dosa, baik kita sadari maupun tidak. Baik kita akui maupun tidak.
Kalau memang kita mengakui dan menyadari demikian, bersemangatlah dalam melaksanakan shalat tarawih. Jangan sampai kita meninggalkannya.
Hendaknya kita melaksanakan salat tarawih bersama imam sampai selesai witir.
Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Siapa yang melaksanakan salat malam Ramadhan bersama imam sampai selesai, maka ditetapkan untuknya pahala salat semalam suntuk.” (HR. Tirmidzi)
lihatlah, pahala salat semalam suntuk! Bukankah ini keutamaan yang besar? Namun sayangnya…
Masih banyak orang yang tidak bersabar. Ketika salat tarawih baru saja berlangsung beberapa rakaat, mereka sudah meninggalkan jamaah. Mereka tidak mau menyelesaikannya. Entah karena alasan malas atau capek.
Padahal, yang namanya salat sunnah itu tidak wajib berdiri!
Imam Ibnu Qudamah berkata:
لَا نَعْلَمُ خِلَافًا فِي إبَاحَةِ التَّطَوُّعِ جَالِسًا، وَأَنَّهُ فِي الْقِيَامِ أَفْضَلُ،
“Kami tidak mengetahui perbedaan pendapat tentang bolehnya salat sunnah sambil duduk, akan tetapi kalau berdiri itu lebih baik.” (Al-Mughni)
Artinya, siapa yang melaksanakan salat sunnah dengan duduk, salatnya tetap sah. Ya, tetap sah, walaupun ia dalam keadaan sehat walafiat, segar dan bugar. Apalagi kalau ia dalam keadaan sakit!
Lalu mana yang lebih baik, salat sambil berdiri atau duduk?
Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ، وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ القَائِمِ
“Siapa yang melaksanakan salat sambil berdiri, maka itu lebih utama. Dan siapa yang melaksanakan salat sambil duduk, maka ia mendapatkan pahala setengah dari pahala salat sambil berdiri.” (HR. Bukhari)
Artinya, melaksanakan salat sunnah dengan berdiri lebih utama dan lebih baik daripada melaksanakannya dengan duduk. Sebab, pahala melaksanakan salat sunnah dengan duduk, setengah dari pahala kalau melaksanakannya dengan berdiri.
Namun tentu saja, salat sambil duduk lebih baik daripada tidak salat tarawih sama sekali.
2. Boleh beribadah karena mengharapkan pahala.
Ya, boleh. Tidak tercela. Bahkan itu perbuatan yang mulia. Tidak seperti yang disangka oleh sebagian kaum Sufi.
Menurut mereka, kalau seseorang beribadah karena mengharap pahala-Nya, berarti ibadahnya tidak ikhlas. Begitu juga kalau seseorang beribadah karena takut siksa-Nya, berarti ibadahnya tidak ikhlas.
Lalu kapan ibadah dianggap ikhlas menurut mereka?
Kalau seseorang beribadah kepada Allah, karena Allah dan karena cintanya kepada Allah, barulah ibadahnya dianggap ikhlas. Bukan karena mengharap surga atau takut neraka.
Karena itu, ada di antara mereka yang berani berkata:
“Ya Allah kalau aku beribadah kepada-Mu karena mengharap surga-Mu, maka jauhkanlah aku dari surga-Mu! Dan kalau aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, maka masukkanlah aku ke neraka-Mu!”
Padahal di antara doa Nabi Ibrahim ﷺ:
وَاجْعَلْنِي مِنْ وَرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيمِ
“Jadikanlah aku termasuk orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan.” (QS. Asy-Syu’araa: 85)
Nabi Ibrahim ﷺ berharap surga, tapi mereka malah mengatakan “jauhkanlah aku dari surga”?!
Nabi kita ﷺ mengajarkan kepada sahabatnya doa berikut:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ،
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu surga dan segala perkataan atau perbuatan yang mendekatkan kepadanya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka dan segala perkataan atau perbuatan yang mendekatkan kepadanya.” (HR. Ibnu Majah)
Nabi ﷺ menyuruh sahabatnya untuk memohon surga dan berlindung dari neraka, tapi mereka malah mengatakan, “jauhkan aku dari surga dan masukkan aku neraka”?!
Bukankah itu suatu kelancangan?!
Karena itu, beribadah karena mengharap surga dan takut neraka bukanlah tercela. Bahkan itu adalah ibadah yang mulia.
Para ulama mengatakan bahwa siapa yang beribadah kepada Allah, karena rasa takut semata, maka ia seorang Khawarij.
Siapa yang beribadah kepada Allah, karena rasa harap semata, maka ia seorang Murjiah.
Siapa yang beribadah kepada Allah, karena rasa cinta semata, maka ia seorang Sufi.
Dan siapa yang beribadah kepada Allah, karena rasa takut, harap, dan cinta, maka itulah seorang Ahlussunnah.
Kalau begitu, beribadahlah kepada-Nya, karena takut siksa-Nya. Beribadahlah kepada-Nya, karena mengharap balasan-Nya. Beribadahlah kepada-Nya karena cinta kepada-Nya.
Siberut, 14 Ramadhan 1441
Abu Yahya Adiya
Sumber:
1. Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari karya Al-Hafizh Ibnu Hajar
2. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj karya Imam An-Nawawi
3. Al-Mughi karya Imam Ibnu Qudamah
4. Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah karya Imam Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi






