“Orang-orang itu terbagi menjadi empat golongan.”
Itulah perkataan Imam Al-Khalil bin Ahmad.
Siapa sajakah empat golongan itu?
Beliau menyebutkan:
رَجُلٌ يَدْرِي ويَدْرِي أَنَّهُ يَدْرِي فَذَلِكَ عَالِمٌ فَاتَّبِعُوهُ وَسَلُوهُ،
“Orang yang tahu dan tahu bahwa dirinya tahu, maka itulah orang yang berilmu. Ikutilah ia dan bertanyalah kepadanya!
وَرَجُلٌ لَا يَدْرِي ويَدْرِي أَنَّهُ لَا يَدْرِي فَذَلِكَ جَاهِلٌ فَعَلِّمُوهُ
Orang yang tidak tahu dan tahu bahwa dirinya tidak tahu, maka itulah orang yang bodoh. Ajarilah ia!
وَرَجُلٌ يَدْرِي وَلَا يَدْرِي أَنَّهُ يَدْرِي فَذَلِكَ عَاقِلٌ فَنَبِّهُوهُ
Orang yang tahu, tapi tidak tahu bahwa dirinya tahu, maka itulah orang yang bijak. Ingatkanlah ia!
وَرَجُلٌ لَا يَدْرِي وَلَا يَدْرِي أَنَّهُ لَا يَدْرِي فَذَلِكَ مَائِقٌ فَاحْذَرُوهُ
Orang yang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, maka itulah orang yang dungu. Berhati-hatilah darinya!” (Jami’ Bayan Al-‘Ilm wa Fadhlihi)
Inilah arahan yang berharga dari seorang ulama dan ahli bahasa.
Kalau ada orang yang punya ilmu dan sadar bahwa dirinya punya ilmu, maka hendaknya engkau belajar kepadanya dan mengambil ilmu darinya. Sebab, dia itu orang yang berilmu. Jangan sampai engkau menyia-nyiakan ilmunya.
Kalau ada orang yang tidak punya ilmu dan sadar bahwa dirinya tidak punya ilmu, maka hendaknya engkau mengajarinya kalau memang engkau punya ilmu. Sebab, dia itu orang yang bodoh. Butuh bimbingan dan pengajaran.
Kalau ada orang yang punya ilmu tapi tidak sadar bahwa dirinya punya ilmu, maka hendaknya engkau mengingatkannya. Sebab, dia itu orang yang bijak. Butuh untuk diingatkan.
Kalau ada orang yang tidak punya ilmu tapi tidak sadar bahwa dirinya tidak punya ilmu, maka hendaknya engkau waspada dan berhati-hati darinya. Sebab, dia itu orang yang dungu. Ia bisa menyusahkanmu!
‘Ali bin Abi Thalib berkata:
وَأَمَّا الْأَحْمَقُ فَإِنَّهُ لَا يُرْشِدُ لِسُوءٍ يَصْرِفُهُ عَنْك، وَرُبَّمَا أَرَادَ أَنْ يَنْفَعَكَ فَيَضُرّكَ فَبُعْدُهُ خَيْرٌ مِنْ قُرْبِهِ وَمَوْتُهُ خَيْرٌ مِنْ حَيَاتِهِ
“Adapun orang dungu, maka ia tidak bisa membimbingmu untuk menjauh dari keburukan. Dan kadang ia ingin memberi manfaat kepadamu, tapi malah mencelakakanmu. Jauh darinya lebih baik daripada dekat dengannya. Dan kematiannya lebih baik daripada hidupnya.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah wa Al-Minah Al-Mar’iyyah)
Berbicara dengan orang yang dungu itu bisa menyusahkanmu. Sebab, ia bodoh, tapi tidak sadar bahwa dirinya bodoh. Ia tidak tahu, tapi anehnya sok tahu.
Imam Ibnu Muflih berkata:
وَإِنَّمَا يَنْبَغِي أَنْ يُخَاطَبَ الْإِنْسَانُ عَلَى قَدْرِ فَهْمِهِ وَمُخَاطَبَةُ الْعَوَامّ صَعْبَةٌ
“Sepantasnya berbicara kepada seseorang sesuai dengan kadar pemahamannya. Dan berbicara kepada orang-orang awam itu susah.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah wa Al-Minah Al-Mar’iyyah)
Tentunya awam yang disinggung oleh beliau bukan sekadar awam, melainkan awam ‘plus-plus’ yakni orang yang awam, tapi tidak sadar bahwa dirinya awam. Ia bodoh, tapi tidak sadar bahwa dirinya bodoh. Ia tidak tahu, tapi anehnya sok tahu.
Bukti demikian adalah kelanjutan dari perkataan beliau tadi:
فَإِنَّ أَحَدَهُمْ لَيَرَى رَأْيًا يُخَالِفُ فِيهِ الْعُلَمَاءَ وَلَا يَنْتَهِي.
“Karena sesungguhnya salah seorang dari mereka berpendapat dengan suatu pendapat yang menyalahi para ulama tapi tidak juga berhenti.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah wa Al-Minah Al-Mar’iyyah)
Bukankah ini berlaku pada orang-orang yang dungu?
Kesoktahuan mereka bukan hanya membahayakan mereka, melainkan juga orang yang ada di sekitar mereka.
Imam Ibnu Muflih memberikan contoh:
وَقَدْ رَأَيْنَا أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ لِوَلَدِهَا مِنْ غَيْرِ زَوْجِهَا:
“Sungguh, aku pernah melihat seorang wanita berkata kepada anaknya dari selain suaminya:
هَذَا زَوْجِي كَافِرٌ!
“Suamiku ini kafir!”
قَالَ:
Si anak itu berkata:
وَكَيْفَ؟
“Bagaimana bisa?”
قَالَتْ:
Wanita itu menjawab:
طَلَّقَنِي بُكْرَةً وَضَاجَعَنِي فِي اللَّيْلِ!
“Ia menjatuhkan talak kepadaku di pagi hari lalu menggauliku di malam hari!”
فَقَالَ:
Si anak pun berkata:
أَنَا أَقْتُلُهُ!
“Aku akan bunuh dia!” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah wa Al-Minah Al-Mar’iyyah)
Imam Ibnu Muflih memberikan komentar:
وَمَا عَلِمَ أَنَّ الرَّجْعِيَّةَ زَوْجَةٌ وَأَنَّهُ قَدْ أَشْهَدَ عَلَى ارْتِجَاعِهَا مِنْ غَيْرِ عِلْمِهَا، أَوْ أَنَّهُ يَعْتَقِدُ أَنَّ الْوَطْءَ رَجْعَةٌ
“Padahal, si anak itu tidak tahu bahwa wanita yang mendapat talak raj’i (satu atau dua) masih berstatus sebagai istri sedangkan si suami telah mempersaksikan rujuknya kepada istri tanpa diketahui istrinya atau ia meyakini bahwa menggauli itu dianggap sebagai bentuk rujuk kepadanya.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah wa Al-Minah Al-Mar’iyyah)
Lalu Imam Ibnu Muflih memberikan contoh lain lagi tentang bagaimana kesoktahuan bisa membahayakan orang yang tidak bersalah:
وَرَأَى رَجُلٌ رَجُلًا يَأْكُلُ فِي رَمَضَانَ فَهَمَّ بِقَتْلِهِ
“Ada seseorang melihat orang lain memakan di siang hari bulan Ramadhan, maka ia pun bertekad untuk membunuhnya!” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah wa Al-Minah Al-Mar’iyyah)
Imam Ibnu Muflih berkomentar:
وَمَا عَلِمَ أَنَّهُ مُسَافِرٌ
“Padahal, ia tidak tahu kalau orang yang makan itu adalah musafir!” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah wa Al-Minah Al-Mar’iyyah)
Ya, musafir. Sedangkan musafir diberikan keringanan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan.
Apa pelajaran penting yang bisa kita petik dari uraian tadi?
Setelah menyebutkan dan mengomentari dua contoh tadi, Imam Ibnu Muflih berkata:
فَالْوَيْلُ لِلْعُلَمَاءِ مِنْ مُقَاسَاةِ الْجَهَلَةِ.
“Maka celakalah para ulama karena meladeni orang-orang bodoh.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah wa Al-Minah Al-Mar’iyyah)
Ya, celakalah orang yang berilmu kalau meladeni orang bodoh yang tidak sadar bahwa dirinya bodoh. Dan celakalah orang yang berilmu kalau meladeni orang yang tidak tahu, tapi anehnya ia sok tahu.
Siberut, 23 Muharram 1446
Abu Yahya Adiya






