Mencari, Mengejar, dan Meminta Jabatan

Mencari, Mengejar, dan Meminta Jabatan

“Saya tahu jabatan ini tidak pantas bagi saya, tapi apa salahnya?!”

Perkataan ini mungkin saja muncul dari seseorang tatkala ia berhasil meraih jabatan yang tidak pantas ia emban.

Apakah salah kalau seseorang mencari, mengejar, dan meminta suatu jabatan?

Apakah salah kalau seseorang memegang jabatan yang tidak pantas ia emban?

Disebutkan dalam Hilyatul Aulia wa Thobaqatul Ashfiya bahwasanya Khalifah Harun Ar-Rasyid suatu hari mengunjungi Fudhail bin ‘Iyadh, seorang ulama dari Mekah.

Harun Rasyid datang untuk meminta nasehat kepada Fudhail.

Fudhail pun berkata:

إِنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ لَمَّا وَلِيَ الْخِلَافَةَ دَعَا سَالِمَ بْنَ عَبْدِ اللهِ وَمُحَمَّدَ بْنَ كَعْبٍ الْقُرَظِيَّ , وَرَجَاءَ بْنَ حَيْوَةَ , فَقَالَ لَهُمْ:

“Sesungguhnya ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz tatkala menjadi khalifah, ia memanggil Salim bin ‘Abdillah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurazhi, dan Raja bin Haywah. Lalu ‘Umar berkata kepada mereka:

إِنِّي قَدِ ابْتُلِيتُ بِهَذَا الْبَلَاءِ فَأَشِيرُوا عَلَيَّ

“Sesungguhnya aku baru saja tertimpa musibah, karena itu berilah aku masukan!”

Fudhail berkata:

فَعَدَّ الْخِلَافَةَ بَلَاءً وَعَدَدْتَهَا أَنْتَ وَأَصْحَابَكَ نِعْمَةً

“Umar menganggap jabatan sebagai khalifah adalah musibah, sedangkan engkau dan teman-temanmu menganggap itu sebagai nikmat.”

Harun Ar-Rasyid tersentuh dengan nasehat Fudhail. Lalu ia memintanya kembali untuk menasehatinya.

Fudhail pun berkata:

يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ الْعَبَّاسَ عَمَّ الْمُصْطَفَى ﷺ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ:

“Wahai Amirulmukminin, sesungguhnya ‘Abbas, paman Nabi ﷺ pernah mendatangi Nabi ﷺ lalu berkata:

يَا رَسُولَ اللهِ أَمِّرْنِي عَلَى إِمَارَةٍ

“Wahai Rasulullah, berilah aku kekuasaan!”

قَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ:

Nabi ﷺ pun menjawab:

إِنَّ الْإِمَارَةَ حَسْرَةٌ وَنَدَامَةٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا تَكُونَ أَمِيرًا فَافْعَلْ

“Sesungguhnya kekuasaan akan membuahkan kesedihan dan penyesalan di hari kiamat. Kalau memang engkau bisa untuk tidak menjadi pemimpin, maka lakukanlah!”

Mendengar nasehat dari Fudhail, khalifah Harun Ar-Rasyid pun tidak bisa lagi menahan tangisnya. Ia pun menangis tersedu-sedu.

 

Jabatan Adalah Amanat

Jabatan adalah amanat. Kepemimpinan adalah amanat. Sedangkan amanat adalah perkara berat akan dipertanggungjawabkan di hari kiamat.

Nabi ﷺ bersabda:

إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإِمَارَةِ، وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ القِيَامَةِ

“Sesungguhnya kalian bersemangat untuk mendapatkan jabatan, padahal itu akan menjadi penyesalan di hari kiamat.” (HR. Bukhari)

Penyesalan bagi siapa?

“Bagi orang yang tidak pantas mengembannya, di mana ia akan mendapat hukuman berupa siksa yang amat berat karena tidak menjalankan tanggung jawabnya.” (Manar Al-Qari Syarh Mukhtashar Al-Bukhari)

Karena itu, mengemban suatu jabatan bukanlah perkara ringan. Sebab, itu akan dipertanggungjawabkan.

Makanya, kata yang muncul dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz tatkala diangkat menjadi khalifah adalah: “Sesungguhnya aku baru saja tertimpa musibah.”

Lihatlah, aku baru saja tertimpa musibah!

Demikianlah pandangan orang-orang terdahulu terhadap jabatan, kekuasaan, dan kepemimpinan.

Bagi mereka, menjadi pemimpin adalah musibah, bukannya berkah.

Memegang jabatan adalah ‘kiamat’, bukannya nikmat.

Itulah sebabnya kenapa mereka sering menghindar dari jabatan. Mereka sangat menjauh dari yang namanya kepemimpinan.

Itu zaman dulu. Yaitu zaman dekat dengan masa kenabian. Adapun zaman sekarang?

Bukannya menghindar dari jabatan, orang-orang justru mengejarnya!

Bukannya lari dari jabatan, orang-orang malah memperebutkannya!

Baik punya keahlian atau tidak, mereka tetap mengejarnya.

Baik pantas atau tidak, mereka tetap memperebutkannya.

Pokoknya, kalau sudah memegang jabatan dalam suatu institusi, entah pemerintah, yayasan atau organisasi, jadi bangga, merasa mulia dan terhormat. Padahal, itu adalah amanat yang akan dipertanggungjawabkan di hari kiamat.

Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ تَوَلَّى عَمَلاً وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ لِذَلِكَ العَمَلِ بِأَهْلٍ، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Siapa yang memegang suatu jabatan, sedangkan ia sadar bahwa dirinya tidak pantas untuk mengemban jabatan tersebut, maka hendaknya ia persiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Ar-Ruuyaani)

 

Mengemban Jabatan Tanpa Mencari, Mengejar, dan Meminta

Kalau memang mencari, mengejar dan meminta suatu jabatan adalah tercela, lantas bagaimana kalau seseorang mengemban suatu jabatan tanpa mencari, mengejar, dan memintanya?

Nabi ﷺ bersabda:

يَا عَبدَ الرَّحمن بن سمُرَةَ لاَ تَسأَل الإمارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا، وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

“Hai ‘Abdur Rahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan. Sebab, jika engkau diberi jabatan karena memintanya, maka engkau akan ditelantarkan. Namun, jika engkau diberi jabatan tanpa memintanya, maka engkau pasti akan ditolong.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syekh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin menjelaskan hadis ini:

وإن أعطيتها عن غير مسألة بل الناس هم الذين اختاروك وهم الذين طلبوك فإن الله تعالى يعينك عليها يعني فاقبلها وخذها وهذا يشبه المال فإن الرسول ﷺ قال لعمر

“Jika engkau mendapat jabatan tanpa memintanya, bahkan orang-oranglah yang memilihmu dan mereka juga yang memintamu untuk itu, maka Allah akan menolongmu untuk itu. Artinya, terimalah jabatan itu dan ambillah. Dan ini serupa dengan harta. Sebab, Rasul ﷺ bersabda kepada ‘Umar:

ما جاءك من هذا المال وأنت غير مشرف ولا سائل فخذه وما لا فلا تتبعه نفسك

“Harta apapun yang datang kepadamu, sedangkan engkau tidak mengharapkannya dan tidak pula memintanya, maka ambillah itu. Sedangkan harta yang tidak datang kepadamu, maka janganlah dirimu mengharapkannya.” (Syarh Riyadhus Shalihin)

 

Siberut, 5 Jumada Ats-Tsaniyah 1442

Abu Yahya Adiya