1. Apa itu muzaara’ah dan musaaqaah?
Muzaara’ah yaitu:
وهي دفع أرض لمن يزرعها بجزء معلوم مما يخرج منها
“Menyerahkan tanah kepada orang yang akan menanaminya dengan imbalan berupa hasil tanah tersebut yang sudah diketahui bagiannya.” (Taisiir Al-‘Allaam Syarh ‘Umdah Al-Ahkaam)
Sedangkan musaaqaah, Imam Ibnu Qudamah berkata:
الْمُسَاقَاةُ: أَنْ يَدْفَعَ الرَّجُلُ شَجَرَهُ إلَى آخَرَ، لِيَقُومَ بِسَقْيِهِ، وَعَمَلِ سَائِرِ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ، بِجُزْءٍ مَعْلُومٍ لَهُ مِنْ ثَمَرِهِ
“Musaaqaah yaitu seseorang menyerahkan pohon kepada orang lain agar ia menyiraminya dan melakukan apa pun yang dibutuhkan untuk mengolahnya dengan imbalan berupa buahnya yang sudah diketahui bagiannya.” (Al-Mughni)
2. Apa hukum muzaara’ah dan musaaqaah?
‘Abdullah bin ‘Umar berkata:
عَامَلَ النَّبِيُّ ﷺ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ
“Nabi ﷺ pernah mempekerjakan kaum Yahudi untuk mengelola tanah Khaibar dengan imbalan mereka mendapatkan separuh dari buah atau tanaman yang keluar darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim dan ini adalah redaksi Bukhari)
Syekh ‘Abdullah Al-Bassam berkata:
ما يستفاد من الحديث: جواز المزارعة والمساقاة، بجزء مما يخرج من الزرع: الثمر.
“Faidah yang bisa dipetik dari hadis ini yaitu bolehnya menyerahkan tanah dan pohon kepada orang lain untuk diolah dengan imbalan berupa tanaman atau buah yang keluar darinya.” (Taisiir Al–‘Allaam Syarh ‘Umdah Al-Ahkaam)
Apa dalilnya bahwa itu diperbolehkan?
Imam Ibnu Qudamah berkata tentang musaaqaah:
وَالْأَصْلُ فِي جَوَازِهَا السُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ؛
“Dalil tentang bolehnya itu adalah hadis dan ijmak.” (Al-Mughni)
Adapun hadis yang dimaksud adalah hadis ‘Abdullah bin ‘Umar tadi.
Begitu pula ketika menerangkan bolehnya muzaara’ah, Imam Ibnu Qudamah menyebutkan hadis ‘Abdullah bin ‘Umar tadi.
Selain itu, Imam Ibnu Qudamah berkata tentang muzaara’ah:
وَهِيَ جَائِزَةٌ فِي قَوْلِ كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ، قَالَ الْبُخَارِيُّ: قَالَ أَبُو جَعْفَرٍ:
“Itu boleh menurut pendapat banyak ulama. Al-Bukhari berkata bahwa Abu Ja’far berkata:
مَا بِالْمَدِينَةِ أَهْلُ بَيْتٍ إلَّا وَيَزْرَعُونَ عَلَى الثُّلُثِ وَالرُّبْعِ،
“Tidak ada satu pun keluarga di Madinah kecuali mereka menyerahkan tanah kepada orang yang akan menanaminya dengan imbalan berupa sepertiga atau seperempat hasil tanahnya.”
وَزَارَعَ عَلِيٌّ وَسَعْدٌ، وَابْنُ مَسْعُودٍ، وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَالْقَاسِمُ، وَعُرْوَةُ، وَآلُ أَبِي بَكْرٍ، وَآلُ عَلِيٍّ، وَابْنُ سِيرِينَ
‘Ali, Sa’d, Ibnu Mas’ud, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, Al-Qasim, ‘Urwah, keluarga Abu Bakar, keluarga ‘Ali, dan Ibnu Sirin juga melakukan itu.“ (Al-Mughni)
3. Apakah dalam muzaara’ah dan musaaqaah disyaratkan bahwa benih tanaman harus dari pemilik tanah?
Syekh ‘Abdullah Al-Bassam berkata:
2- ظاهر الحديث، أنه لا يشترط أن يكون البذر من رب الأرض، وهو الصحيح
“Lahiriah hadis tadi menunjukkan bahwa tidak disyaratkan benih dari pemilik tanah. Dan itulah pendapat yang benar.” (Taisiir Al-‘Allaam Syarh ‘Umdah Al-Ahkaam)
Imam Bukhari berkata:
وَعَامَلَ عُمَرُ، «النَّاسَ عَلَى إِنْ جَاءَ عُمَرُ بِالْبَذْرِ مِنْ عِنْدِهِ فَلَهُ الشَّطْرُ، وَإِنْ جَاءُوا بِالْبَذْرِ فَلَهُمْ كَذَا» وَقَالَ الحَسَنُ:
“Umar memperkerjakan orang-orang untuk mengolah tanah dengan ketentuan jika benih dari ‘Umar, maka ia mendapatkan setengah dari hasilnya dan jika benih dari mereka, maka ia mendapatkan demikian dan demikian. Al-Hasan berkata:
«لاَ بَأْسَ أَنْ تَكُونَ الأَرْضُ لِأَحَدِهِمَا، فَيُنْفِقَانِ جَمِيعًا، فَمَا خَرَجَ فَهُوَ بَيْنَهُمَا»
“Tak mengapa tanah dari salah satu dari keduanya lalu keduanya mengeluarkan biaya untuk mengolahnya. Maka hasil yang keluar darinya menjadi milik keduanya.” (Shahih Bukhari)
4. Apakah boleh menyerahkan suatu tanaman kepada orang lain agar ia mengolahnya, tetapi pohon tersebut tidak memiliki buah?
Imam Ibnu Qudamah berkata:
وَأَمَّا مَا لَا ثَمَرَ لَهُ مِنْ الشَّجَرِ، كَالصَّفْصَافِ وَالْجَوْزِ وَنَحْوِهِمَا، أَوْ لَهُ ثَمَرٌ غَيْرُ مَقْصُودٍ، كَالصَّنَوْبَرِ وَالْأَرْزِ، فَلَا تَجُوزُ الْمُسَاقَاةُ عَلَيْهِ. وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ، وَالشَّافِعِيُّ. وَلَا نَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِمَنْصُوصٍ عَلَيْهِ، وَلَا فِي مَعْنَى الْمَنْصُوصِ،، وَلِأَنَّ الْمُسَاقَاةَ إنَّمَا تَكُونُ بِجُزْءٍ مِنْ الثَّمَرَةِ، وَهَذَا لَا ثَمَرَةَ لَهُ، إلَّا أَنْ يَكُونَ مِمَّا يُقْصَدُ وَرَقُهُ أَوْ زَهْرُهُ كَالتُّوتِ وَالْوَرْدِ، فَالْقِيَاسُ يَقْتَضِي جَوَازَ الْمُسَاقَاةِ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ فِي مَعْنَى الثَّمَرِ
“Adapun pohon yang tidak memiliki buah, seperti shafshaaf, kenari, dan semacamnya, atau memiliki buah tapi tidak diinginkan, seperti cemara dan cedar, maka tidak boleh melakukan musaaqaah dalam hal tersebut. Itulah yang dinyatakan oleh Malik dan Asy-Syafi’i. Kami tidak mengetahui perbedaan pendapat dalam hal ini di antara para ulama. Sebab, itu tidak disebutkan dalam teks hadis dan tidak pula semakna dengan itu. Karena, musaaqaah hanyalah berlaku pada buah-buahan, sedangkan pohon tadi tidak berbuah, kecuali kalau yang diinginkan adalah daunnya atau bunganya, seperti murbei dan mawar, maka analogi menuntut bolehnya musaaqaah dalam hal demikian, karena itu semakna dengan buah-buahan.” (Al-Mughni)
5. Apa syarat bolehnya muzaara’ah dan musaaqaah?
1) Pemilik tanah dan pengolahnya adalah orang yang boleh mengelola harta. Seperti halnya muamalah lain. Karena itu, anak kecil atau orang tidak waras tidak boleh melakukan muzaara’ah dan musaaqaah.
2) Pohon atau benih yang akan diolah atau ditanam sudah diketahui. Karena itu, kalau keduanya tidak diketahui, maka tidak sah melakukan muzaara’ah dan musaaqaah.
3) Imbalan yang akan didapatkan oleh pengolah sudah diketahui. Karena itu, kalau imbalannya tidak diketahui, maka tidak sah melakukan muzaara’ah dan musaaqaah.
Itu berdasarkan praktek Nabi ﷺ dengan kaum Yahudi Khaibar. Dan juga kabar dari sahabat Nabi, Rafi’ bin Khadij:
إِنَّمَا كَانَ النَّاسُ يُؤَاجِرُونَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ ﷺ عَلَى الْمَاذِيَانَاتِ، وَأَقْبَالِ الْجَدَاوِلِ، وَأَشْيَاءَ مِنَ الزَّرْعِ، فَيَهْلِكُ هَذَا، وَيَسْلَمُ هَذَا، وَيَسْلَمُ هَذَا، وَيَهْلِكُ هَذَا، فَلَمْ يَكُنْ لِلنَّاسِ كِرَاءٌ إِلَّا هَذَا، فَلِذَلِكَ زُجِرَ عَنْهُ، فَأَمَّا شَيْءٌ مَعْلُومٌ مَضْمُونٌ، فَلَا بَأْسَ بِهِ
“Dulu pada masa Nabi ﷺ, orang-orang menyewakan tanahnya dengan imbalan memperoleh hasil panen dari tanaman yang tumbuh di sekitar sungai atau parit, atau sejumlah tanaman itu sendiri. Maka bagian tanah yang ini gagal panen sedangkan yang itu berhasil panen. Yang bagian itu berhasil panen sedangkan yang satunya lagi gagal panen. Orang-orang tidak melakukan penyewaan tanah kecuali dengan cara seperti itu. Karena itu, penyewaan tanah seperti itu dilarang. Adapun penyewaan tanah dengan pembayaran yang telah diketahui dan dapat dipertanggungjawabkan, maka hal itu tak mengapa.” (HR. Muslim)
Siberut, 18 Rabi’ul Awwal 1445
Abu Yahya Adiya
Sumber:
- Al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah.
- Al-Wajiz Fii Fiqhi As-Sunnah wa Al-Kitab Al-‘Aziz karya Dr. ‘Abdul ‘Azhim Badawi.
- Taisiir Al-‘Allaam Syarh ‘Umdah Al-Ahkaam karya Syekh ‘Abdullah Al-Bassam.
- Al-Fiqh Al-Muyassar Fii Dhaui Al-Kitab wa As-Sunnah.






