Menolak Ketinggian Allah Lewat Ucapan Penyair

Menolak Ketinggian Allah Lewat Ucapan Penyair

Sekte Jahmiyyah, Muktazilah, Asy’ariyyah, dan Maturidiyyah menolak ketinggian Allah di atas Arsy. Padahal, Allah berfirman:

الرَّحْمَنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى

“Tuhan Yang Maha Pengasih, yang istawa Arsy.” (QS. Thahaa: 5)

Dan makna istawa disebutkan oleh Imam Ahmad:

الْعُلُوّ والارتفاع

“Tinggi di atas.” (Al-‘Aqidah Riwayah Abi Bakr Al-Khollal)

Dan itu juga yang disebutkan oleh 2 ulama tabiin, Abu Al-‘Aliyah dan Mujahid (lihat Shahih Bukhari).

Artinya, makna ayat tadi yaitu Tuhan Yang Maha Pengasih tinggi di atas Arsy.

Sangat jelas dan terang menunjukkan ketinggian Allah di atas Arsy. Namun, anehnya, sekte Jahmiyyah, Muktazilah, Asy’ariyyah, dan Maturidiyyah membelokkan makna istawa dalam ayat tadi menjadi “menguasai”, sehingga makna ayat tadi berubah menjadi: “Tuhan Yang Maha Pengasih menguasai Arsy.”

Mau tidak mau mereka membelokkan makna istawa menjadi “menguasai”. Kalau tidak, tentu ayat tadi akan membantah pendapat mereka.

Lantas, apa alasan mereka menyatakan bahwa makna istawa adalah menguasai?

Sebuah bait syair yang disandarkan kepada seorang penyair Nashrani yang bernama Al-Akhthal:

قد اسْتَوَى بشر على الْعرَاق … من غير سيف وَدم مهراق

“Sungguh, Bisyr telah istawa Irak…tanpa pedang dan darah yang ditumpahkan.” (Qawa’id Al-‘Aqaid)

Istawa di sini artinya menguasai, kata mereka. Karena itu, arti bait syair tadi yakni Bisyr telah menguasai Irak tanpa pedang dan pertumpahan darah.

Kalau itu pengertian istawa dalam bait syair tadi, maka begitu pula-menurut mereka-pengertian istawa dalam ayat tadi, yakni maknanya menguasai.

Betulkah bait syair tadi bisa dijadikan dalil bahwa maksud ayat tadi yaitu “Tuhan Yang Maha Pengasih menguasai Arsy”, dan bukan “Tuhan Yang Maha Pengasih tinggi di atas Arsy?”

 

Jawaban

  1. Bagaimana bisa ucapan orang kafir dijadikan dalil untuk menafsirkan ayat Al-Quran?!

Tokoh sekte Asy’ariyyah, Al-Juwaini berkata:

وأما الأحاديث التي يتمسكون بها, فآحاد لا تفضي إلى العلم, ولو أضربنا عن جميعها كان سائغا

“Adapun hadis-hadis yang mereka pegang, maka itu adalah hadis-hadis ahad, tidak bisa mengantarkan pada ilmu. Kalau kita berpaling dari semua itu, maka itu boleh.” (Al-Irsyad)

Kalau hadis ahad saja tidak mereka terima sebagai dalil, maka bagaimana bisa mereka menerima ucapan orang kafir sebagai dalil?!

 

  1. Menafsirkan istawa dengan “menguasai” merupakan tafsir yang tidak dikenal oleh para ahli bahasa Arab.

Setelah menyebutkan bait syair tadi, Imam Ibnul Jauzi berkata:

وهذا منكر عند اللغويين. قال ابن الأعرابي: العرب لا تعرف استوى بمعنى استولى

“Ini mungkar menurut para ahli bahasa. Ibnu Al-A’rabi berkata bahwa orang-orang Arab tidak mengenal istawa dengan makna ‘menguasai.” (Zaad Al-Masiir Fii ‘Ilmi At-Tafsiir)

Al-Khalil bin Ahmad, seorang ahli bahasa Arab yang masyhur pernah ditanya:

هَل وجدت فِي اللُّغَة اسْتَوَى بِمَعْنى استولى

“Apakah engkau mendapati di dalam bahasa Arab istawa bermakna menguasai?”

Al-Khalil bin Ahmad menjawab:

هَذَا مِمَّا لَا تعرفه الْعَرَب وَلَا هُوَ جَار فِي لغتها

“Itu termasuk perkara yang tidak diketahui oleh orang-orang Arab dan tidak pula itu mengalir pada bahasa mereka.” (Aqaawiil Ats-Tsiqaat Fii Tawiil Al-Asma wa Ash-Shifaat wa Al-Ayaat Al-Muhkamaat wa Al-Mutasyabbihaat)

 

  1. Allah menguasai segala sesuatu, bukan cuma Arsy.

Imam Abul Hasan Al-Asy’ari berkata:

وليس استواؤه على العرش استيلاء كما قال أهل القدر؛ لأنه عز وجل لم يزل مستولياً على كل شيء.

“Makna Dia istawa di Arsy bukanlah Dia menguasai Arsy, sebagaimana dikatakan oleh orang-orang Qadariyyah. Sebab, Dia selalu menguasai segala sesuatu.” (Risalah Ilaa Ahl Ats-Tsaghr Bibaab Al-Abwab)

Kalau memang makna istawa yaitu menguasai dan makna ayat tadi adalah “Tuhan Yang Maha Pengasih menguasai Arsy”, maka apa istimewanya Arsy dibandingkan yang lain? Bukankah Dia juga menguasai langit? Bukankah Dia juga menguasai bumi?

Maka, jelaslah bahwa makna istawa yaitu tinggi di atas, dan makna ayat tadi yaitu “Tuhan Yang Maha Pengasih tinggi di atas Arsy”. Dan itulah keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah.

Imam Ibnu Khuzaimah berkata:

فَنَحْنُ نُؤْمِنُ بِخَبَرِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا أَنَّ خَالِقَنَا مُسْتَوٍ عَلَى عَرْشِهِ، لَا نُبَدِّلُ كَلَامَ اللَّهِ، وَلَا نَقُولُ قَوْلًا غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَنَا، كَمَا قَالَتِ الْمُعَطِّلَةُ الْجَهْمِيَّةُ:

“Kita mengimani kabar dari Allah bahwa Pencipta kita di atas Arsy-Nya. Kita tidak akan mengganti perkataan Allah dan tidak akan mengucapkan perkataan yang tidak dikatakan kepada kita. Sebagaimana para penolak sifat yaitu Jahmiyyah berkata:

إِنَّهُ اسْتَوْلَى عَلَى عَرْشِهِ، لَا اسْتَوَى

“Sesungguhnya Allah menguasai Arsy, bukan di atas Arsy!”

فَبَدَّلُوا قَوْلًا غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ، كَفِعْلِ الْيَهُودِ كَمَا أُمِرُوا أَنْ يَقُولُوا: حِطَّةٌ، فَقَالُوا: حِنْطَةٌ، مُخَالِفِينَ لِأَمْرِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا كَذَلِكَ الْجَهْمِيَّةُ

Mereka telah mengganti firman-Nya dengan perkataan yang tidak dikatakan kepada mereka. Itu serupa dengan perbuatan kaum Yahudi. Mereka diperintahkan untuk mengucapkan hiththah (berilah kami ampun), tetapi mereka malah mengucapkan hinthah (berilah kami gandum), untuk menyalahi perintah Allah. Maka begitu pula dengan kaum Jahmiyyah!” (At-Tauhid)

 

Siberut, 12 Jumada Ats-Tsaniyah 1444

Abu Yahya Adiya