Menggabungkan Pendapat Murjiah, Jabriyyah, dan Muktazilah

Menggabungkan Pendapat Murjiah, Jabriyyah, dan Muktazilah

Kalau ada yang menyatakan bahwa Murjiah adalah Ahlussunnah, maka bisakah kita terima pernyataannya?

Kalau ada yang menyatakan bahwa Jabriyyah adalah Ahlussunnah, maka bisakah kita terima pernyataannya?

Kalau ada yang menyatakan bahwa Muktazilah adalah Ahlussunah, maka bisakah kita terima pernyataannya?

Tentu saja tidak. Lantas, bagaimana pula kalau ada yang menyatakan bahwa kelompok yang menggabungkan pendapat Murjiah, Jabriyyah, dan Muktazilah adalah Ahlussunnah?! Bisakah kita terima pernyataannya?!

 

1. Menurut sekte Asy’ariyyah iman hanyalah pembenaran dengan hati.

Asy-Syahrastani menyebutkan pendapat sekte Asy’ariyyah:

الإيمان هو التصديق بالجنان. وأما القول باللسان والعمل بالأركان ففروعه، فمن صدق بالقلب أي أقر بوحدانية الله تعالى، واعترف بالرسل تصديقا لهم فيما جاءوا به من عند الله تعالى بالقلب صح إيمانه

“Iman adalah membenarkan dengan hati. Adapun ucapan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan, maka itu adalah cabangnya. Siapa yang membenarkan dengan hati yaitu mengakui keesaan Allah dan mengakui para rasul karena membenarkan mereka dalam perkara yang mereka bawa dari sisi Allah dengan hati, maka telah sah imannya.” (Al-Milal wa An-Nihal)

Ternyata mereka sependapat dengan Murjiah bahwa iman hanyalah pembenaran dengan hati.

Tentu saja itu pendapat yang bertentangan dengan keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah.

Imam Asy-Syafi’i berkata:

وَكَانَ الْإِجْمَاعُ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِمَّنْ أَدْرَكْنَاهُمْ أَنَّ الْإِيمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَنِيَّةٌ، لَا يُجْزِئُ وَاحِدٌ مِنَ الثَّلَاثَةِ بِالْآخَرِ

“Kesepakatan para sahabat dan tabiin setelah mereka yang kami temui yaitu bahwa iman adalah perkataan, perbuatan, dan niat. Tidak sah salah satu dari yang tiga ini tanpa yang lainnya.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah)

 

2. Menurut sekte Asy’ariyyah manusia mempunyai kemampuan untuk melakukan sesuatu, tetapi kemampuannya tidak berpengaruh sama sekali pada perbuatannya.

Itulah yang dinamakan kasb menurut mereka.

Kasb menurut mereka yaitu:

مقارنة القدرة الحادثة للفعل من غير تأثير

“Seiringnya kemampuan yang ada pada manusia dengan perbuatannya tanpa pengaruh.” (Syarh Umm Al-Barahin)

Pendapat mereka itu mengantarkan pada pemikiran Jabriyyah yang menyatakan bahwa manusia hidup dalam keadaan terpaksa dan tidak mempunyai sedikit pun pilihan dan kehendak.

Tentu saja itu pendapat yang bertentangan dengan keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah.

Imam Adz-Dzahabi berkata:

وجاءت الجَبريَّة فجعلوا العبد مجبوراً لا حكم عليه، فهذه أيضاً بدعة مخالفة لما في الكتاب من الأمر والنَّهي، والوعد والوعيد، وإثابة المُحْسِن، وعقوبة الظالم.

“Dan datanglah Jabriyyah, mereka menjadikan hamba terpaksa, tidak ada hukum atasnya. Ini juga merupakan bidah yang bertentangan dengan apa yang ada dalam Al-Quran berupa perintah dan larangan, janji dan ancaman, pemberian pahala terhadap orang yang berbuat baik dan hukuman terhadap orang yang zalim.” (At-Tamassuk bi As-Sunan wa At-Tahdzir Min Al-Bida’)

 

3. Menurut sekte Asy’ariyyah Al-Quran bukanlah perkataan Allah.

Tokoh Asy’ariyyah, Al-Juwaini menyinggung pendapat Muktazilah mengenai perkataan Allah:

فإن معنى قولهم ((هذه العبارات كلام الله)) أنها خلقه، ونحن لا ننكر أنها خلق الله، ولكن نمتنع من تسمية خالق الكلام متكلما به، فقد أطبقنا على المعنى، وتنازعنا بعد الاتفاق في تسميته

“Sesungguhnya makna perkataan mereka (Muktazilah) ‘Ungkapan-ungkapan ini adalah perkataan Allah’ yakni bahwa itu adalah ciptaan-Nya. Dan kita tidak mengingkari bahwa itu adalah ciptaan Allah (makhluk). Namun, kita menolak mengatakan bahwa Tuhan yang menciptakan perkataan telah mengatakannya. Sesungguhnya kita telah sepakat dengan mereka dalam hal maknanya, tetapi setelah sepakat kita berbeda pendapat dalam hal penamaannya.” (Al-Irsyad)

Ternyata mereka sependapat dengan Muktazilah bahwa Al-Quran adalah makhluk.

Tentu saja itu pendapat yang bertentangan dengan keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah.

Imam Al-Ajurri berkata:

اعْلَمُوا رَحِمَنَا اللَّهُ وَإِيَّاكُمْ أَنَّ قَوْلَ الْمُسْلِمِينَ الَّذِينَ لَمْ يُزِغْ قُلُوبَهُمْ عَنِ الْحَقِّ، وُوُفِّقُوا لِلرَّشَادِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا أَنَّ الْقُرْآنَ كَلَامُ اللَّهِ تَعَالَى لَيْسَ بِمَخْلُوقٍ؛ لِأَنَّ الْقُرْآنَ مِنْ عِلْمِ اللَّهِ، وَعِلْمُ اللَّهِ لَا يَكُونُ مَخْلُوقًا، تَعَالَى اللَّهُ عَنْ ذَلِكَ دَلَّ عَلَى ذَلِكَ الْقُرْآنُ وَالسُّنَّةُ، وَقَوْلُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَقَوْلُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ

“Ketahuilah, semoga Allah merahmati kami dan kalian, bahwa pendapat kaum muslimin yang hati mereka tidak menyimpang dari kebenaran dan mendapat taufik menuju petunjuk baik dahulu maupun belakangan bahwa Al-Quran adalah perkataan Allah, bukan makhluk. Sebab, Al-Quran itu termasuk pengetahuan Allah dan pengetahuan Allah bukanlah makhluk. Maha Tinggi Allah dari demikian. Yang menunjukkan tadi adalah Al-Quran, As-Sunnah, dan perkataan para sahabat-semoga Allah meridai mereka-, serta pendapat imam kaum muslimin.” (Asy-Syari’ah)

 

4. Menurut sekte Asy’ariyyah kewajiban pertama bagi seorang hamba adalah berpikir tentang tanda-tanda kekuasaan-Nya, bukan beriman kepada-Nya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar menyinggung masalah itu:

وَقَدْ نَقَلَ الْقُدْوَةُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ أَبِي جَمْرَةَ عَنْ أَبِي الْوَلِيدِ الْبَاجِيِّ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ السِّمْنَانِيِّ وَهُوَ مِنْ كِبَارِ الْأَشَاعِرَةِ أَنَّهُ سَمِعَهُ يَقُولُ

“Sungguh, sang panutan yakni Abu Muhammad bin Abi Hamzah menukil dari Abu Al-Walid Al-Baji dari Abu Ja’far As-Simnaani-dan ia termasuk pembesar Asy’ariyyah-bahwa ia mendengarnya berkata:

إِنَّ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ مِنْ مَسَائِلِ الْمُعْتَزِلَةِ بَقِيَتْ فِي الْمَذْهَبِ

“Ini adalah salah satu pemikiran Muktazilah yang masih bertahan di mazhab ini (Asy’ariyyah).” (Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari)

Ternyata mereka sependapat dengan Muktazilah dalam hal itu.

Tentu saja itu pendapat yang bertentangan dengan keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah.

Imam Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi:

وَقَالَ ﷺ:

“Nabi ﷺ bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah.”

وَلِهَذَا كَانَ الصَّحِيحُ أَنَّ أَوَّلَ وَاجِبٍ يَجِبُ عَلَى الْمُكَلَّفِ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، لَا النَّظَرُ، وَلَا الْقَصْدُ إِلَى النَّظَرِ، وَلَا الشَّكُّ، كَمَا هِيَ أَقْوَالٌ لِأَرْبَابِ الْكَلَامِ الْمَذْمُومِ. بَلْ أَئِمَّةُ السَّلَفِ كُلُّهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى أَنَّ أَوَّلَ مَا يُؤْمَرُ بِهِ الْعَبْدُ الشَّهَادَتَانِ

Karena itu, yang benar adalah kewajiban pertama yang wajib atas seorang mukalaf yakni bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah, bukan berpikir dan bukan niat untuk berpikir, dan bukan pula ragu, sebagaimana itu pendapat para ahli kalam yang tercela. Bahkan, seluruh imam salaf sepakat bahwa perkara pertama yang diperintahkan kepada seorang hamba yaitu dua syahadat.” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah)

Kalau semua pendapat tadi bertentangan dengan keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah, maka pantaskah orang-orang yang memegang pendapat tadi dikatakan sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah?!

“Dan hanya orang-orang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 269)

 

Siberut, 8 Jumada Al-Ulaa 1445

Abu Yahya Adiya