Muslim Tanpa Terikat dengan Islam?

Muslim Tanpa Terikat dengan Islam?

“Saya memang tidak pernah melaksanakan salat, zakat, puasa dan semua ibadah dalam Islam, tapi saya masih muslim!”

“Walaupun saya tidak mau menjalankan perintah Nabi ini, tapi saya masih mengakuinya sebagai seorang nabi!”

Kalau ada orang yang mengatakan perkataan demikian, maka bisakah diterima perkataannya?

Apakah mungkin seorang dinyatakan sebagai muslim tapi tidak mau tunduk kepada aturan Allah dan Rasul-Nya?

Allah berfirman:

فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ

“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65)

Ya, mereka sebenarnya tidak beriman, kalau mereka tidak mau tunduk dan menerima apapun yang dibawa oleh Nabi ﷺ.

Mereka sebenarnya belum menjadi muslim sampai mereka mau tunduk kepada perintah maupun larangannya, dan menerima keputusan maupun kabar darinya, meskipun itu terganjal di akal dan terasa berat di hati.

Allah berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

“Dan tidaklah pantas bagi lelaki beriman dan perempuan beriman, bila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan lain bagi mereka tentang urusan mereka.” (QS Al Ahzab: 36)

Karena itu, tatkala seseorang mengaku sebagai muslim, maka otomatis ia sudah terikat dengan pengakuannya itu.

Ia harus mau menerima dan tunduk kepada syariat, aturan, dan ajaran Islam. Tidak boleh ia menentangnya dengan alasan apa pun.

 

  1. Tidak boleh menentang syariat dengan alasan tidak masuk akal!

‘Ali bin Abi Thalib berkata:

لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ

“Seandainya agama itu berdasarkan akal, niscaya apa yang dibawah khuf (sejenis sepatu), lebih pantas diusap dibandingkan yang di atasnya. Namun, sungguh, aku telah melihat Rasulullah ﷺ mengusap atas kedua khufnya.” (HR. Abu Daud)

Di dalam syariat ini, seorang muslim dibolehkan berwudu tanpa melepaskan alas kakinya. Cukup dengan mengusap atas alas kakinya tanpa perlu mencopotnya, maka ia bisa menunaikan ibadah salat dan semisalnya.

Seandainya agama ini semata-mata dibangun di atas akal, niscaya yang lebih pantas untuk diusap tentulah bawah khuf, karena di situlah tempat berpijak dan di situ pula kotoran lebih mungkin untuk menempel, tapi….

Kenyataannya, sahabat Rasulullah ﷺ yang mulia ini mengabarkan bahwa Rasulullah ﷺ justru memerintahkan untuk mengusap atas khuf, bukan bawah khuf. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa agama itu bukan semata-mata dibangun di atas akal, melainkan dibangun di atas wahyu.

Karena itu, tidak boleh seseorang menentang aturan agama dengan alasan bertentangan dengan akal. Siapa yang melakukan demikian, maka ia serupa dengan Abu Jahl!

Imam Adz-Dzahabi berkata:

وَإِذَا رَأَيْتَ المُتَكَلِّمَ المُبْتَدِعَ يَقُوْلُ: دَعْنَا مِنَ الكِتَابِ وَالأَحَادِيْثِ الآحَادِ وَهَاتِ العَقْلَ، فَاعْلَمْ أَنَّهُ أَبُو جَهْلٍ

“Dan bila engkau melihat orang ahli kalam dan ahli bidah berkata, ‘Jauhkanlah kita dari Al-Quran dan hadis ahad. Tunjukkan saja dalil akal!’, maka ketahuilah, ia adalah Abu Jahl!” (Siyar A’lam An-Nubala)

Ya, Abu Jahl. Karena, Abu Jahl menolak dakwah Nabi ﷺ dengan alasan bertentangan dengan akal!

 

  1. Tidak boleh menentang syariat dengan alasan tidak selaras dengan perasaan.

Imam Adz-Dzahabi berkata:

وَإِذَا رَأَيْتَ السَّالِكَ التَّوْحِيْدِيَّ يَقُوْلُ: دَعْنَا مِنَ النَّقْلِ وَمِنَ العَقْلِ وَهَاتِ الذَّوْقَ وَالوَجْدَ، فَاعْلَمْ أَنَّهُ إِبْلِيْسُ قَدْ ظَهَرَ بِصُوْرَةِ بَشَرٍ أَوْ قَدْ حَلَّ فِيْهِ

“Dan bila engkau melihat seorang pengikut suluk Tauhidi berkata, ‘Jauhkan kita dari dalil-dalil naqli dan dalil-dalil akal. Tunjukkan saja dalil perasaan!’, maka ketahuilah, ia adalah iblis yang telah menampakkan dirinya dalam rupa manusia atau telah menyatu ke dalam dirinya.

فَإِنْ جَبُنْتَ مِنْهُ، فَاهْرُبْ، وَإِلاَّ فَاصْرَعْهُ، وَابْرُكْ عَلَى صَدْرِهِ، وَاقْرَأْ عَلَيْهِ آيَةَ الكُرْسِيِّ، وَاخْنُقْهُ.

Kalau engkau takut, maka menjauhlah darinya. Kalau tidak, maka doronglah ia, dan dudukilah dadanya dan bacakanlah untuknya ayat Kursi, lalu cekiklah ia!” (Siyar A’lam An-Nubala)

 

  1. Tidak boleh menentang syariat dengan alasan tidak sesuai dengan adat istiadat atau kebiasaan masyarakat!

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kalian melebihi suara Nabi, dan janganlah kalian berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kalian terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalan kalian, sedangkan kalian tidak menyadari.” (QS. Al-Hujurat: 2)

Dalam ayat ini Allah mengancam orang yang mengeraskan suaranya melebihi suara Nabi ﷺ. Allah mengancam bahwa amalannya akan terhapus, sedangkan ia tak menyadarinya.

Kalau sekadar mengeraskan suara melebihi suara beliau saja bisa membuat terhapus amalan seorang muslim, lantas bagaimana kalau ia mendahulukan ucapan seseorang di atas ucapan dan petunjuk Nabi?! Bukankah kemungkinan terhapus amalannya lebih besar lagi?

Ibnu ‘Abbas berkata:

أُرَاهُمْ سَيَهْلِكُونَ أَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ وَيَقُولُ: نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ

“Aku memandang mereka akan binasa. Kukatakan, ‘Nabi ﷺ bersabda demikian’, tetapi mereka malah berkata, ‘Abu Bakar dan ‘Umar melarang demikian.” (HR. Ahmad)

Abu Bakar dan ‘Umar adalah manusia terbaik setelah Nabi ﷺ. Bersamaan dengan itu, kalau kita mendahulukan ucapan keduanya di atas ucapan nabi kita, niscaya kita akan celaka.

Nah, kalau mendahulukan ucapan Abu Bakar dan ‘Umar di atas ucapan Nabi saja mengundang siksa, apalagi kalau mendahulukan ucapan seseorang yang lebih rendah daripada keduanya, bahkan jauh di bawah keduanya!

Karena itu, sikap seorang muslim tatkala berhadapan dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, baik itu yang ada dalam Al-Quran maupun yang ada dalam hadis (sahih) adalah menerima dan tunduk kepadanya, walaupun itu bertentangan dengan perasaan dan akalnya. Meskipun itu bertentangan dengan pendapatnya, pendapat orang tuanya, gurunya atau siapa pun yang istimewa baginya!

 

Siberut, 2 Jumada Al-Ulaa 1442

Abu Yahya Adiya