Seperti Apa Ketaatan Abu Hanifah terhadap Pemimpin?

Seperti Apa Ketaatan Abu Hanifah terhadap Pemimpin?

Gubernur Kufah pernah melarang Imam Abu Hanifah untuk mengajar dan berfatwa disebabkan sedikit konflik antara dirinya dengan hakim Kufah, Muhammad bin Abi Laila.

Suatu hari Imam Abu Hanifah sedang berada di rumahnya bersama istrinya, putranya, Hammad, dan putrinya.

Putrinya bertanya kepadanya:

إني صائمة وقد خرج من بين أسناني دم وبصقته حتى عاد الريق أبيض لا يظهر عليه أثر الدم، فهل أفطر إذا بلعت الآن الريق

“Sesungguhnya aku berpuasa dan keluar darah dari sela-sela gigiku lalu aku meludahkannya, hingga air liur itu kembali putih dan tak tampak bekas darah padanya. Apakah jika sekarang kutelan air liur itu aku jadi batal?”

Imam Abu Hanifah pun berkata kepada putrinya itu:

سلي أخاك حمادا فإن الأمير منعني من الفتيا

“Tanyalah saudaramu, Hammad! Karena Amir telah melarangku untuk berfatwa.” (Wafayat Al-A’yaan)

Lihatlah, walaupun dalam keadaan tersembunyi, yakni di dalam rumah, Imam Abu Hanifah tetap menaati pemimpinnya. Padahal, kalaupun beliau memberikan jawaban, tentu tak akan diketahui pemimpinnya ketika itu.

Namun, itulah muslim sejati. Senantiasa bersabar dalam menaati Allah dan Rasul-Nya, kemudian bersabar dalam menaati pemimpinnya, baik dalam keadaan terang-terangan maupun tersembunyi.

Karena itu, setelah menyebutkan kisah tadi Ibnu Khalikan berkata:

وهذه الحكاية معدودة في مناقب أبي حنيفة وحسن تمسكه بامتثال إشارة رب الأمر، فإن إجابته طاعة، حتى إنه أطاعه في السر، ولم يرد على ابنته جوابا، وهذا غاية ما يكون من امتثال الأمر

“Cerita ini dianggap sebagai kemuliaan bagi Abu Hanifah dan baiknya ia dalam menaati arahan pemimpin. Karena sesungguhnya memenuhi arahannya adalah ketaatan. Sampai-sampai ia menaatinya dalam keadaan tersembunyi dan tidak menjawab pertanyaan putrinya. Dan itu merupakan ketaatan yang maksimal.” (Wafayat Al-A’yaan)

 

Siberut, 2 Rajab 1444

Abu Yahya Adiya