“Saya sedang mempelajari ajaran Syiah karena saya termasuk dari kalangan keluarga Ahlussunnah wal Jamaah. Menurut saya Anda kurang mendalami dan mempelajari aliran Syiah!”
Itulah tanggapan dari seseorang di dunia maya tatkala saya menjelaskan berbagai penyimpangan Syiah. Sepertinya ia simpatisan Syiah.
Melihat penolakannya itu, saya pun sebutkan fatwa para ulama Ahlussunah wal Jamaah sejak zaman dahulu sampai sekarang tentang penyimpangan Syiah.
Namun, itu tetap tidak membuatnya puas, sehingga akhirnya ia menutup perbincangan dengan menyebutkan: “Kita ambil yang baik, kita buang yang buruk, kemudian kita persatukan sunni dan syiah dalam agama yang indah seperti zaman keemasan Nabi Muhammad SAW.”
Apakah bisa kita bersatu dengan Syiah?
Kalau maksud bersatu di sini yakni bekerja sama dalam hal kebaikan, tentu kita siap melakukan itu.
Jangankan dengan Syiah, dengan kafir tulen pun kita siap bekerja sama dalam hal kebaikan.
Namun, kalau maksud bersatu di sini adalah menyatukan ajaran Syiah dan Ahlussunnah, maka bagaimana mungkin keduanya dipersatukan?
Ahlussunnah memuliakan istri-istri Nabi ﷺ dan para sahabat beliau, sedangkan Syiah mencela dan melaknat mereka.
Ahlussunnah menyatakan bahwa tidak ada selain Nabi ﷺ yang maksum (terjaga dari dosa), sedangkan Syiah meyakini bahwa imam-imam mereka maksum.
Ahlussunnah meyakini bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang sudah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi, sedangkan Syiah meyakini Bada.
Al-Jurjani berkata:
البداء: ظهور الرأي بعد أن لم يكن.
“Bada yaitu munculnya pemikiran setelah sebelumnya tidak ada.” (At-Ta’rifaat)
Artinya, mereka menganggap Allah memberikan keputusan setelah tampak sesuatu yang sebelumnya tersembunyi.
Apakah dengan adanya beberapa perbedaan yang mencolok seperti demikian, Ahlussunnah dan Syiah bisa dipersatukan?!
Itu kalau perbedaan antara Ahlussunnah dan Syiah hanya itu, tetapi kenyataan lebih banyak lagi dari itu!
Siberut, 26 Jumada Ats-Tsaniyah 1444
Abu Yahya Adiya






