Apa Sikap Terhadap Pelaku Bidah?

Apa Sikap Terhadap Pelaku Bidah?

Ketika ditinggalkan satu sunnah, maka muncullah satu bidah.

Makin sering seseorang meninggalkan sunnah, maka makin terperosoklah ia ke dalam lubang bidah.

Ibnu ‘Abbas berkata:

مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلَّا أَحْدَثُوا فِيهِ بِدْعَةً، وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَى الْبِدَعُ، وَتَمُوتَ السُّنَنُ

“Tidaklah datang tahun yang baru kepada umat manusia, kecuali mereka akan membuat satu bidah dan mematikan satu sunnah, hingga akhirnya hiduplah bidah-bidah dan matilah sunnah-sunnah.” (Al-Mu’jam Al-Kabir)

Apa yang seharusnya kita lakukan ketika mengetahui seseorang melakukan bidah?

Apa  yang seharusnya kita lakukan ketika mengetahui seseorang menyimpang dari sunnah?

 

Hikmah, Nasehat, dan Debat

Allah berfirman:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan nasehat yang baik, serta debatlah mereka dengan baik.” (QS. An-Nahl: 125)

Hikmah kemudian nasehat lalu debat. Inilah tahapan dalam menyadarkan seseorang dari bidah.

Ibnu Juzayy Al-Kalbi berkata:

والحكمة هي الكلام الذي يظهر صوابه،والموعظة هي الترغيب والترهيب، والجدال هو الردّ على المخالف

“Hikmah yaitu perkataan yang tampak kebenarannya, sedangkan nasehat yaitu targhib wa tarhib (menganjurkan dan memberikan ancaman), sementara debat yaitu bantahan terhadap orang yang melakukan penyelisihan.” (At-Tashil Li’ulum At-Tanzil)

Maka, orang yang menyimpang dari sunnah dan terjatuh pada bidah harus diingatkan dengan hikmah, yaitu dengan perkataan yang menampakkan kebenaran yakni perkataan yang diperkuat dengan dalil.

Kalau ia tidak terima, maka hendaknya ia dinasehati dengan baik, yaitu dengan memberi targhib wa tarhib (menganjurkan dan memberikan ancaman). Menganjurkannya agar mengikuti sunnah dan menjauhi bidah, serta mengancamnya dengan ayat dan hadis yang berisi ancaman terhadap orang  yang berpaling dari sunnah dan mengikuti bidah.

Kalau ia tidak terima juga, hendaknya ia didebat dengan baik, yaitu dibantah dengan dalil yang jelas dan sahih bahwa perbuatannya itu menyimpang dan salah.

Dan hendaknya semua itu dilakukan dengan lemah lembut.

Allah berfirman kepada Nabi Musa dan Harun:

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى  فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 43-44)

Fir’aun adalah orang yang sangat kafir dan jahat di muka bumi ini.

Adakah di dunia ini orang yang kekafiran dan kejahatannya melebihi kekafiran dan kejahatan Fir’aun?

Namun, meskipun begitu, apa yang diperintahkan Allah kepada Nabi Musa dan Harun?

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut.”

Nah, kalau kepada orang yang sangat kafir dan jahat saja diperintahkan untuk berkata-kata dengan santun dan lemah lembut, apalagi kepada saudara kita seiman!

Karena itu, saudara kita seagama lebih berhak mendapatkan perlakuan santun dibandingkan Fir’aun!

Saudara kita seiman lebih berhak mendapatkan perlakuan lembut dibandingkan Fir’aun!

 

Jika Kelembutan Tak juga Bermanfaat

Kalau memang semua cara tadi tidak juga bermanfaat bagi pelaku bidah, di mana ia masih saja melakukan bidah, maka hendaknya kita memboikotnya, jika memang ada manfaatnya.

Syekh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin berbicara tentang memboikot para pelaku maksiat:

 إذا كان من المصلحة أن نهجرهم بأن يكون ذلك سبباً لاستقامتهم هجرناهم وإلا فلا هجر.

“Jika memboikot mereka termasuk kemaslahatan di mana itu menjadi sebab baiknya mereka, maka hendaknya kita memboikot mereka. Namun, jika itu tidak menjadi sebab baiknya mereka, maka jangan memboikot mereka.” (Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Madani)

Kalau memang dengan memboikot tak juga membuat pelaku bidah sadar, bahkan itu membuat penyimpangannya makin parah, maka hendaknya kita hentikan boikot kita.

Timbul pertanyaan, “Kalau boikot tidak juga bermanfaat bagi pelaku bidah, lantas bolehkah kita menghukumnya?”

Syekh Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin berkata:

لا يجوز لأحد أن يفتات على الإمام

“Tidak boleh seseorang melangkahi pemimpin.

إقامة الحدود من شأن الإمام، وإقامة التعزيرات من شأن الإمام، ولا يحل لأحد أن يفتات عليه

Menegakkan hudud itu termasuk urusan pemimpin. Menegakkan takzir juga termasuk urusan pemimpin. Dan tidak boleh seorang pun melangkahinya.

وأقول: من شأن الإمام، والإمام هو الرئيس الأعلى في الدولة، سواء سمي ملكاً أو سمي رئيساً أو إماماً أو أميراً أو شيخاً، أو من ينوب الإمام، كأمراء المناطق ومحافظي المناطق وما أشبه ذلك

Aku katakan ‘termasuk urusan pemimpin’, dan pemimpin di sini yaitu pemimpin tertinggi di suatu negara, baik itu dinamakan raja, presiden, imam, amir, maupun syekh, atau orang yang menggantikan pemimpin tertinggi, seperti pemimpin wilayah, gubernur, dan semacam itu.” (Liqa Al-Bab Al-Maftuh)

 

Siberut, 1 Rabi’ul Awwal 1443

Abu Yahya Adiya