Bolehkah Menguji Akidah Seseorang?

Bolehkah Menguji Akidah Seseorang?

“Menguji orang dalam Islam adalah bidah.”

Itulah yang dikatakan oleh Imam Al-Barbahari dalam kitab Syarh As-Sunnah.

Kalau suatu perbuatan dikatakan bidah artinya itu terlarang. Dan kalau suatu perbuatan sudah dinyatakan terlarang, maka itu harus ditinggalkan.

Karena itu, tidak boleh kita menguji akidah seorang pun dalam Islam.

Syekh Nashir Al-‘Aql berkata:

هذه القاعدة أصل في الدين، وهو أن الأصل في المسلمين السلامة، والأصل فيهم الإسلام ما لم يظهر قرائن بيّنة على خلاف ذلك

“Kaidah ini adalah pokok dalam agama ini, yakni asalnya kaum muslimin itu selamat. Asalnya mereka itu Islam, selama tidak tampak indikasi jelas yang menunjukkan kebalikan dari itu.” (At-Ta’liq ‘Ala Syarh As-Sunnah)

Asalnya seorang muslim itu masih berdasarkan fitrahnya yakni menauhidkan Allah dan berada di jalan-Nya, selama tidak tampak indikasi yang menunjukkan bahwa ia telah menyekutukan-Nya dan menyimpang dari jalan-Nya.

Karena itu, menguji seorang muslim terkait dengan akidahnya merupakan perkara yang terlarang dan tidak disyariatkan.

Seperti apakah contohnya?

 

Pengujian Yang Terlarang

  1. Menguji kaum muslimin dengan pertanyaan dan pendapat yang tidak ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah.

Apa contohnya?

Yaitu menguji orang-orang dengan menanyakan sikap mereka terhadap orang tertentu, yakni seperti dengan bertanya, “Apa pendapatmu tentang fulan dan fulan?”

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan contohnya yaitu seperti bertanya kepada orang-orang tentang sikap mereka terhadap Yazid bin Mu’awiyah.

Syekhul Islam berkata:

فَإِنَّ هَذَا مِنْ الْبِدَعِ الْمُخَالِفَةِ لِأَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ

“Sesungguhnya itu termasuk bidah yang menyelisihi Ahlussunnah wal Jama’ah.” (Majmu’ Al-Fatawa)

Yang serupa dengan itu yaitu seperti bertanya kepada orang-orang tentang sikap mereka terhadap beberapa pemikir yang menyimpang. Itu pun terlarang.

Mengapa demikian?

Syekh Nashir Al-‘Aql berkata:

لأن هذا من الفتنة، وأغلب الناس خالي الذهن، لا يدري كيف يزن الناس، بل لا يكلف شرعاً في أن يتتبع زلات الخلق ثم يعطي كل واحد حكماً، فهذا ليس من اختصاص عامة المسلمين، ولا طلاب العلم.

“Sebab, itu termasuk fitnah, sedangkan kebanyakan orang itu polos. Mereka tidak mengerti bagaimana menimbang orang. Bahkan, mereka tidak dibebani secara syariat untuk melacak kesalahan orang-orang lalu memberikan hukum kepada setiap orang. Ini bukan kewenangan orang-orang awam dan bukan pula penuntut ilmu.” (Mujmal Ushul Ahlissunnah)

 

  1. Menguji orang-orang awam tentang perkara yang samar dan makna yang pelik dalam masalah akidah.

Seperti apa contohnya?

Syekh Nashir Al-‘Aql berkata:

وكذلك دقائق العقيدة، كرؤية الله عز وجل، فقد ثبت أن المؤمنين يرون ربهم يوم القيامة وهذه المسألة من المسائل التي قد تخفى على كثير من عامة المسلمين؛

“Demikian pula perkara akidah yang samar, seperti permasalahan melihat Allah. Telah sahih bahwa kaum mukminin akan melihat Tuhan mereka di hari kiamat. Dan masalah ini termasuk masalah yang bisa jadi samar bagi banyak kaum muslimin yang awam.

فيجب أن يعلموا، لكن لا يمتحنوا بها؛ لأنه قد تفاجأ به؛ لأنه ما عرف؛ فقد يقع في الكفر بسببك.

Mereka harus tahu, tapi mereka jangan diuji dengan pertanyaan tentang itu. Sebab, mereka benar-benar akan terkejut, karena mereka tidak tahu. Sehingga akhirnya bisa jadi mereka terjatuh dalam kekafiran disebabkan dirimu!” (Mujmal Ushul Ahlissunnah)

 

Pengujian Yang Diperbolehkan

Kalau dikatakan ada pengujian yang terlarang, berarti ada pula pengujian yang diperbolehkan. Lantas, seperti apa pengujian yang diperbolehkan?

Syekh Nashir Al-‘Aql berkata:

ولذلك فإن امتحان الناس بسؤالهم عن عقائدهم بدون مبرر ولا موجب شرعي يعتبر من البدع

“Karena itu, menguji orang-orang dengan bertanya kepada mereka tentang akidah mereka tanpa alasan yang dibenarkan dan yang dituntut dalam syariat itu termasuk bidah.” (At-Ta’liq ‘Ala Syarh As-Sunnah)

Berarti, menguji orang-orang karena ada alasan yang dibenarkan dan dituntut dalam syariat, itu bukan bidah dan tidak terlarang.

Apa saja alasan yang dibenarkan dan dituntut dalam syariat yang membolehkan kita untuk menguji orang-orang dalam masalah akidah?

  1. Jika tampak pada diri seseorang tanda-tanda yang menunjukkan penyimpangan.

Syekh Nashir Al-‘Aql berkata:

كأن ظهرت في الشخص قرائن تدل على أنه يقول بالبدعة أو يعتقدها أو يفعلها، فلا مانع من سؤاله

“Seperti tampak pada diri seseorang tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ia mengucapkan perkataan bidah, atau meyakininya, atau melakukannya, maka tak mengapa bertanya kepadanya.” (At-Ta’liiq ‘Ala Syarh As-Sunnah Lilbarbahari)

 

  1. Jika seseorang hendak melakukan hubungan yang penting dan terus-menerus dengan orang lain, seperti belajar, jual-beli, pernikahan, dan semacamnya.

Kalau memang untuk tujuan demikian, maka kita diperbolehkan menguji seseorang terkait dengan akidahnya. Sebab….

Apakah layak kita belajar kepada sembarang orang?

Muhammad bin Sirin berkata:

إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ

“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, karena itu tengoklah dari siapa kalian mengambil agama kalian?” (Shahih Muslim)

Apakah pantas kita berhubungan jual-beli dengan sembarang orang?

Syekh Rabi’ Al-Madkhali berkata:

فهذه مسؤولية؛ أنت لما تتعامل في تجارة مع إنسان تهجم هكذا على الإنسان أو لا بد أن تسأل عن أمانته وصدقه ووفائه؟

“Ini adalah tanggung jawab. Engkau tatkala menjalankan bisnis dengan seseorang, apakah engkau langsung menerima orang itu? Atau engkau mesti bertanya tentang sifat amanah, kejujuran dan kesetiaannya?”

Apakah patut kita menikah dengan sembarang orang?

Syekh Rabi’ Al-Madkhali berkata:

يعني الذي يتزوج تسأل عنه وتستشير؛ تسأل عن دينه، عن خلقه حتى تعرف أنه على دين وخُلُق…

“Orang yang akan menikah, hendaknya engkau tanyakan tentang keadaannya dan dimusyawarahkan. Engkau tanyakan tentang agamanya dan akhlaknya, sampai engkau mengetahui bahwa ia orang yang baik agamanya dan juga akhlaknya…

فلابد من السؤال والبحث حتى تعرف ماذا عند هذا الإنسان من أخلاق وما عنده من دين

Karena itu, harus bertanya dan menyelidiki sampai engkau mengetahui bagaimana akhlak dan agama orang itu.”

 

Siberut, 4 Rabi’ul Awwal 1443

Abu Yahya Adiya

 

Sumber:

  1. At-Taliq Ala Syarh As-Sunnah karya Syekh Nashir Al-‘Aql.
  2. Mujmal Ushul Ahlissunnah karya Syekh Nashir Al-‘Aql.
  3. http://www.rabee.net/show_fatwa.aspx?id=192