Apakah Penting Membantah Penolak Sifat Allah?

Apakah Penting Membantah Penolak Sifat Allah?

“Sesungguhnya mereka mengklaim bahwa Allah tidak akan dilihat di akhirat.”

Demikian seseorang mengadukan keyakinan beberapa orang kepada Imam Malik. Maka beliau pun berkata:

السَّيْفَ السَّيْفَ

“Pedang. Pedang.” (Syarḥ Uṣūl I’tiqād Ahli As-Sunnah wa Al-Jamā’ah)

Menurut beliau, mereka terancam hukum mati.

Mengapa demikian?

Suatu malam, Nabi ﷺ sedang bersama para sahabatnya, di bawah sinar bulan purnama. Lalu beliau ﷺ bersabda kepada mereka:

إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ، كَمَا تَرَوْنَ هَذَا القَمَرَ، لاَ تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ

“Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian, sebagaimana kalian melihat bulan ini.  Kalian tidak berdesak-desakan dalam melihatnya.” (HR. Bukhārī dan Muslim)

Imam Yazīd bin Hārūn berkata:

من كذب بهذا الحديث فهو بريء من الله ورسوله.

“Siapa yang mendustakan hadis ini, maka ia telah mendustakan Allah dan rasul-Nya.” (Fatḥu Al-Bārī Syarḥ Ṣaḥīḥ Al-Bukhārī)

Maka, pantaskah seseorang mengaku muslim tapi mendustakan Allah dan rasul-Nya?

Orang-orang beriman akan melihat Allah di surga nanti. Itu permasalahan penting yang harus kita terima dan kita yakini. Bukan malah kita dustakan atau kita remehkan.

“Wajah-wajah pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan merekalah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyāmah: 22-23)

Ketika menafsirkan dua ayat ini, Sayyid Quṭb menyebutkan

فقد كان جدلا ضائعا ذلك الجدل الطويل المديد الذي شغل به المعتزلة أنفسهم ومعارضيهم من أهل السنة والمتكلمين حول حقيقة النظر والرؤية في مثل ذلك المقام

“Telah terjadi perdebatan sia-sia yaitu perdebatan panjang lebar yang menyibukkan Muktazilah, Ahlussunnah, dan para mutakalim seputar hakikat memandang dan melihat Allah ketika itu.” (Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān)

Pernyataannya Sayyid ini menunjukkan bahwa ia mengganggap kecil perselisihan tersebut dan bahwasanya itu permasalahan yang tidak perlu dibesar-besarkan dan diperdebatkan.

Itu bisa dimaklumi, karena Sayyid adalah tokoh Ikhwanul Muslimin. Dan Ikhwanul Muslimin adalah:

جماعة (تجميع) نخلط السني بالمبتدع وتمزج بينهما في تركيبة غير متآلفة لتشكل منهما جماعة واحدة لها أهدافها وطموحاتها

“Jamaah ‘penggabungan’ yang mencampuradukkan dan menggabungkan Ahlussunnah dengan ahli bidah dalam bentuk yang tidak selaras sehingga menjadi satu jamaah yang memiliki tujuan dan cita-cita yang sama.” (Al-Qarḍāwī fī Al-Mīzān)

Dan perkataan Sayyid tadi serupa dengan perkataan tokoh Ikhwanul Muslimin lainnya, yaitu Dr. Yūsuf Al-Qarḍāwī.

Dr. Yūsuf Al-Qarḍāwī berkata:

إن المعركة اليوم ليست مع الأشاعرة ولا الماتريدية ولا المعتزلة ولا الجهمية. إن معركتنا الكبرى مع الملاحدة الذين لا يؤمنون بإله ولا نبوة ولا كتاب. ليست معركتنا مع الذين يقولون عن الله تعالى:

“Sesungguhnya perang hari ini bukanlah dengan Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Muktazilah, atau Jahmiyyah. Sesungguhnya perang besar kita yaitu dengan para ateis yang tidak beriman kepada Tuhan, nabi, dan kitab suci. Perang kita bukanlah dengan mereka yang berkata tentang Allah:

ليس له مكان،

“Dia tidak memiliki tempat.”

بل مع الذين يقولون:

Bahkan, perang kita dengan mereka yang berkata:

ليس له وجود، وعلينا أن نخلقه،

“Dia tidak ada, karena itu kita harus menciptakan-Nya!”

كما قال أحدهم!!

Sebagaimana itu diucapkan salah seorang dari mereka.

ليست معركتنا مع الذين يؤولون صفات الله تعالى، بل مع الذين يجحدون الله بالكلية.

Perang kita bukanlah dengan mereka yang menakwilkan sifat-sifat Allah, melainkan dengan mereka yang menolak Allah secara keseluruhan.” (Wujūd Allāh)

Dr. Yūsuf Al-Qarḍāwī ingin menjelaskan bahwa tidak pantas membantah para penolak sifat Allah di zaman ini. Yang pantas dan penting di zaman ini adalah membantah para penolak Allah.

Yang menguatkan demikian adalah pernyataannya setelahnya:

وأي تحويل للمعركة عن هذا الخط، يعتبر توهينا للصف، وفرار من الزحف، وإعانة للعدو.

“Apa pun pengalihan perang dari garis ini dianggap melemahkan barisan, lari dari medan perang, dan membantu musuh.” (Wujūd Allāh)

Karena itu, kalau di zaman ini muncul bantahan dari Ahlussunnah terhadap para penolak sifat Allah, maka menurutnya, itu merupakan perbuatan yang melemahkan barisan kaum muslimin, lari dari medan perang, dan membantu musuh dalam menghancurkan Islam. Artinya, membantah para penolak sifat Allah hanya akan membuat umat kalah dan tidak berjaya.

Tentu saja itu pernyataan yang batil. Kebatilan itu harus dibantah, siapa pun yang mengucapkannya, baik itu muslim maupun kafir.

Selain itu, kejayaan umat ini tidak bisa diraih dengan mendiamkan kebatilan.

Kita hanya bisa berjaya kalau kembali kepada agama kita, sebagaimana itu telah dikabarkan oleh nabi kita ﷺ:

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

“Jika kalian berjual beli menggunakan ’īnah (salah satu jenis riba), lalu kalian mengambil ekor-ekor sapi (yaitu sibuk dengan peternakan), dan rela dengan pertanian (yaitu sibuk dengan pertanian) serta meninggalkan jihad, niscaya Allah menimpakan kepada kalian kehinaan yang tidak akan dicabut sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abū Dāwūd)

Ya, sampai kalian kembali kepada agama kalian. Sampai kita kembali kepada agama kita. Lantas, apakah menolak sifat Allah termasuk bagian dari agama kita?!

 

Siberut, 24 Rabī’ul Awwal 1447

Abu Yahya Adiya