Gurat kematian mulai tampak di wajahnya. Tanda-tanda perpisahan mulai menghampirinya.
Ketika kondisinya makin kritis, di saat maut hampir menjemput, berjalanlah Rasulullah ﷺ mendekatinya.
Dan saat itu, ‘Abdullah bin Abi Umayyah dan Abu Jahl sudah ada di sisinya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya:
أَيْ عَمِّ قُلْ: لا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ
“Wahai pamanku, ucapkanlah لا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ , suatu kalimat yang dapat kujadikan bukti untuk membelamu di hadapan Allah.”
Namun, sabda beliau ﷺ disambut oleh ‘Abdullah bin Umayyah dan Abu Jahl:
يا أبا طالب, أتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ المُطَّلِبِ؟
“Wahai Abu Thalib, apakah kamu membenci agama ‘Abdulmuththalib?”
Keduanya tidak rela kalau ia memenuhi ajakan Rasulullah ﷺ, keponakannya sendiri.
Rasulullah ﷺ tidak putus asa. Beliau ﷺ mengulangi lagi sabdanya:
“Wahai pamanku, ucapkanlah لا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ , suatu kalimat yang dapat kujadikan bukti untuk membelamu di hadapan Allah.”
Akan tetapi, ‘Abdullah bin Abi Umayyah dan Abu Jahl kembali mengulangi lagi perkataan yang telah mereka sebutkan sebelumnya: “Wahai Abu Thalib, apakah kamu membenci agama ‘Abdulmuththalib?”
Akhirnya, setelah perundingan yang demikian alot, ia memutuskan untuk terakhir kali bahwa ia tetap di dalam agama ‘Abdulmuththalib. Ia enggan mengucapkan
لا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ .
Lalu terputuslah nafasnya, terhentilah detak jantungnya, dan menjadi kakulah badannya.
Abu Thalib sudah mati. Ia telah meninggal dunia.
Rasulullah ﷺ berduka. Beliau ﷺ pun bersabda:
وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ
“Sungguh demi Allah, aku akan mintakan ampunan untukmu selama aku tidak dilarang.”
Allah عز وجل pun menurunkan firman-Nya:
{مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ}
“Tidak sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” (QS. At-Taubah: 113)
Dan mengenai Abu Thalib, Allah عز وجل menurunkan firman-Nya (QS. Al-Qashshash: 56):
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya engkau (wahai Rasul) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kau kasihi, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ada beberapa faidah yang bisa kita petik dari hadis di atas:
- Bolehnya menjenguk orang kafir yang mengalami sakit jika diharapkan bisa masuk Islam.
Jika menjenguk orang kafir dalam rangka berdakwah diperbolehkan, maka begitu pula meruqyah orang kafir dalam rangka berdakwah. Itu pun diperbolehkan. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal itu.
- Makna لا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ adalah menolak peribadatan kepada patung, para wali, orang saleh, dan menetapkan peribadatan hanya untuk Allah.
Orang-orang musyrik mengetahui makna dan konsekuensi dari kalimat لا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ, karena itu mereka pun tidak mau mengucapkannya. Karena itu pula, Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah tidak rela jika Abu Thalib mengucapkannya.
- Bahayanya teman buruk
Apa yang menyebabkan Abu Thalib tidak mau mengucapkan لا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ di akhir hayatnya?
Apa yang menyebabkan Abu Thalib tidak menyambut ajakan dari Nabi ﷺ, keponakannya yang selama ini ia bela dan ia cintai?
Apa yang menyebabkan Abu Thalib mati dalam keadaan kafir?
Apa yang menyebabkan Abu Thalib menjadi penghuni neraka?
Tidak lain dan tidak bukan, pengaruh dari ‘Abdullah bin Abi Umayyah dan Abu Jahl, dua temannya yang jahat, dua temannya yang bejat.
Maka, hati-hatilah dalam memilih teman!
- Bahaya fanatik buta.
Selain faktor teman yang buruk, yang menghalangi Abu Thalib masuk Islam adalah fanatik buta kepada ajaran ayahnya, sehingga mengabaikan kebenaran risalah yang dibawa keponakannya, yaitu Nabi Muhammad ﷺ.
Dan itulah faktor yang menyebabkan banyak orang musyrik menolak dakwah Nabi ﷺ.
Allah berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Dan bila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah!”, mereka menjawab, “Kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami!” walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al-Baqarah: 170)
- Haramnya memintakan ampun untuk orang-orang musyrik, mencintai mereka dan memberikan loyalitas kepada mereka.
- Abu Thalib mati dalam keadaan kafir.
Hadits tadi merupakan bantahan terhadap sekte Syiah yang menyatakan bahwa Abu Thalib mati dalam keadaan sebagai muslim.
- Hidayah itu di tangan Allah.
Sesaleh apapun seorang, tetap saja ia tidak bisa memberikan hidayah.
Lihatlah nabi kita ﷺ. Kurang apa kesalehan beliau?
Beliau seorang nabi, rasul dan sosok yang paling dicintai Allah. Tapi, walaupun begitu, beliau tidak bisa memberikan hidayah kepada pamannya yang selama ini membelanya.
- Nasib seseorang tergantung akhir hayatnya.
Nabi ﷺ bersabda:
وَإِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ
“Sesungguhnya amalan itu tergantung akhirnya.” (HR. Bukhari)
Nasib seseorang di dalam kubur bergantung pada akhir hayatnya.
Nasib seseorang ketika bangkit dari kubur bergantung pula pada akhir hayatnya.
Bahagia tidaknya seseorang di akhirat berhubungan erat dengan akhir hayatnya.
Kalau akhir hidupnya baik, maka akan baik pula nasibnya selanjutnya.
Tapi kalau akhir hidupnya buruk, maka akan buruk pula nasibnya selanjutnya.
Siberut, 2 Dzulqa’dah 1441
Abu Yahya Adiya
Sumber:
- Al-Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At-Tauhid karya Syekh Saleh Al-Fauzan.
- Mauqi’ Al-Islam Sual wa Jawab






