Pujian Yang Tidak Terpuji

Nabi ﷺ bersabda:

لاَ تُطْرُونِي، كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ، وَرَسُولُهُ

“Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebihan dalam memuji ‘Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah: hamba Allah dan rasul-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Faidah yang bisa kita petik dari hadis ini:

 

  1. Haramnya berlebihan dalam memuji Nabi ﷺ.

Sebagaimana sabda beliau ﷺ: “Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku.”

Kita diharamkan berlebihan dalam memuji Nabi ﷺ sehingga mengangkat beliau dari posisi beliau yang sesungguhnya, yaitu hamba Allah dan rasul-Nya.

Salah satu contoh sikap berlebihan, yaitu ucapan seseorang:

يا إمام الرسل يا سندي      أنت باب الله و معتمدي

“Wahai imam para rasul, wahai sandaranku. Engkau adalah pintu Allah, dan tempat aku bergantung.

و في دنياي و آخرتي       يا رسول الله خذ بيدي

ما يبدلني عسرا يسرا       إلاك

Di dunia serta akhiratku. Wahai Rasulullah, bimbinglah diriku.
Tak ada yang menggantikan kesulitanku menjadi kemudahan, kecuali dirimu!”

Lihatlah, ia berkata bahwa Nabi ﷺ adalah tempatnya bergantung di dunia dan akhirat.

Padahal, kepada siapakah kita bergantung di dunia dan akhirat? Kepada nabi kita ataukah Tuhan kita?!

Ia juga berkata bahwa tidak ada yang menggantikan kesulitan menjadi mudah kecuali Nabi ﷺ.

Padahal, siapakah yang bisa memberikan kemudahan dan kesulitan kepada kita? Nabi kita atau Tuhan kita?!

Allah berfirman:

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Dia menghendaki kebaikan bagimu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan Dia lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus: 107)

 

  1. Kaum Nashrani telah berlebihan dalam mengagungkan Nabi ‘Isa ﷺ.

Sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji ‘Isa bin Maryam.”

Ya, mereka berlebihan dalam mengagungkan Nabi Isa ﷺ, sampai-sampai mereka menganggapnya sebagai anak Allah, bahkan Allah itu sendiri!

Allah Ta’ala berfirman:

يا أهل الكتاب لا تغلوا في دينكم ولا تقولوا على الله إلا الحق

“Wahai orang-orang ahli kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian, dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (QS. An Nisa’: 171)

 

  1. Terlarangnya sikap berlebihan terhadap individu tertentu, perbuatan tertentu, dan semacamnya.

Sebagaimana sabda beliau: “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku.”

Nah, kalau terhadap Nabi ﷺ saja tidak boleh berlebihan, apalagi terhadap selain Nabi ﷺ!

Dan yang terlarang sebenarnya bukan hanya berlebihan terhadap individu tertentu, melainkan juga terhadap yang lainnya, yakni mencakup berlebihan dalam beribadah, bermuamalah dan dalam semua perkara.

Nabi ﷺ bersabda:

إياكم والغلو، فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو

“Jauhilah oleh kalian sikap berlebihan! Karena sesungguhnya sikap berlebihan itulah yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Kalau umat sebelum kita bisa binasa karena sikap berlebihan, maka begitu pula kita. Kita pun bisa binasa karena sikap berlebihan.

Makanya Nabi ﷺ bersabda:

“هلك المتنطعون ” قالها ثلاثا.

“Binasalah orang-orang yang bersikap berlebihan.” (Nabi ﷺ mengucapkannya sampai tiga kali) (HR. Muslim)

 

  1. Sikap berlebihan terhadap orang saleh bisa menyeret ke dalam syirik.

Sebagaimana yang terjadi pada kaum Nashrani. Mereka berlebihan terhadap Nabi Isa ﷺ, sehingga akhirnya mereka menuhankan beliau.

 

  1. Larangan menyerupai orang-orang kafir.

Sebagaimana sabda beliau: “Sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji ‘Isa bin Maryam.”

Nabi ﷺ bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا، لَا تَشَبَّهُوا بِاليَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى

“Bukan termasuk golongan kami orang yang meniru orang-orang selain kami, karena itu janganlah kalian meniru orang-orang Yahudi dan Nashrani!” (HR. Tirmidzi)

 

  1. Disyariatkan menutup pintu menuju kemusyrikan dan kekufuran.

Sebagaimana yang dilakukan Nabi ﷺ dalam hadis di atas. Beliau mengingatkan umatnya agar tidak berlebihan dalam memujinya, sehingga akhirnya bisa menjerumuskan mereka ke dalam syirik seperti yang terjadi pada kaum Nashrani.

 

  1. Hendaknya seseorang mengambil pelajaran dari kesalahan orang lain agar tidak terjatuh pada kesalahan yang sama.

Abdullah bin Mas’ud berkata:

وَإِنَّ السَّعِيدَ مَنْ وُعِظَ بِغَيْرِهِ

“Sesungguhnya orang yang bahagia adalah orang yang mengambil pelajaran dari selainnya.” (Al-Mu’jam Al-Ausath)

 

  1. Perintah untuk selalu mengambil sikap pertengahan dalam beragama dan dalam semua perkara, yaitu pertengahan antara sikap berlebihan dan meremehkan.

Dan itulah sifat umat islam, yaitu pertengahan.

Allah berfirman:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam), umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143)

Siberut, 3 Dzulqa’dah 1441

Abu Yahya Adiya

 

Sumber:

  1. Al-Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At-Tauhid karya Syekh Saleh Al-Fauzan.
  2. Al-Mu’jam Al-Ausath karya Imam Ath-Thabrani.