Menusuk orang, merampok, dan mencuri sudah sering ia lakukan. Banyak orang yang merasa resah dengan berbagai kejahatan yang telah ia lakukan.
Dan akhirnya, kejahatannya terhenti setelah timah panas polisi menghantam tubuhnya lalu mengakhiri hidupnya.
Apakah ia akan disiksa neraka? Bisakah kita pastikan bahwa ia akan masuk neraka?
Nasib Pelaku Dosa Besar dalam Al-Quran
Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain syirik bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An Nisaa: 48)
Imam Ath-Thabari berkata:
وقد أبانت هذه الآية أنّ كل صاحب كبيرة ففي مشيئة الله، إن شاء عفا عنه، وإن شاء عاقبه عليه، ما لم تكن كبيرة شركًا بالله.
“Sungguh, ayat ini menjelaskan bahwa setiap orang yang melakukan dosa besar, maka ia di bawah kehendak Allah. Kalau Dia mau, Dia memaafkannya. Dan kalau Dia mau, Dia menghukumnya, selama dosa besar itu bukan berupa menyekutukan Allah.” (Jami’ Al-Bayan Fii Tawil Al-Quran)
Ayat ini menunjukkan bahwa siapa yang terjatuh dalam dosa selain syirik dan kekafiran, seperti membunuh, meminum minuman keras, berdusta, dan memakan riba, dan semacamnya, lalu mati dalam keadaan belum bertobat dari dosanya itu, maka ia di bawah kehendak Allah.
Ya, di bawah kehendak Allah. Kalau Allah mau, ia diampuni sehingga bisa langsung masuk surga. Dan kalau Allah mau, ia tidak diampuni sehingga harus disiksa di neraka, tapi….
Tidak selama-lamanya. Suatu waktu Allah mengeluarkannya dari neraka lalu memasukkannya ke surga.
Itulah keterangan dari firman Tuhan kita, lantas bagaimana keterangan dari sabda nabi kita?
Nasib Pelaku Dosa Besar dalam Hadis
Nabi ﷺ bersabda:
وَمَنْ أَتَى مِنْكُمْ حَدًّا، فَأُقِيمَ عَلَيْهِ، فَهُوَ كَفَّارَتُهُ، وَمَنْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ، فَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ، وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ
“Dan siapa di antara kalian yang melanggar hudud, lalu ditegakkan hukuman padanya, maka itulah penghapus dosanya. Dan siapa yang Allah tutupi aibnya itu, maka urusannya kembali kepada Allah. Jika Dia mau, Dia menyiksanya. Dan jika Dia mau, Dia mengampuninya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Ibnu ‘Abdil Barr berkata:
هَذَا مِنْ أَصَحِّ حَدِيثٍ يُرْوَى عَنِ النَّبِيِّ ﷺ وَعَلَيْهِ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَهُوَ يُضَاهِي قَوْلَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Ini termasuk hadis paling sahih yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ dan itulah yang dipegang oleh Ahlussunnah wal Jama’ah. Dan itu serupa dengan firman Allah:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرَ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain syirik bagi siapa yang Dia kehendaki.”
وَالْآثَارُ فِي هَذَا الْبَابِ كَثِيرَةٌ جِدًّا لَا يُمْكِنُ أَنْ يُحِيطَ بِهَا كِتَابٌ
Hadis-hadis tentang permasalahan ini sangat banyak dan tidak mungkin dicakup oleh satu buku.” (At-Tamhid)
Menurut Imam Ibnu Abdil Barr, kandungan hadis ini serupa dengan kandungan surat An-Nisa ayat 48 tadi.
Berarti, sebagaimana ayat tadi menunjukkan bahwa pelaku dosa besar-selain syirik dan kekafiran-akan berada di bawah kehendak Allah, maka begitu pula hadis ini menunjukkan demikian.
Pelaku dosa besar yang tidak bertobat akan berada di bawah kehendak Allah.
Kalau Allah mau, ia langsung masuk surga karena mendapat ampunan-Nya. Dan kalau Allah mau, ia harus disiksa di neraka karena tidak mendapat ampunan-Nya, tapi….
Tidak selama-lamanya. Suatu waktu Allah mengeluarkannya dari neraka lalu memasukkannya ke surga-Nya.
Kalau memang demikian nasib pelaku dosa besar di akhirat nanti, lantas bisakah kita memastikan dirinya masuk neraka?!
Surga dan Neraka Seorang Insan Tidak Bisa Dipastikan
Imam An-Nawawi menyebutkan faidah dari hadis tadi:
وَمِنْهَا الدَّلَالَةُ لِمَذْهَبِ أَهْلِ الْحَقِّ أَنَّ الْمَعَاصِيَ غَيْرَ الْكُفْرِ لَا يُقْطَعُ لِصَاحِبِهَا بِالنَّارِ إِذَا مَاتَ وَلَمْ يَتُبْ مِنْهَا بَلْ هُوَ بِمَشِيئَةِ اللَّهِ تَعَالَى إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
“Dalam hadis ini terdapat dalil bagi orang-orang yang mengikuti kebenaran yakni bahwa pelaku maksiat selain kekafiran tidak boleh dipastikan masuk neraka jika ia mati dalam keadaan belum bertobat dari perbuatannya itu. Bahkan, ia di bawah kehendak Allah. Kalau Dia mau, Dia memaafkannya. Dan kalau Dia mau, Dia menyiksanya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj)
Maka, tidak boleh memastikan seorang pun masuk neraka karena dosa yang ia lakukan, separah apa pun dosanya!
Kalau itu tentang pemastian seorang masuk neraka, lantas bisakah memastikan seseorang masuk surga karena amalan yang ia lakukan?
Imam Ath-Thibbiy mengomentari hadis itu juga:
فِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى الْكَفِّ عَنِ الشَّهَادَةِ بِالنَّارِ عَلَى أَحَدٍ أَوْ بِالْجَنَّةِ لِأَحَدٍ إِلَّا مَنْ وَرَدَ النَّصُّ فِيهِ بِعَيْنِهِ
“Dalam hadis tersebut ada isyarat untuk menahan diri dari kesaksian bahwa seorang mendapatkan surga atau neraka kecuali orang yang telah ditentukan dalam nas.” (Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari)
Sebagaimana kita tidak boleh memastikan seseorang masuk neraka karena kemaksiatan yang ia lakukan, maka begitu pula kita tidak boleh memastikan seseorang masuk surga karena ibadah yang ia lakukan.
Mengapa demikian?
Imam Abu Isma’il Ash-Shabuni berkata:
[ويعتقد ويشهد أصحاب الحديث: أن عواقب العباد مبهمة لا يدري أحد بم يختم له
“Ahli hadis bersaksi dan berkeyakinan bahwa akhir kehidupan para hamba tidak diketahui. Tidak seorang pun tahu bagaimana akhir hidupnya.
ولا يحكمون لواحد بعينه أنه من أهل الجنة، ولا يحكمون على أحد بعينه أنه من أهل النار؛ لأن ذلك مغيب عنهم
Mereka tidak memvonis seseorang bahwa ia calon penghuni surga dan tidak pula memvonis seseorang bahwa ia calon penghuni neraka. Sebab, itu perkara gaib bagi mereka.” (‘Aqidah As-Salaf wa Ashhaab Al-Hadits)
Bisa jadi seseorang sepanjang hidupnya melakukan maksiat, tetapi di akhirnya hayatnya ia bertobat tanpa diketahui oleh siapa pun. Lalu ia pun bahagia di akhirat.
Sebaliknya,bisa jadi seseorang sepanjang hidupnya rajin ibadah, tetapi di akhir hayatnya ia terjatuh dalam maksiat tanpa diketahui oleh siapa pun. Lalu ia pun sengsara di akhirat.
Bukankah yang seperti itu mungkin saja terjadi?
Karena itu, tidak boleh kita memastikan siapa pun masuk surga, ‘sehebat’ apa pun amalannya.
Dan tidak boleh kita memastikan siapa pun masuk neraka, ‘separah’ apa pun amalannya.
Itulah keyakinan ahli hadis, Ahlussunnah wal Jama’ah. Berbeda halnya dengan keyakinan sekte Khawarij dan Muktazilah. Mereka memvonis para pelaku dosa besar akan bertempat di neraka, kekal selama-lamanya!
Dan itu pendapat sesat yang bertentangan dengan syariat!
Pemastian Yang Diperbolehkan
Keadaan akhir hidup manusia dan nasibnya di akhirat adalah perkara gaib yang hanya diketahui oleh Allah. Karena itu, tidak boleh kita memastikan siapapun masuk surga atau neraka, kecuali:
- Kalau ada wahyu yang menyebutkan bahwa seseorang akan masuk surga atau neraka.
Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata:
ولا نجزم لأحد من أهل القبلة بجنة ولا نار إلا من جزم له الرسول
“Dan kami tidak memastikan seorang pun muslim masuk surga atau neraka, kecuali siapa yang telah dipastikan oleh Rasul.” (Lum’ah Al-I’tiqad)
Kalau memang Allah dan rasul-Nya telah memastikan seseorang masuk surga, maka boleh kita katakan bahwa ia akan masuk surga. Seperti halnya 10 sahabat Nabi yang telah dijamin masuk surga di masa hidup mereka.
Dan kalau memang Allah dan rasul-Nya telah memastikan seseorang masuk neraka, maka boleh kita katakan bahwa ia akan masuk neraka. Seperti halnya Fir’aun, Haman, Ubay bin Khalaf, dan Abu Lahab.
- Kalau sekadar menyebut sifat bukan sosok.
Kalau sekadar menentukan sifat penghuni neraka, dan bukan sosoknya, maka itu diperbolehkan.
Imam Ibnu Hazm berkata:
إِلَّا أننا نقطع على الصِّفَات فَنَقُول من مَاتَ مُعْلنا الْكفْر أَو مبطناً لَهُ فَهُوَ فِي النَّار خالدا فِيهَا
“Hanya saja, kita memastikan sifatnya, yaitu dengan berkata, ‘Siapa yang mati dalam keadaan menampakkan kekafiran atau menyembunyikannya, maka ia di neraka, kekal di dalamnya.” (Al-Fashl fii Al-Millal wa An-Nihal)
Dan yang serupa dengan itu….
Kalau ada seseorang-misalnya bernama A-membunuh seorang muslim dengan sengaja, lalu mati dalam keadaan belum bertobat, maka tidak boleh kita katakan, “Si A akan di neraka!”.
Begitu pula kalau ada seseorang-misalnya bernama B-rajin salat, maka tidak boleh kita katakan, “Si B akan di surga!”
Katakan saja, “Siapa yang membunuh seorang muslim dengan sengaja, maka ia akan di neraka!” Itu diperbolehkan.
Begitu pula kalau kita katakan, “Siapa yang rajin salat, maka ia akan di surga!”. Itu pun diperbolehkan.
Mengapa demikian?
Karena itu memastikan sifat, bukan memastikan sosok.
Siberut, 27 Muharram 1443
Abu Yahya Adiya






