1. Apa hukum berobat?
Nabi ﷺ bersabda:
تَدَاوَوْا عِبَادَ اللَّهِ، فَإِنَّ اللَّهَ، سُبْحَانَهُ، لَمْ يَضَعْ دَاءً، إِلَّا وَضَعَ مَعَهُ شِفَاءً
“Berobatlah wahai hamba-hamba Allah. Karena sesungguhnya tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan pula bersamanya penawarnya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan lain-lain)
Imam Ibnu ‘Abdil Barr berkata:
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ إِبَاحَةُ التَّدَاوِي وَإِبَاحَةُ مُعَالَجَةِ الْأَطِبَّاءِ وَجَوَازُ الطِّبِّ وَالتَّطَبُّبِ
“Dalam hadis ini terdapat keterangan bolehnya berobat dan boleh para dokter melakukan pengobatan serta bolehnya kedokteran dan mempelajarinya.” (Al-Istidzkar)
Ketika membahas tentang hukum berobat, Imam As-Safarini berkata:
قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ قَدَّسَ اللَّهُ رُوحَهُ:
“Syekhul Islam Ibnu Taimiyah-semoga Allah sucikan rohnya-berkata:
لَيْسَ بِوَاجِبٍ عِنْدَ جَمَاهِيرِ الْأَئِمَّةِ إنَّمَا أَوْجَبَهُ طَائِفَةٌ قَلِيلَةٌ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ. انْتَهَى.
“Itu tidak wajib menurut mayoritas ulama. Yang mewajibkan itu hanyalah sekelompok kecil ulama dari kalangan pengikut Asy-Syafi’i dan Ahmad.”
وَأَحَادِيثُ الْأَمْرِ بِالتَّدَاوِي لِلْإِبَاحَةِ وَالْإِرْشَادِ دُونَ الْوُجُوبِ كَمَا نَبَّهَ عَلَيْهِ غَيْرُ وَاحِدٍ.
Hadis-hadis yang memerintahkan berobat adalah untuk menyatakan bolehnya demikian dan sebagai bimbingan, dan bukan kewajiban, sebagaimana diingatkan oleh lebih dari satu ulama.” (Ghidza Al-Albab Fii Syarh Manzhumah Al-Adab)
Maka, boleh berobat dan boleh tidak. Namun, kalau penyakit yang dialami oleh seseorang bisa mengakibatkan kerusakan organ tubuhnya, bahkan mengakibatkan kematian pada dirinya jika tidak diobati, maka sebagian ulama mewajibkan berobat dalam keadaan demikian, dan meninggalkannya ketika itu adalah diharamkan.
Al-Isnawi berkata:
يَحْرُمُ تَرْكُهُ فِي نَحْوِ جُرْحٍ يُظَنُّ فِيهِ التَّلَفُ
“Diharamkan meninggalkan pengobatan dalam kasus semacam luka yang diduga akan mengakibat kerusakan.” (Hasyiyataa Qalyubi wa ‘Umairah)
2. Apa hukum berobat dengan cara atau media yang haram?
Imam Asy-Syaukani berkata:
وأما كونه يحرم التداوي بالمحرمات فلحديث أبي هريرة أن النبي ﷺ نهى عن الدواء الخبيث أخرجه مسلم رحمه الله وغيره وأخرج أبو داود من حديث أبي الدرداء قال: قال رسول الله ﷺ:
“Adapun diharamkannya berobat dengan yang haram, maka itu berdasarkan hadis Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ melarang memakan obat yang najis. Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dan selainnya. Dan Abu Daud meriwayatkan hadis Abu Ad-Darda bahwa ia berkata, yakni Rasulullah ﷺ bersabda:
إن الله أنزل الداء والدواء وجعل لكل داء دواء فتداووا ولا تتداووا بحرام
“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obatnya. Dan Dia telah menjadikan obat bagi setiap penyakit. Karena itu, berobatlah kalian dan jangan berobat dengan yang haram!”
وفي إسناده إسمعيل بن عياش وقد ثبت عنه ﷺ النهي عن التداوى بالخمر كما في صحيح مسلم رحمه الله وغيره وفي البخاري عن ابن مسعود أنه قال:
Dalam sanad hadis ini ada Isma’il bin ‘Iyasy. Dan telah tetap dari Nabi ﷺ larangan berobat dengan minuman keras, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim dan selainnya. Dan dalam Shahih Bukhari dari Ibnu Mas’ud bahwasanya ia berkata:
إن الله لم يجعل شفاءكم فيما حرم عليكم
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat kalian pada apa yang Dia haramkan atas kalian.”
وقد ذهب إلى تحريم التداوي بالأدوية النجسة والمحرمة الجمهور
Dan mayoritas ulama telah berpendapat haramnya berobat dengan obat yang najis dan haram.” (Ad-Darari Al-Mudhiyyah Syarh Ad-Durar Al-Bahiyyah)
3. Apakah berobat bertentangan dengan sikap tawakal kepada Allah?
Setelah menyebutkan hadis tentang perintah untuk berobat, Imam Ash-Shan’ani berkata:
وفي الحديث الإرشاد إلى التداوي وأنه لا ينافي التوكل كما لا ينافيه دفع ذا الجوع والعطش والحر والبرد بأضدادها
“Dalam hadis ini terdapat bimbingan untuk berobat dan bahwasanya itu tidak bertentangan dengan tawakal, sebagaimana tidak bertentangan dengan tawakal orang yang merasa lapar, haus, panas, dan dingin melakukan perkara yang menghilangkan itu.” (At-Tanwir Syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir)
Kenapa itu tidak bertentangan dengan tawakal?
Imam Ash-Shan’ani melanjutkan:
بل لا تتم حقيقة التوحيد إلا باستعمال الأسباب التي جعلها الله مقتضيات لمسبباتها قدرًا وشرعًا فإن تركها عجز ينافي التوكل الذي حقيقته اعتماد القلب على الله في حصول ما ينفع العبد في دينه ودنياه
“Bahkan, tidak sempurna tauhid kecuali dengan menempuh sebab yang telah Allah jadikan bisa menghasilkan, baik dari sisi takdir maupun syariat. Karena sesungguhnya tidak melakukan itu adalah kelemahan yang bertentangan dengan tawakal yang hakikatnya adalah bergantungnya hati kepada Allah dalam meraih segala yang bermanfaat bagi hamba dalam agamanya maupun dunianya.” (At-Tanwir Syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir)
4. Apakah boleh melakukan operasi?
(Bersambung)
Siberut, 18 Dzulhijjah 1445
Abu Yahya Adiya






