- Apa hukum menyalatkan jenazah?
Abu Hurairah berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِذَا مَرَّتْ بِهِ جِنَازَةٌ سَأَلَهُمْ:
“Jika orang-orang membawa jenazah melewati Rasulullah ﷺ, maka beliau bertanya kepada mereka:
أَعَلَيْهِ دَيْنٌ؟
“Apakah ia punya hutang?”
فَإِنْ قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ:
Jika mereka menjawab, ‘Ya’, maka beliau bertanya:
تَرَكَ وَفَاءً؟
“Ia meninggalkan sesuatu untuk melunasinya?”
فَإِنْ قَالُوا: نَعَمْ، صَلَّى عَلَيْهِ،
Kalau mereka menjawab, ‘Ya’, maka beliau menyalatkan jenazah itu.
وَإِلَّا، قَالَ:
Dan kalau mereka menjawab, ‘Tidak’, maka beliau berkata:
صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ
“Salatkan teman kalian ini!” (HR. Ahmad)
Kalau seseorang meninggal dalam keadaan memiliki hutang dan tidak meninggalkan harta yang bisa digunakan untuk melunasinya, maka Nabi ﷺ tidak menyalatkan jenazahnya, tapi beliau menyuruh para sahabatnya untuk menyalatkan jenazahnya. Itu menunjukkan bahwa hukum salat jenazah bukanlah fardu ain.
Imam Asy-Syaukani berkata:
الصلاة على الأموات ثابتة ثبوتا ضروريا من فعله صلى الله عليه وسلم وفعل أصحابه ولكنه من واجبات الكفاية لأنهم قد كانوا يصلون على الأموات في حياته صلى الله عليه وسلم ولا يؤذنونه كما في حديث السوداء التي كانت تقم المسجد فإنه لم يعلم النبي صلى الله عليه وسلم إلا بعد دفنها فقال لهم:
“Menyalatkan mayit adalah perkara yang telah tetap secara pasti dari perbuatan Nabi ﷺ dan perbuatan para sahabatnya. Namun, itu termasuk fardu kifayah. Sebab, mereka pernah menyalatkan jenazah-jenazah di masa hidup beliau ﷺ, tapi mereka tidak memberitahukan itu kepada beliau. Sebagaimana disebutkan dalam hadis wanita hitam yang selalu membersihkan masjid. Karena sesungguhnya Nabi ﷺ tidak mengetahui kematiannya kecuali setelah ia dikuburkan. Beliau ﷺ berkata kepada para sahabatnya:
ألا آذنتموني
“Kenapa kalian tidak mengabariku?”
وهو في الصحيح وامنتع من الصلاة على من عليه دين وأمرهم بأن يصلوا عليه.
Dan ini ada dalam hadis sahih. Dan beliau ﷺ juga pernah enggan menyalatkan jenazah orang yang memiliki hutang dan menyuruh para sahabatnya untuk menyalatkannya.” (Ad-Darari Al-Mudhiyyah Syarh Ad-Durar Al-Bahiyyah)
- Bagaimana posisi imam ketika salat jenazah?
Al-Ala’ bin Ziyad bertanya kepada Anas bin Malik:
هَكَذَا كَانَ يَفْعَلُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُصَلِّي، عَلَى الْجَنَازَةِ كَصَلَاتِكَ يُكَبِّرُ عَلَيْهَا أَرْبَعًا، وَيَقُومُ عِنْدَ رَأْسِ الرَّجُلِ وَعَجِيزَةِ الْمَرْأَةِ
“Apakah seperti ini Rasulullah ﷺ menyalatkan jenazah yaitu seperti salatmu yakni dengan bertakbir empat kali dan berdiri sejajar dengan kepala jenazah pria dan sejajar dengan panggul jenazah wanita?”
Anas menjawab:
نَعَمْ
“Iya.” (HR. Abu Daud)
Imam Asy-Syairazi berkata:
والسنة أن يقف الامام فيها عند رأس الرجل وعند عجيزة المرأة
“Yang sunnah yaitu imam berdiri dalam salat jenazah sejajar dengan kepala mayit pria dan sejajar dengan panggul mayit wanita.” (Al-Muhadzdzab)
Dan itu adalah pendapat Asy-Syafi’i, Ahmad dan beberapa ulama.
- Bagaimana cara salat jenazah?
1) Bertakbir
Dan bertakbir di sini bisa sebanyak 4 kali. Itu berdasarkan hadis Abu Hurairah bahwasanya ia berkata:
نَعَى لَنَا رَسُولُ اللهِ ﷺ النَّجَاشِيَ صَاحِبَ الْحَبَشَةِ، فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ، فَقَالَ:
“Rasulullah ﷺ mengabarkan kepada kami kematian Najasyi, raja Habasyah pada hari kematiannya. Lalu beliau bersabda:
اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ
“Mohonkan ampun untuk saudara kalian ini!”
Ibnu Syihab berkata:
وَحَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُ، «أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ صَفَّ بِهِمْ بِالْمُصَلَّى، فَصَلَّى فَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ»
“Dan Sa’id bin Al-Musayyib menyampaikan kepadaku bahwa Abu Hurairah menyampaikan kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ mengatur saf para sahabatnya di tempat salat lalu beliau bertakbir empat kali untuknya.” (HR. Muslim)
Dan bisa juga bertakbir sebanyak 5 kali. Itu berdasarkan hadis ‘Abdurrahman bin Abu Laila bahwasanya ia berkata:
كَانَ زَيْدٌ يُكَبِّرُ عَلَى جَنَائِزِنَا أَرْبَعًا، وَإِنَّهُ كَبَّرَ عَلَى جَنَازَةٍ خَمْسًا، فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ:
“Zaid bin Arqam bertakbir untuk jenazah-jenazah kami sebanyak empat kali, dan bertakbir untuk seorang jenazah (yang lain) sebanyak lima kali. Aku bertanya kepadanya, lalu ia menjawab:
كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُكَبِّرُهَا
“Rasulullah ﷺ juga melakukan seperti itu.” (HR. Muslim)
Dan bisa juga bertakbir sebanyak 6 kali. Itu berdasarkan hadis ‘Ali bin Abi Thalib bahwasanya ia pernah menyalatkan jenazah Sahl bin Hunaif dan ia bertakbir sebanyak 6 kali. Selesai salat, ia berkata tentang Sahl:
إِنَّهُ بَدْرِيٌّ
“Sesungguhnya ia pernah mengikuti perang Badar.” (Masail Al-Imam Ahmad)
Dan bisa juga bertakbir sebanyak 7 kali. Itu berdasarkan hadis Musa bin ‘Abdullah Al-Khathmi Al-Anshari bahwasanya ia berkata:
أُخْبِرْتُ أَنَّ عَلِيًّا صَلَّى عَلَى أَبِي قَتَادَةَ، فَكَبَّرَ عَلَيْهِ سَبْعًا
“Aku mendapat kabar bahwa ‘Ali menyalatkan jenazah Abu Qatadah dan ia bertakbir sebanyak 7 kali.” (Masail Al-Imam Ahmad)
Mungkin ada yang ‘protes’, “Bukankah itu hanya perbuatan sahabat Nabi, dan bukan perbuatan Nabi?”
Maka itu bisa dijawab, “Ya, memang itu perbuatan seorang sahabat Nabi, namun:
ولكنها في حكم الاحاديث المرفوعة، لان بعض كبار الصحابة أتى بها على مشهد من الصحابة دون أن يعترض عليه أحد منهم.
“Itu digolongkan dalam hadis yang marfuk (sampai kepada Nabi). Sebab, sebagian para sahabat melakukan itu di hadapan para sahabat yang lain tanpa ada satu pun di antara mereka yang memprotes itu.” (Ahkam Al-Janaiz)
Dan bisa juga bertakbir sebanyak 9 kali. Itu berdasarkan hadis Ibnu ‘Abbas bahwasanya ia berkata:
لَمَّا وَقَفَ رَسُولُ اللهِ ﷺ عَلَى حَمْزَةَ فَنَظَرَ إِلَى مَا بِهِ….ثُمَّ أَمَرَ بِهِ فَهُيِّءَ إِلَى الْقِبْلَةِ ثُمَّ كَبَّرَ عَلَيْهِ تِسْعًا
“Tatkala Rasulullah ﷺ menemukan Hamzah, beliau memandang keadaannya..,.lalu beliau memerintahkan untuk dibawa jenazahnya kemudian diletakkan di arah kiblat lalu beliau pun bertakbir sebanyak 9 kali.” (HR. Ath-Thabrani)
2) Setelah takbir pertama, membaca Al-Fatihah
Thalhah bin ‘Abdillah bin Auf berkata:
صَلَّيْتُ خَلْفَ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَلَى جَنَازَةٍ فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ قَالَ:
“Aku pernah melaksanakan salat jenazah di belakang Ibnu ‘Abbas, lalu ia membaca Al-Fatihah. Selesai salat ia berkata:
لِيَعْلَمُوا أَنَّهَا سُنَّةٌ
“Agar orang-orang tahu bahwa itu adalah sunnah.” (HR. Bukhari)
3) setelah takbir kedua, membaca salawat
4) setelah takbir berikutnya, mendoakan mayit
5) setelah takbir terakhir, mengucapkan salam.
Itu semua berdasarkan hadis Az-Zuhri bahwasanya ia berkata:
أَخْبَرَنِي أَبُو أُمَامَةَ بْنُ سَهْلٍ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ: ” أَنَّ السُّنَّةَ فِي الصَّلَاةِ عَلَى الْجِنَازَةِ أَنْ يُكَبِّرَ الْإِمَامُ، ثُمَّ يَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ بَعْدَ التَّكْبِيرَةِ الْأُولَى سِرًّا فِي نَفْسِهِ، ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ ﷺ، وَيُخْلِصُ الدُّعَاءَ لِلْجِنَازَةِ، فِي التَّكْبِيرَاتِ لَا يَقْرَأُ فِي شَيْءٍ مِنْهُنَّ، ثُمَّ يُسَلِّمُ سِرًّا فِي نَفْسِهِ
“Abu Umamah bin Sahl mengabarkan kepadaku bahwa seorang sahabat Nabi mengabarkan kepadanya bahwa yang sunnah dalam salat jenazah yaitu imam bertakbir lalu membaca Al-Fatihah setelah takbir pertama dengan suara lirih, lalu mengucapkan salawat, dan mengkhususkan doa untuk jenazah dalam beberapa takbir dan tidak membaca Al-Quran sedikit pun setelah takbir-takbir itu lalu mengucapkan salam dengan suara lirih.” (HR. Al-Baihaqi)
- Apakah boleh menyalatkan jenazah orang yang memiliki hutang?
Hadis pertama yang disebutkan dalam nomor pertama menunjukkan bahwa Nabi ﷺ tidak menyalatkan jenazah yang ada di hadapan beliau, tapi beliau menyuruh para sahabatnya untuk menyalatkannya.
Itu menunjukkan tidak terlarangnya menyalatkan orang yang mati dalam keadaan demikian.
Lantas kenapa Nabi ﷺ tidak menyalatkannya?
Imam An-Nawawi berkata:
إِنَّمَا كَانَ يَتْرُكُ الصَّلَاةَ عَلَيْهِ لِيُحَرِّضَ النَّاسَ عَلَى قَضَاءِ الدَّيْنِ فِي حَيَاتِهِمْ وَالتَّوَصُّلِ إِلَى الْبَرَاءَةِ مِنْهَا لِئَلَّا تَفُوتَهُمْ صَلَاةُ النَّبِيِّ ﷺ
“Nabi ﷺ tidak menyalatkan orang itu untuk mendorong orang-orang agar melunasi hutang dalam hidup mereka dan berusaha untuk melepaskan diri dari itu supaya tidak luput doa Nabi ﷺ dari mereka.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj)
(bersambung)
Siberut, 4 Shafar 1443
Abu Yahya Adiya






