Dari mana kita tahu bahwa seorang memiliki akidah yang baik?
Apakah karena selalu berkutat pada buku-buku akidah?
Akidah itu bukan hanya dalam buku-buku saja, melainkan juga dalam praktek kehidupan sehari-hari, di antaranya dalam ibadah seseorang kepada Tuhannya dan interaksinya dengan hamba-hamba-Nya.
Mungkin saja seseorang mengaku berakidah baik, akan tetapi interaksinya dengan orang lain tidak mencerminkan sebagai orang yang berakidah baik.
Di antara perkara yang sangat penting dalam hal berinteraksi dengan orang lain dan itu berhubungan dengan akidah yaitu debat.
Seorang muslim yang baik adalah orang yang mengerti….
- Adab dalam menghadapi orang yang berbeda pendapat dengan dirinya.
- Adab dalam menyampaikan argumen kepada orang yang tidak sependapat dengan dirinya.
- Adab dalam membantah argumen orang yang tidak sependapat dengan dirinya.
Siapa yang tidak mengetahui itu, maka ia bukanlah muslim yang baik.
Dan jika perdebatan yang dilakukan tanpa memenuhi itu, maka perdebatan itu menjadi terlarang dan tidak baik.
Apalagi kalau perdebatan itu dalam masalah agama, maka makin terlarang lagi dan makin tidak baik lagi!
Larangan Berdebat dalam Agama
Para ulama terdahulu sudah melarang dan mewanti-wanti perdebatan dalam agama. Bahkan, mereka memasukkan itu dalam permasalahan akidah yang mereka sebutkan dalam buku-buku mereka!
Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
أصول السُّنَّةِ عندنا: التمسك بما كان عليه أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم، والاقتداء بهم…وترك المراء والجدال، والخصومات في الدين.
“Pokok sunnah menurut kami adalah berpegang teguh pada ajaran para sahabat Rasulullah ﷺ, dan meneladani mereka….meninggalkan perbantahan, perdebatan, dan permusuhan dalam agama.” (Ushul As-Sunnah)
Dan serupa dengannya, Imam Asy-Syathibi pun menyatakan:
فَقَدْ جَعَلَ العلماءُ مِنْ عَقَائِدِ الإِسلام: تَرْكَ الْمِرَاءِ وَالْجِدَالِ فِي الدِّينِ
“Para ulama telah menjadikan termasuk akidah Islam yaitu meninggalkan perbantahan dan perdebatan dalam agama.” (Al-I’tisham)
Maka, jauhilah perdebatan dalam masalah agama!
Namun, apakah itu mutlak? Tanpa pengecualian?
Perdebatan Yang Terpuji dan Tercela
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata:
المجادلة والمناظرة نوعان:
“Perdebatan itu ada dua macam:
النوع الأول: مجادلة مماراة: يماري بذلك السفهاء، ويجاري العلماء ويريد أن ينتصر قوله فهذه مذمومة.
Pertama: perdebatan mumaroot (perbantahan): yaitu berdebat untuk menjatuhkan orang-orang bodoh dan untuk menandingi ulama serta ingin perkataannya dimenangkan. Maka perdebatan seperti itu tercela.
النوع الثاني: مجادلة لإثبات الحق وإن كان عليه، فهذه محمودة مأمور بها، وعلامة ذلك- أي المجادلة الحقة- أن الإنسان إذا بان له الحق اقتنع وأعلن الرجوع
Kedua: perdebatan untuk menetapkan kebenaran, walaupun itu akan membuatnya kalah. Maka perdebatan seperti itu terpuji dan diperintahkan. Ciri-ciri perdebatan yang benar adalah seseorang jika telah jelas baginya kebenaran, ia menerimanya dan mengumumkan rujuknya dari kesalahan.
أما المجادل الذي يريد الانتصار لنفسه فتجده لو بان أن الحق مع خصمه، يورد إيرادات يقول: لو قال قائل،ثم إذا أجيب قال: لو قال قائل، ثم إذا أجيب قال: لو قال قائل، ثم تكون سلسلة لا منتهى لها…
Adapun orang yang berdebat karena ingin memenangkan dirinya, maka engkau akan mendapatinya jika telah jelas kebenaran ada pada musuhnya, ia pun akan menyebutkan berbagai alasan dengan berkata, ‘Kalau ada orang yang berkata….’ Lalu jika itu dijawab, ia akan berkata, ‘Kalau ada orang yang berkata….’ Lalu jika ia dijawab, ia akan berkata, ‘Kalau ada orang yang berkata….’ Akhirnya jadilah pembicaraan berantai yang tidak ada habisnya.
فعليك يا أخي بقبول الحق سواء مع مجادلة غيرك أو مع نفسك، فمتى تبين لك الحق فقل:
Karena itu, wahai saudaraku, hendaknya engkau menerima kebenaran, baik itu ada pada lawan debatmu atau ada pada dirimu. Kapan saja tampak bagimu kebenaran, maka katakanlah:
سمعنا وأطعنا، وآمنا وصدقنا.
“Kami dengar dan taat. Dan kami beriman serta membenarkannya.”
ولهذا تجد الصحابة رضي الله عنهم يقبلون ما حكم به الرسول عليه الصلاة والسلام أو ما أخبر به دون أن يوردوا عليه الاعتراضات.
Karena itu, engkau dapati para sahabat Nabi رضي الله عنهم menerima apa yang diputuskan dan dikabarkan oleh Rasul عليه الصلاة والسلام tanpa mengeluarkan bantahan.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin)
Dari pernyataan syekh ini, bisa kita simpulkan bahwa:
- Perdebatan itu terlarang bila tujuannya mencari pamor yaitu dengan menjatuhkan orang bodoh atau menyaingi orang yang lebih berilmu darinya, serta berusaha agar pendapatnya dimenangkan dengan mencari berbagai pembenaran.
- Perdebatan itu diperbolehkan, bahkan terpuji, jika tujuannya untuk mencari atau menetapkan kebenaran.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata:
فالحاصل أن المجادلة إذا كان المقصود بها إثبات الحق وإبطال الباطل فهي خير، وتعودها وتعلمها خير
“Kesimpulannya, berdebat jika maksudnya untuk menetapkan kebenaran dan meruntuhkan kebatilan, maka itu baik. Membiasakannya dan mempelajarinya itu baik.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin)
- Ciri bahwa seseorang berdebat untuk mencari kebenaran adalah jika telah jelas baginya kebenaran, baik itu muncul dari dirinya maupun dari pihak lawan debatnya, ia menerimanya dan mengumumkan rujuknya dari kesalahan.
Siberut, 26 Jumada Al-Ulaa 1442
Abu Yahya Adiya






