Hidayah Ada di Tangan-Nya

Hidayah Ada di Tangan-Nya

Keadaan anak itu menyentuh hatinya. Di usianya yang masih kecil, ia sudah harus kehilangan ayah dan ibunya. Bahkan, kakeknya yang menggantikan posisi keduanya, harus juga menyusul keduanya.

Maka, ia pun merawat, dan mengasuh anak yang malang itu. Ia mencurahkan perhatian yang besar kepadanya. Ia sangat mengasihi dan menyayanginya. Bahkan, kasih sayangnya kepadanya melebihi kasih sayangnya kepada anaknya sendiri.

Dan siapa sangka, tatkala dewasa, anak itu menjadi seorang nabi dan rasul-Nya!

Dalam hati kecilnya, ia akui bahwa keponakannya itu adalah nabi dan rasul-Nya dan memang benarlah dakwahnya.

Namun, apa jadinya kalau ia mengikuti keponakannya, sementara kaumnya justru menentangnya?

Bagaimana nanti kedudukannya, kalau ia mengikuti agama keponakannya, sementara saat ini ia adalah pemuka kaumnya?

Ia pun mempertahankan agama nenek moyangnya, walaupun bertentangan dengan kemauan hati kecilnya.

Namun, ia tetap memberikan perhatian dan perlindungan kepada keponakannya, walaupun ditentang oleh kaumnya.

Itulah yang terjadi pada Abu Thalib, paman Nabi ﷺ.

Nabi ﷺ merasakan betapa besar jasa Abu Thalib terhadap diri beliau, karena itu beliau ingin membalas jasanya.

Makanya, ketika tahu tanda-tanda kematian mendekatinya, Nabi ﷺ menjenguknya dan menawarkan Islam kepadanya, agar bahagialah ia di akhiratnya.

Nabi ﷺ pun mendatangi rumah Abu Thalib. Sesampainya di situ, ternyata ‘Abdullah bin Abi Umayyah dan Abu Jahl sudah ada di sisinya.

Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya:

أَيْ عَمِّ قُلْ: لا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ

“Wahai pamanku, ucapkanlah لا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ suatu kalimat yang dapat kujadikan bukti untuk membelamu di hadapan Allah!”

Namun, sabda beliau disambut oleh ‘Abdullah bin Umayyah serta Abu Jahl:

يا أبا طالب, أتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ المُطَّلِبِ؟

“Wahai Abu Thalib, apakah engkau membenci agama ‘Abdulmuththalib?”

Keduanya tidak rela kalau ia memenuhi ajakan Nabi ﷺ, keponakannya sendiri.

Keduanya ingin kalau ia tetap sama seperti mereka, yaitu menjadi penyembah berhala!

Namun, Nabi ﷺ tidak putus asa. Beliau ﷺ mengulangi lagi sabdanya:

“Wahai pamanku, ucapkanlah لا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ suatu kalimat yang dapat kujadikan bukti untuk membelamu di hadapan Allah!”

Namun, ‘Abdullah bin Abi Umayyah dan Abu Jahl kembali mengulangi lagi perkataan yang telah mereka sebutkan sebelumnya: “Wahai Abu Thalib, apakah engkau membenci agama ‘Abdulmuththalib?”

Akhirnya, setelah perundingan yang demikian alot, Abu Thalib memutuskan untuk terakhir kali bahwa ia tetap di dalam agama ‘Abdulmuththalib. Agama leluhurnya. Ia enggan mengucapkan kalimat  لا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ.

Lalu terputuslah nafasnya, terhentilah detak jantungnya, dan menjadi kakulah badannya.

Abu Thalib sudah mati. Ia telah meninggal dunia.

Nabi ﷺ berduka. Beliau ﷺ pun bersabda:

وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ

“Sungguh demi Allah, aku akan mintakan ampunan untukmu selama aku tidak dilarang.”

Allah عز وجل pun menurunkan firman-Nya:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

“Tidak sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat mereka, sesudah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” (QS. At-Taubah: 113)

Dan mengenai Abu Thalib, Allah عز وجل menurunkan firman-Nya (QS. Al-Qashshash: 56):

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya engkau (wahai Rasul) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kau kasihi, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ternyata, sesaleh apa pun seorang, tetap saja ia tidak bisa memberikan hidayah.

Lihatlah nabi kita. Kurang apa kesalehan beliau?

Beliau seorang nabi, rasul dan sosok yang paling dicintai Allah. Walaupun begitu, beliau tidak bisa memberikan hidayah kepada pamannya yang selama ini membelanya.

Nah, kalau seorang nabi saja tidak bisa memberi hidayah, apalagi selain nabi!

Dan kalau memberi hidayah saja Nabi ﷺ tidak mampu, apalagi melakukan perkara yang lebih besar dari itu!

Karena itu, mintalah hidayah kepada-Nya. Mintalah rezeki kepada-Nya. Mintalah keselamatan kepada-Nya.

Sebab, hidayah, rezeki, dan keselamatan hanya ada di tangan-Nya.

 

Siberut, 15 Muharram 1442

Abu Yahya Adiya